Alkisah rombongan sirkus yang terkenal datang di suatu kota. Pertunjukan favorit sirkus itu pertunjukan gajah. Sekelompok orang buta ingin mengetahui seperti apa gajah yang terkenal itu.
Mereka mendatangi kandang gajah dan mohon ijin untuk merabanya. Mereka diizinkan. Ada yang meraba ekor, kaki, perut, telinga, gading, dan hidung. Masing-masing sudah mempunyai persepsi (gambaran) untuk dapat diceritakan pada teman yang lain.
Orang yang menyentuh ekor mengatakan bentuk gajah itu panjang seperti pecut. Tentu saja dibantah orang yang menyentuh kaki. Ia mengatakan bentuk gajah seperti tiang besar, kesat tapi lembut pada sentuhan.
Lain lagi yang menyentuh perut, gajah itu lebar, kasar, besar, dan luas, seperti babut . Sedang yang menyentuh telinga, gajah itu kesat, lembut seperti kulit terkembang yang tebal sebesar dulang.
Sementara orang yang meraba gading membantah, menurutnya gajah itu keras, licin dan hanya sebesar galah saja. Dan yang memegang hidung mengatakan, gajah itu bagai pipa lurus dan kosong, dahsyat dan suka menghancurkan.
Cerita yang berbeda-beda ini jelas membingungkan yang mendengarkannya. Mana sebetulnya yang benar. Katanya gajah itu besar tetapi ada yang bercerita seperti pecut, tiang, babut, galah, dan dulang.
Tentu Tuhan (Rab) yang Maha Besar akan sama membingungkannya jika dipahami hanya sebagian-sebagian. Hasilnya tentu akan beraneka dan menyesatkan. Padahal setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran untuk menyembah dan meminta pertolongan pada Tuhan (Rab). Akibatnya bisa sesat dalam menyembah dan meminta pada Tuhan (Rab).
Ibaratnya seorang buta terhadap rupa Tuhan (Rab) karena memang tak dapat melihat ternyata Nabi Ibrahim as mempunyai metode tersendiri. Sebagaimana diceritakan dalam AlQur’an surat Al-An’am, ayat 75-79:
”Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. (75)
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ”Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: ”Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. (76.)
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: ”Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: ”Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77)
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ”Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: ”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (78)
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (79).
Setelah melihat bintang, bulan, matahari, Nabi Ibrahim berkesimpulan bahwa Tuhan (Rab) adalah yang menciptakan ketiganya dan bahkan yang menciptakan alam seisinya. Bukan hanya yang menciptakan dan menguasai bintang, bulan, dan matahari secara sendiri-sendiri.
Ketika metode orang buta yang digunakan akan sangat beda hasilnya. Mereka bisa berhenti pada bintang, bulan, atau matahari. Ketika berhenti pada benda-benda maka yang disembah bisa bintang, bulan, matahari dan bahkan yang lebih kecil dari itu, api misalnya, dapat juga mereka sembah.
Ketika berlanjut pada pencipta atau penguasanya, mereka bisa menyembah penguasa bintang, bulan, mataharii dan bahkan penguasa api. Istilah yang lazim disebut dengan dewa. Tetapi dengan metode Ibrahim tidak berhenti dengan satu benda saja tetapi keseluruhan benda di alam semesta yang menyatu dan dikuasai oleh Tuhan (Rab) yang satu. Itulah Allah yang Esa, yang hanya Dia lah yang patut disembah. Wallahu a’lam bishawab. (Lutfi Effendi)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2015