Oleh : Haidir Fitra Siagian
Setiap umat beragama memiliki hari raya masing-masing yang diyakini secara konsisten oleh penganut yang taat terhadap ajaran agamanya. Sejatinya perayaan tersebut dilakukan terkait dengan ibadah sebagai bentuk pemenuhan dan implementasi terhadap ajaran agamanya.
Karena sebagai bentuk ketaatan tersebutlah, sehingga para penganut agama tersebut rela melakukan berbagai hal untuk dapat merayakannya, bila perlu melakukan pengorbanan harta, tenaga, dan perasaan. Sebabnya, adalah dengan pengorbanan tersebut mereka akan mendapat imbalan yang lebih dari Tuhan.
Mengingat perayaan hari besar agama tersebut sebagai bagian dari ibadah, maka seyogiyanya umat beragama lain tak perlu ikut-ikutan dalam substansi ajaran tersebut. Dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun. Termasuk pula halnya dengan segala macam narasi-narasi indah yang dikemas dan secara tidak sadar berpontensi menimbulkan penafsiran yang berbeda. Walaupun masih dalam tahap “berpotensi”, akan tetapi sebaiknya dihindari.
Sedangkan dalam bentuk yang tidak terkait dengan ibadah, maka dapat dilakukan dalam konteks kemanusiaan dan persaudaraan. Di samping itu, boleh pula memberi bantuan atau saling membantu untuk urusan-urusan teknis. Dalam pandangan seperti inilah pentingnya dikembangkan toleransi antar umat beragama. Toleransi yang jujur dan murni, tanpa menyakiti hati umat beragama lain, bahkan jangan sampai melukai hati antar sesama umat beragama.
Demikian inilah paham saya tentang moderasi beragama yang sejatinya sudah berlangsung sejak zaman dulu di negara kita. Paham yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita, tokoh-tokoh agama dan pemuka masyarakat dari berbagai latar belakang sosial-budaya. Moderasi yang dibangun atas kesungguhan untuk menyatukan berbagai perbedaan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Perayaan hari besar keagamaan mendatangkan kegembiraan bagi mereka. Suka cita ditunjukkan dalam berbagi bentuk. Melakukan ibadah di rumah ibadah, membuat hiasan, menyediakan berbagai jenis makanan, membeli pakaian baru dan seterusnya.
Kegembiraan lainnya ditunjukkan dengan cara yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lain. Meskipun masih dalam satu agama, tetapi terdapat berbagai cara untuk mengimplementasikan kegembiraan tersebut.
Kemarin adalah hari raya bagi saudara-saudara kita umat Nasrani di segala penjuru dunia. Seorang teman nyonyaku adalah perempuan Nasrasi yang taat. Dia seorang ibu dari benua Afrika. Bersama dengan seorang putranya yang masih bayi tinggal di Wollongong dengan status pelajar yang sedang cuti dari UoW. Dia cuti disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Bukan untuk menyombongkan, saya jadikan sebagai contoh bentuk nyata moderasi beragama. Kami sering saling membantu dalam berbagai hal. Misalnya suatu ketika membantu menjagakan bayinya di rumah kami. Membantu orang lain adalah bagian dari ajaran agama Islam, membantu sesama dianjurkan dalam konteks kemanusiaan. Tidak pandang agama, ras, suku dan warna kulitnya.
Pada saat hari raya Idul Adha yang lalu, kami kelebihan daging kurban. Beberapa teman Indonesia dan Arab datang mengantar daging kurban kepada kami. Walau bukan muslim, sebagian daging kurban tersebut, kami antar ke si ibu tersebut. Tentu dia senang bukan main. Dapat daging gratis.
Dia senang, kami pun senang. Dia gembira, kami pun gembira. Kemarin nyonyaku mengatakan kepada saya bahwa si ibu ini minta tolong kepadanya. Minta dibelanjakan ini dan itu di supermarket. Dia tidak sempat belanja karena bayinya kurang sehat. Setelah belanja, nyonyaku mengantar barang belanjaan tersebut kepada beliau di rumahnya.
Ketika diantarkan belanjaannya, ternyata si perempuan ini telah menyiapkan hadiah juga untuk nyonyaku. Katanya sudah menjadi kebiasaan mereka saling berbagi dalam rangka hari raya besar agamanya. Hadiah yang tidak disangka-sangka. Bawang merah, ikan kaleng, dan bumbu masak. Kami menerima hadiah tersebut, karena Nabi kami pun telah mencontohkan menerima hadiah dari mereka yang berbeda agama.
Bagi kami, inilah salah satu contoh bentuk moderasi beragama yang telah kami amalkan. Kami tahu harganya tak seberapa. Tapi nilai pemberian itu tak tertera. Nilai yang hanya ada dalam ketulusan atas nama persaudaraan. Persaudaraan sesama umat manusia.
Wassalam
Botanic Garden Wollongong, 26.12.19
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar, tinggal di Gwynneville, Wollongong, New South Wales, Australia