Kisah para Nabi dan Rasul Allah –alaihim as-salam— sesungguhnya sarat dengan pelajaran berharga, termasuk bagaimana menjadi pahlawan kebenaran dan kemanusiaan dari titik nol (from zero to be hero). Salah satu kisah dalam Al-Qur’an yang memuat perjalanan dan perjuangan hidup from zero to be hero adalah kisah Nabi Yusuf as. Sebagian besar perjalanan dan perjuangan hidupnya menunjukkan etos heroik dan semangat juang yang patut diteladani.
Kedekatan hubungan kasih sayang antara Yusuf kecil dengan ayahnya, Nabi Ya’qub as, diperlihatkan dengan penuh kejujuran ketika Yusuf menceritakan mimpinya kepada sang ayah, bahwa ia melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, semuanya bersujud kepadanya. Oleh ayahnya, mimpi ini tidak boleh diceritakan kepada saudara-saudaranya karena dikhawatirkan mereka akan membuat rencana jahat untuk membinasakannya. Sejak kecil Yusuf telah menjadi “korban iri hati” dari saudara-saudaranya sehingga mereka “berkomplot” untuk membunuh atau membuangnya. Mereka akhirnya sepakat untuk “bermain-main” dengan target akhirnya membuang Yusuf ke dalam sumur.
Sedemikian kuatnya permufakatan jahat mereka, ayah mereka pun “dibohongi” dengan pura-pura menangis sambil menunjukkan baju Yusuf yang berlumuran darah palsu sebagai bukti bahwa Yusuf itu telah dimakan srigala, padahal dia dibuang ke dalam sumur. Tidak saja dibuang dan disia-siakan, setelah “dipungut” oleh musafir yang mengambil air pada sumur itu, Yusuf kemudian dijadikan sebagai “barang dagangan” (budak), lalu dijual dengan harga yang sangat murah. Inilah titik nadir (zero) dari seorang Yusuf yang kelak dia bisa “bangkit” dan mengubah diri menjadi hero (pahlawan), tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi bangsa dan negara.
Setelah dibeli oleh orang Mesir yang berkedudukan tinggi, Yusuf dipelihara dalam lingkungan “istana”. Ia tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh ketaatan kepada Allah SwT. Ketika menginjak usia dewasa, Allah SwT memberinya ilmu dan hikmah (Qs. Yusuf [12]: 22), sehingga ia menunjukkan kompetensi dan keahliannya, antara lain keahlian “menafsirkan” mimpi dan “memprediksi masa depan”. Saat berada di rumah majikannya itu, istri sang majikan tampaknya jatuh hati lalu menggodanya untuk “bercinta dan bercumbu” dengannya. Namun Yusuf menolak untuk memenuhi hasrat dan nafsu syahwat istri majikannya, sambil berkata:
قَالَ مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ [يوسف: 23]
“Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya tuanku telah memperlakukan aku dengan baik,” (Qs. Yusuf [12]: 23)
Nabi Yusuf as adalah prototype (contoh sosok) pahlawan akidah dan akhlak yang tangguh dalam mempertahankan keyakinan (tauhid), kehormatan dan harga diri dengan tidak memuaskan hawa nafsunya, padahal kesempatan untuk itu terbuka lebar. Sebaliknya, Yusuf memilih “jalan penderitaan” (rela dipenjara) demi menyelamatkan akidah, kesucian hati, dan keluhuran moral.
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ
Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.” (Qs. Yusuf [12]: 33).
Setelah dipenjara rezim penguasa beberapa tahun lamanya, Yusuf mendapat kesempatan untuk “mendemonstrasikan” keahliannya dalam menakwilkan mimpi. (Qs. Yusuf [12]: 46).
Karena kehebatan futurologi dan takwilnya, Yusuf kemudian dipanggil raja ke istana. Raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” (Qs. Yusuf [12]: 54).
Dari sepenggal kisah Yusuf astersebut, dapat diambil pelajaran penting bahwa pahlawan akidah itu setidak-tidaknya mempunyai karakter kuat pada diri pribadinya. Pahlawan akidah itu harus memiliki akidah tauhid yang kuat dan teguh pendiriannya. Akidahnya tidak mudah “dijual atau digadaikan” karena “iming-iming duniawi”. Pahlawan akidah harus mampu membuktikan dirinya memiliki integritas moral atau akhlak yang mulia.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta dan UMJ
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2015