Fenomena donor ASI mengundang pertanyaan di kalangan masyarakat. Permasalahan yang diperdebatkan terkait dengan hubungan mahram karena radla’ah (pemberian ASI oleh perempuan lain) yang menyebabkan tidak boleh menikah dengan ibu menyusui dan saudara sepersusuan.
Terkait dengan hubungan mahram karena radla’ah memang belum ada kesepakatan. Fatwa maupun Keputusan Tarjih juga belum ada. Di kalangan ulama Tarjih sudah ada wacana pemikiran tentang hal tersebut, namun belum ada kata sepakat, sehingga belum ada keputusan. Di kalangan ulama Fikih, terdapat perbedaan pendapat. Donor ASI merupakan suatu kebutuhan. Mereka sepakat terdapat hubungan mahram karena radla’ah, sehingga perlu diketahui identitas donor, baik dari sisi kesehatan dan akhlak yang akan mempengaruhi kesehatan dan mendasari akhlak atau kepribadian anak.
Prinsip dasar dalam penetapan hukum Donor ASI adalah bahwa donor ASI, termasuk wilayah mu’amalah duniawiyah, yang hukum dasarnya adalah “mubah”, sejalan dengan kaidah ushuliyyah bahwa “Pada dasarnya (hukum) asal dalam masalah mu’amalah adalah boleh/mubah, kecuali ada dalil yang menunjukan sebaliknya.” Masalah duniawiyyah, dalam Manhaj Tarjih masuk wilayah Tajdid Tathwiri yang membuka ruang kemungkinan adanya pengembangan, modifikasi, dan temuan baru yang lebih maslahah bagi anak, ibu menyusu dan ibu donor.
Perbincangan tentang hubungan mahram (larangan menikah) karena radla’ah, berdasarkan pada Qs An- Nisa’ [4]: 23 dan Hadits-Hadits tentang radla’ah. Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan di antara perempuan yang haram dinikah (mahram), setelah menyebut perempuan mahram karena hubungan nasab, Allah menyebut mahram karena radla’ah:
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) …………….., ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;……..(QS. An-Nisa’ [4]: 23).
Secara umum ada dua kelompok pendapat tentang mahram karena radla’ah. Pertama, hubungan mahram karena radla’ah, mensyaratkan adanya ”mashshah,” yaitu mengisap langsung pada ibu menyusui. Syarat dimaksud dipahami dari Hadits Rasulullah saw:
Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata, bersabda Rasulullah saw, serta berkata Suwaid dan Zuhair, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: Sekali dan dua kali hisapan tidaklah menjadikan mahram (HR Muslim dan Jama’ah).
Hadits ini mengisyaratkan donor ASI yang dilakukan dengan perantara, melalui botol susu atau lainnya, tidak berakibat hubungan mahram. Kelompok ini berbeda pendapat dalam hal batas minimal jumlah mashshah.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dengan mendasarkan pada pengertian tekstual ayat menunjukkan bahwa susuan sedikit sama hukumnya dengan susuan banyak. Demikian juga berdasarkan pada hadits riwayat Ali, Ibnu Abbas, AzZuhri, dan Qatadah yang mengisyaratkan makna umum hisapan, tanpa membedakan jumlah. Imam Ahmad membatasi batas minimal susuan selama tiga kali hisapan. Hadits Riwayat Muslim dan Jama’ah dari ’Aisyah, Suwaid dan Zuhair, mengisyaratkan batas minimal radla’ah adalah tiga kali. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang mendasarkan pada hadits Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair, riwayat Jama’ah, menetapkan bahwa batas minimal radla’ah adalah lima kali.
Artinya: …..Maka Rasulullah saw bersabda, susuilah ia selama lima kali, maka ia menjadi mahram karena susuannya (HR. Jama’ah).
Menurut ’Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, yang kemudian dijadikan pegangan oleh Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan dua orang pengikut madzhab Hanafi (Abu Yusuf dan Muhammad), bahwa susuan itu tidak menjadikan muhrim, kecuali jika dilakukan selama dua tahun yang sempurna. Landasannya surat Al-Baqarah [2] ayat 233 dan Hadits riwayat Imam Daruquthni dari Ibnu Abbas.
Artinya: Tidak ada persaudaraan radla’ah kecuali apa yang dilakukan selama dua tahun.
Kedua, wacana donor ASI yang dipraktikkan selama ini melalui bank ASI atau pemberian ASI secara tidak langsung (tanpa mashshah) tidak berakibat mahram karena radla’ah. Hal ini mempertimbangkan adanya isyarat keumuman makna surat AnNisa’ [4] ayat 23 dan Al-Baqarah [2] ayat 233, bahwa yang dimaksudkan hubungan radla’ah adalah susuan dan asuhan yang merupakan makna dari al-umm atau keibuan. Donor dalam bentuk pemberian ASI tanpa ada unsur al-umm dalam bentuk pengasuhan dan pendidikan bersamaan dengan pemberian ASI, maka sebenarnya tidak ada hubungan radla’ah yang mengakibatkan tidak adanya hubungan mahram.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama Fikih perlu dikaji kembali hukumnya. Saat ini donor ASI sudah menjadi kebutuhan dalam rangka memenuhi hak pertama dan utama dari sang anak. Kajian hukum dari berbagai perspektif, baik kesehatan, psikologi, sosial, ekonomi, hukum positif, maupun hukum Islam, untuk memberikan solusi yang ramah dan rahmah sejalan dengan tujuan syariah untuk mewujudkan kemaslahatan, rahmatan lil’alamin.
Dra Siti ’Aisyah, MAg, PP ’Aisyiyah, Dosen tetap FAI UCY
Artikel Ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 Tahun 2015