Harmoni Kehidupan

Harmoni Iman

Foto Dok Ilustrasi GI

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan: “Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abu Namir dari Kuraib dari Ibn Abbas mengatakan, “Suatu malam aku bermalam di rumah Maimunah sedang Nabi shallallahu’alaihiwasallam di sisinya, itu kulakukan dengan niat agar aku bisa melihat shalat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam ketika malam. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berbincang-bincang bersama isterinya beberapa saat, kemudian tidur, ketika sepertiga malam terakhir tiba, atau sebagiannya, beliau duduk dan menatap langit lantas membaca ayat: ‘(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi hingga ayat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal)’ (Qs Ali Imran: 190). Kemudian beliau berdiri dan berwudlu, beliau membersihkan gigi-giginya kemudian shalat sebelas rakaat. Kemudian setelah Bilal mengumandangkan adzan (Subuh), beliau shalat dua rakaat, kemudian keluar untuk mengimami orang-orang shalat Subuh.” (HR Bukhari: 6898). Di Hadits lain disebutkan ayat Al-Qur’an yang dibaca bisa sampai sepuluh ayat terakhir Surat Ali Imran.

Beberapa makna yang dapat diambil dari Sunnah Rasul di atas adalah bagaimana beliau mengajarkan kepada kita bahwa begitu bangun tidur, pertama yang dilakukan adalah membangun kesadaran kosmologis, yakni kesadaran harmoni antara manusia, Allah, dan alam. Manusia (makhluq) harus membangun harmoni dengan Allah (Khaliq) melalui norma yang Allah gariskan (akhlaq). Harmoni yang dibangun antara makhluq dengan Khaliq melalui akhlaq, insya Allah akan menghasilkan tata kehidupan yang baldatun thayyibatun wa Rabbun ghaffur.

Kesadaran kepada sang Khaliq menjadi penting karena Dia-lah yang menyebabkan semuanya ini ada. Dia tidak hanya Sang Khaliq (Pencipta), tetapi juga sebagai Rabb (Pengatur, Pengelola) alam (makhluk), dan Ilah (Sesembahan). Allah tidak hanya “mencipta”, tetapi juga mengatur dan mengelola ciptaan-Nya, maka menjadi sesuatu yang logis jika ciptaan-Nya itu berkewajiban untuk menyembahNya sebagai bentuk harmoni antara makhluq dengan Khaliq.

Harmoni antara makhluq dengan Khaliq ditampilkan melalui akhlaq sebagai misi utama kenabian Muhammad saw. Tauhid dan ibadah ritual adalah bentuk akhlak vertikal seorang Muslim kepada Allah. Menduakan atau lebih Allah (musyrik) menjadi dosa terbesar kepada-Nya. Wujud harmoni vertikal direalisasikan dalam bentuk harmoni horizontal dengan sesama makhluk. Lingkungan hidup adalah bagian dari alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia tak dapat hidup sehat tanpa air, udara, dan lingkungan yang sehat, maka membangun lingkungan alam yang sehat adalah bagian dari harmoni kehidupan yang harus dilakukan oleh seorang manusia.

Makna lain dari sunnah tersebut adalah dibangunnya kesadaran epistemologis, yakni kesadaran akan sumber kebenaran atau pengetahuan. Allah menyebut adanya penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam adalah fakta empiris yang dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Tetapi apalah artinya fakta empiris tanpa sentuhan berpikir yang rasional. Maka, Allah pun menyebutkan bahwa fenomena alam sebagai fakta empiris akan sangat bermakna bagi orang yang berpikir secara mendalam, bahkan tidak hanya mampu mengungkap makna di balik fakta empiris yang tampak secara kasat mata, tetapi akan membawa kepada kesadaran spiritual, yakni keyakinan akan adanya Sang Khaliq. Oleh karena itu, berpikir tidak cukup sebatas apa yang nampak secara empiris dan yang terjangkau oleh akal secara rasional, tetapi juga secara spiritual. Terlebih lagi, rasio tak mungkin mampu memikirkan seluruh makna di balik fakta yang ada. Di sinilah pentingnya seorang manusia membangun kesadaran epistemologis, yakni kesadaran untuk membangun harmoni berpikir secara empiris, rasional, dan spiritual.

Harmoni lain yang harus disadari dari ayat ini secara implisit adalah bagaimana manusia harus menjaga keseimbangan dalam kehidupan ini antara berdzikir, berpikir, berbuat, dan berhibur/istirahat. Berdzikir terus tanpa berpikir, tidak akan memperoleh kemajuan, berpikir tanpa berbuat tidak akan mencapai tujuan. Berdzikir, berpikir, dan berbuat tidak akan nikmat tanpa istirahat. Dua puluh empat jam tanpa sedetikpun tertawa, mungkin saja orang tersebut ada yang tidak beres, tetapi dua puluh empat jam terus tertawa juga tidak beres. Kesemuanya harus dalam keseimbangan atau harmoni.

Tafsir, Ketua PWM Jawa Tengah dan dosen Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2015

Exit mobile version