CHICAGO, Suara Muhammadiyah – Telah terselenggara acara silaturahmi dan diskusi warga Muhammadiyah Amerika Serikat yang berlangsung di sebuah desa pinggiran (suburb) kota Chicago, tepatnya di kota Oak Brook, pada tanggal 26 Desember 2019. Acara ini dilaksanakan di sela-sela kegiatan Muktamar Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika (Indonesian Muslim Societies of America) yang berlangsung selama empat hari, 24-28 Desember 2019.
Acara silaturahmi dan diskusi ini merupakan kegiatan perdana yang bersifat tatap muka setelah terbentuknya pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat paska Muscab pada musim panas bulan Juli yang lalu. Selama ini silaturahmi PCIM dilaksanakan melalui media sosial, khususnya WAG dan Facebook. Silaturahmi dan diskusi ini dihadiri oleh lima belas orang dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat: sepuluh orang diantaranya hadir langsung di lokasi, lima orang hadir secara virtual melalui teleconference.
Acara silaturahmi ini, selain mengevaluasi pelaksanaan program kerja PCIM, juga mendiskusikan beberapa masalah kebangsaan dan keumatan. Diantara topik yang mengemuka adalah gagasan mengenai perlunya Persyarikatan Muhammadiyah menyusun suatu kerangka teologi (pemikiran keislaman) yang disebut dengan Teologi Amal Peradaban (رسالة العمل الحضاري).
Teologi ini adalah kelanjutan dari konsep Dar al-Syahadah yang telah dirumuskan oleh Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar yang lalu. Teologi Amal Peradaban ini memperluas makna Dar al-Syahadah (tempat persaksian atau pembuktian keimanan) dari konteksnya yang bersifat nasional (wataniyyah) menjadi global (alamiyyah).
Teologi ini diharapkan nantinya mengelaborasi beberapa tema pokok al-Quran, yaitu: ummah, syahadah itu sendiri (persaksian atau pembuktian keimanan), amar makruf nahi munkar, islah, ukhuwwah islamiyyah, dan taawun (beraliansi dengan pihak lain yang punya concern yang sama).
Tujuan dari teologi ini adalah mendorong peran global warga Muhammadiyah dalam dakwah, baik dalam bentuk pemikiran maupun aksi. Selain itu, teologi ini juga diperlukan untuk mendorong bangsa Indonesia secara umum, sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar dunia, anggota OKI, dan Dewan Keamanan PBB, agar berperan lebih proaktif dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih baik yang sesuai dengan cita-cita al-Quran.
Diantaranya adalah dengan terlibat memberikan solusi untuk problem yang menimpa umat Islam di belahan dunia lainnya, seperti Palestina, Uyghur, Rohingya, Kashmir, India, dll. Juga menjadi mediator untuk konflik dan ketegangan politik antara beberapa negara muslim saat ini. Selain itu, teologi ini juga mendorong negara Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara muslim lainnya untuk menyelesaikan problem global yang dihadapi umat Islam hari ini, sepeti rendahnya kualitas pendidikan, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan lainnya.
Teologi Amal Peradaban ini mengharuskan adanya at-ta’adi (transitiveness) di mana muslim Indonesia tidak hanya berfikir tentang dirinya sendiri, tetapi juga entitas manusia yang lain. Di dalam teologi ini ada juga konsep al-masuliyyah (responsibility) yang meniscayakan adanya perasaan bertanggungjawab untuk berkontribusi menciptakan kebaikan bersifat global.
Dalam silaturahmi ini juga disepakati bahwa PCIM Amerika Serikat akan menyiapkan kontribusi pemikiran untuk Muktamar Muhammadiyah ke 48 di Solo tahun 2020 yang akan datang. PCIM Amerika Serikat akan menyusun kumpulan tulisan para warga dan simpatisan Muhammadiyah untuk dijadikan kado muktamar.
Kader Muhammadiyah dalam Muktamar IMSA
Dalam muktamar Indonesian Muslim Societies of America (IMSA) yang dihadiri oleh 1200 ini, ada dua orang kader Muhammadiyah yang menjadi pembicara, yaitu Penasehat PCIM dan Imam Jamaica Center di New York, Imam Shamsi Ali dan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Saiful Bahri.
Imam Shamsi Ali dalam ceramahnya menjelaskan mengenai tantangan masyarakat muslim di Amerika Serikat. Diantara tantangan tersebut adalah ketika muslim lebih suka berkumpul sesama etnisnya ketimbang melebur bersama komunitas yang lain (tribalisme), kebingungan membedakan antara agama dan budaya, pemahaman agama yang tidak kontekstual, ketidakdewasaan dalam menyikapi permasalahan khilafiyah, dan metode pendidikan agama bagi generasi milineal yang terlalu kaku.
Selain itu, dalam sesi yang lain, Imam Shamsi Ali juga menyoroti problem materialisme (hub al-dunya), yang bukan hanya umum di kalangan masyarakat Barat, tetapi juga di masyarakat muslim. Beliau juga menyoroti problem pemimpin negara-negara Islam yang cenderung berkonflik satu sama lain dan tidak memiliki visi amal yang bersifat global. Beliau kemudian mengingatkan para pemimpin muslim untuk berpegang teguh pada nilai-nilai al-Quran.
Ustaz Dr Saiful Bahri dalam sesi ceramahnya menjelaskan tentang makna berhijrah, baik bagi konteks masyarakat muslim di zaman Nabi, juga bagi masyarakat muslim di zaman sekarang. Beliau juga menjelaskan kiat-kiat untuk tetap istiqamah dalam berhijrah. Dalam sesi yang lain beliau juga menjelaskan pentingnya iman, ilmu, dan amal bagi muslim yang tinggal di negara Amerika Serikat.
Peserta silaturahmi dan diskusi diantaranya Abdul Nur Adnan (Washington DC), Imam Shamsi Ali (New York), Evan Wibowo (Washington DC), Keukeu Abdullah (Arkansas), Irwan Saputra (Washington DC), Mohammad Toha Rudin (Washington DC), Hartuti Repan (Surakarta), Noor Chairani (Arizona), Muhammad Mumtaz al-Dzahabiy (Arizona), Muhamad Rofiq Muzakkir (Arizona). Sementara itu yang berpartisipasi secara daring yaitu Muhamad Ali (California), Nana Firman (California), Dutamardin Umar (Florida), Muhammad Afdillah (Connecticut), dan Dharma Pohan (Texas). (M Rofiq/Riz)