Al-’alim adalah orang yang berilmu. Akar kata dari bahasa Arab ‘alima-ya’lamu, yakni mengetahui sesuatu. Mereka yang berilmu disebut ‘ulama. Ilmu semua ilmu, yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Sebagian orang ada yang mengelompokkan dua jenis ahli ilmu. Pertama ulama ahli ilmu agama, yang kedua ulama ahli ilmu umum. Di Indonesia ada ustadz, kiai, dan lazim pula ulama dipakai untuk mereka yang ahli ilmu agama. Sedangkan untuk ahli ilmu umum disebut ilmuwan, cendekiawan, intelektual, dan intelegensia.
Kategorisasi yang membelah ulama menjadi dua tersebut sepenuhnya konstruksi sosial. Artinya hasil persepsi atau pemikiran manusia, bukan pandangan qathiy (sesuatu yang pasti) dari ajaran Islam. Tidak jarang pengkotakan itu untuk kepentingan tertentu. Sebab kenyataannya mereka yang disebut ahli ilmu agama (khusus) banyak menguasai ilmu umum, sebalik mereka yang disebut cendekiawan atau intelektual (ulama umum) juga menguasai ilmu agama, sehingga satu sama lain saling menyatu. Pemikiran tersebut sah sejauh tetap diletakkan sebagai persepsi manusia yang relatif, tidak absolut. Kalaupun keduanya terpisah dalam diri seseorang, sama-sama penting untuk kemajuan Islam dan peradaban manusia semesta.
Allah SwT secara qathiy di dalam Al-Qur’an menyebut kata “ulama” hanya dalam dua ayat. Difirmankan, bahwa ”……Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Qs Faathir: 28). Bahkan dalam satu ayat lain disebutkan “ulama-u Bani Israil”, sebagaimana firman-Nya, yang artinya “Bukankah itu suatu bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil sudah mengetahuinya sebagai suatu kebenaran?” (Qs AsySyu’ara: 197). Artinya Al-Qur’an sendiri menunjuk secara tegas dan jelas istilah ulama itu bersifat umum, mereka yang berilmu, yang dengan ilmunya menjadikan dirinya takut atau bertakwa kepada Allah dan mencerahkan kehidupan.
Dalam Al-Qur’an hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tidak kurang dari 823 kata sebutlah al-aql, al-fikr, al-iqra, al-nazhr, al-bashar, al-tadabbur, al- ‘itibar, al-dzikr, al-fahm, dan lain-lain. Sedangkan kaitan lain dengan alim atau ulama ialah ulil albab (ulul albab), uli nuha, ulil abshar, rasih fi al-’ilm, dan sejenisnya. Dalam kaitan ini baik alim atau ulama maupun kegiatan keilmuan dan berpikirnya tidaklah sekadar kualitas ilmu yang dimiliki, baik ilmu agama maupun ilmu umum, tetapi kualitas keimanan, kepribadian, sikap, dan tindakan yang berhubungan dengan habluminallah, hambluminannas, serta dalam menyingkap rahasia dan memakmurkan alam semesta.
Dengan demikian alim, ulama, keilmuan, dan pemikiran yang dihasilkan bersifat hakiki dan bukan formalitas. Derajat orang berilmu dan beriman ditinggikan Allah di muka bumi karena tahsinah atau manfaatnya dalam kehidupan ( Qs Al-Mujadilah: 11).
Orang berilmu senantiasa memiliki ketundukan hati, sebagaimana firman Allah yang artinya, ”Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orangorang yang berakal’.”(Qs Ali Imran: 3)
Nabi meletakkan mereka yang berilmu sebagai pewarisnya sebagaimana sabdanya yang artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi mewariskan ilmu.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi). Orang berilmu selalu menarik pelajaran dan memberi pencerahan dalam kehidupan. Di masa Nabi ada Ibn Abbas, Abu Hurairah, Abu Dzar, Abdullah bin Umar, dan sahabat lainnya kaya yang khazanah ilmunya dan menjadi penerang umat. Ada pula Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, yang mungkin tidak seperti Ibn Abbas dan kawan-kawan dalam hal ilmu tetapi kuat sebagai pemimpin atau khalifah. Ali bin Abi Thalib memiliki keseimbangan keduanya. Semuanya memberi manfaat dan menjadi penerus risalah Nabi. (A. Nuha)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2015