Oleh: Dr H Maskuri, Med
Sejarah Singkat Pondok Pesantren di Indonesia
Kelahiran organisasi Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M, telah membawa perubahan pada sistem pendidikan Islam pada zaman itu dan saat sekarang. Dahulu ketika orang membicarakan pendidikan Islam pemahaman kita adalah pondok pesantren yang memfokuskan pada tafaqquh fiddin melalui pembelajaran kitab kuning. Setelah KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah model pendidikan pesantren diperbaharui dengan model madrasah yakni, kurikulumnya memuat pendidikan agama Islam ditambah dengan kurikulum mata pelajaran umum.
Di sisi lain, sekolah umum yang pada saat itu dikelola oleh pemerintah Belanda seratus persen muatan kurikulumnya mata pelajaran umum, tidak ada muatan mata pelajaran pendidikan agama Islam. Model sekolah umum yang seperti itu, sering disebut sebagai sekolah sekuler. Oleh karena itu, KH Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan dengan membuat model sekolah umum yang muatan kurikulumnya ditambah dengan muatan pendidikan agama Islam, sehingga tidak dianggap sekuler lagi.
Dalam konteks sekolah/madrasah/ Pesantren Muhammadiyah, maka muatan pendidikan agama Islam penamaannya menjadi Al-lslam dan Kemuhammadiyahan serta ditambah mata pelajaran bahasa arab, sehingga menyingkatnya dengan sebutan ISMUBA.
Pondok pesantren sampai dengan tahun dua ribuan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni Pondok Pesantren Salafiyah, Khalafiyah/Asriyah, dan Kombinasi. Pondok Pesantren Salafiyah yaitu Pondok Pesantren yang muatan kurikulumnya memfokuskan pada penguasaan agama Islam (tafaqquh fiddin) melalui pembelajaran kitab kuning dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, wetonan, khalaqah dan tidak belajar mata pelajaran umum. Selain itu, jenjang kenaikan kelas didasarkan pada seberapa jauh santri menguasai kitab kuning yang dipelajari bukan berdasarkan kelas.
Di sisi lain, Pondok Pesantren Khalafiyah/ Asriyah atau sering disebut juga Pondok Pesantren Modern adalah Pondok Pesantren yang pembelajarannya didesain secara modern dengan sistem klasikal dan kurikulum pelajaran agama Islamnya didesain sesuai dengan kebutuhan pesantren dengan menyusun materi pelajaran yang diambil dari berbagai rujukan kitab kuning. Muatan kurikulum mata pelajaran umum juga diajarkan termasuk mata pelajaran bahasa Inggris dan bahkan bahasa Inggris menjadi bahasa percakapan sehari hari di samping bahasa Arab.
Kemudian, Pondok Pesantren Kombinasi adalah Pondok Pesantren di samping menyelenggarakan pembelajaran sistem pesantren juga menyelenggarakan berbagai macam satuan dan/atau program pendidikan, misalnya di dalam pondok pesantren terdapat RA/TK, madrasah/ sekolah umum, dan bahkan perguruan tinggi Islam/umum.
Pondok Pesantren dalam Perspektif UU Sisdiknas 2003
Perkembangan berikutnya setelah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 disahkan, maka kategorisasi pondok pesantren menjadi tldak nampak, karena dalam konteks Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pesantren masuk dalam kategori pendidikan keagamaan. Pada pasal 30 ayat (4) dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pahbaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan Diniyah dan Pesantren. Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Peraturan Pemerintah tersebut di atas telah dijabarkan lebih rinci lagi ke dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Pendidikan Keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam.
Secara garis besarnya Pendidikan Keagamaan Islam dibagi menjadi dua yakni pendidikan Diniyah dan Pesantren dengan pengertiannya masing-masing sebagai berikut: Pendidikan Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan, sedangkan Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan pesantren dan/atau secara terpadu menyelenggarakan jenis pendidikan lainnya.
Pondok Pesantren dalam perspektif peraturan Menteri Agama yang disahkan pada tanggal 18 Juni 2014 sebagaimana telah disebut di atas, dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu Pondok Pesantren sebagai satuan pendidikan dan pondok pesantren sebagai penyelenggara pendidikan. Pondok Pesantren sebagai satuan pendidikan merupakan pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’alimin. Contoh Pondok Pesantren sebagai satuan pendidikan adalah Pondok Pesantren Salafiyah yang fokus pada penguasaan agama Islam (tafaqquh fiddin) dan tidak menambah mata pelajaran umum dalam pembelajarannya dan ini merupakan representasi Pondok Pesantren yang disebut masih menggunakan sistem tradisional (Salafiyah), sedang Pondok Pesantren Darussalam Gontor merupakan Pondok Pesantren sebagai satuan Pendidikan yang merepresentasikan Pondok Pesantren Modern.
Adapun Pondok Pesantren sebagai penyelenggara pendidikan yaitu pondok pesantren di samping sebagai satuan pendidikan juga sebagai penyelenggara satuan dan/program pendidikan lainnya, seperti menyelenggarakan pendidikan diniyah formal, pendidikan diniyah nonformal, pendidikan umum, pendidikan umum berciri khas Islam, pendidikan kejuruan, pendidikan, kesetaraan, pendidikan mu’adalah, pendidikan tinggi, dan/atau program pendidikan lainnya.
Posisi Pondok Pesantren Muhammadiyah
Dengan diterbitkannya PMA Nomor 13 Tahun 2014, maka kita dapat melihat di mana sesungguhnya posisi pondok Pesantren Muhammadiyah. Hal ini penting, karena implikasinya dengan kebijakan pembinaan yang harus dilakukan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada semua tingkatan.
Dalam ketentuan Majelis Dikdasmen Nomor 10/KTN/ I.4/F/2013 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muhammadiyah dinyatakan bahwa jenis Pondok Pesantren Muhammadiyahn secara garis besar dikelompokkan pada dua kategori yaitu Pondok Pesantren Integral dan Takhasus. Pondok Pesantren integral adalah Pondok Pesantren berbasis madrasah/sekolah yang menghasilkan calon ulama intelektual dan intelektual ulama, sedangkan Pondok Pesantren Takhasus adalah Pondok Pesantren Muhammadiyah yang hanya menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bidang- bidang tertentu yang menghasilkan calon ulama bidang tertentu.
Sebagai gambaran untuk memahami Pondok Pesantren Muhammadiyah, beberapa contoh dapat kita lihat sebagai berikut: (1) Pondok Pesantren Mu’allimin dan Mu’allimat Yogyakarta adalah Pondok Pesantren yang isinya Madrasah dengan nama Muallimin/Muallimat jenjangnya adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), (2) Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Garut Jawa Barat adalah Pondok Pesantren yang isinya juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, (3) Pondok Pesantren Muhammadiyah Amanah Tasikmalaya adalah Pondok Pesantren yang isinya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), (4) Pondok Pesantren Modern MBS Yogyakarta adalah Pondok Pesantren yang isinya SMP dan SMA, (5) Salah satu Pondok Pesantren Muhammadiyah Lampung adalah Pondok Pesantren yang fokus pada bidang Tahfidzul Qur’an.
Dari lima contoh Pondok Pesantren Muhammadiyah tersebut di atas, kiranya nampak jelas bahwa Pondok Pesantren Muhammadiyah sebagian besar bukan kategori pondok Pesantren sebagai satuan Pendidikan dalam bentuk Pondok Pesantren Salafiyah yang fokus pada tafaqquh fiddin, karena muatan kurikulumnya memuat mata pelajaran agama Islam dan mata pelajaran umum. Akan tetapi apabila melihat muatan kurikulumnya yang berisi mata pelajaran agama Islam dan mata pelajaran umum serta didukung dengan kegiatan ekstra dan kokurikuler, maka masuk pada kategori pondok Pesantren sebagai satuan Pendidikan dengan Pola Pendidikan Mu’allimin seperti Model Pondok Pesantren Darussalam Gontor untuk tidak menyebut Pondok Pesantren Modern.
Persoalannya sekarang adalah apakah Pondok Pesantren Muhammadiyah yang di dalamnya berisi madrasah atau sekolah memuat mata pelajaran kemu’alliminan (keguruan) seperti Pondok Pesanten Madrasah Mu’allimin/Mua’llimat Yogyakarta?
Menurut pendapat penulis, hal ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi Majelis Dikdasmen pada semua tingkatan dan Pondok Pesantren Muhammadiyah yang namanya tidak mencantumkan nama Mu’allimin/Mu’allimat. Karena pengertian Pondok Pesantren dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014 berbunyi seperti ini “Pesantren sebagai satuan pendidikan adalah merupakan pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin.”
Penjabaran lebih lanjut tentang penyelenggaraan pengajian kitab kuning adalah dilakukan dalam bentuk pengajian kitab kuning pada umumnya dan/atau program takhasus pada bidang ilmu keislaman tertentu sesuai dengan ciri khas dan keunggulan masing-masing pesantren. Adapun penjelasan penyelenggaraan dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin adalah dilakukan secara integratif dengan memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memadukan intra, ekstra, dan kokurikuler.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pada umumnya Pondok Pesantren Muhammadiyah lebih dekat atau ada yang sesuai dengan pengertian Pondok Pesantren sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pengajian melalui dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin bukan melalui pengajian kitab kuning. Dengan demikian, bagi Pondok Pesantren Muhammadiyah yang belum menyelenggarakan pengajian/pembelajaran kitab melalui dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allaimin perlu menyesuaikan, sehingga tidak bertentangan dengan makna Pondok Pesantren sebagaimana yang maksud dalam PMA Nomor 13 Tahun 2014.
Arah Pembinaan Pondok Pesantren Muhammadiyah
Berdasarkan Peraturan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/PRN/I.0/B.2012 tentang Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa Pondok Pesantren Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah. Oleh sebab itu, pembinaan Pondok Pesantren Muhammadiyah menjadi tanggung jawab Majelis Dikdasmen sesuai tingkatannya.
Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Majelis Dikdasmen menuai banyak kritik, karena dinilai kurang memerhatikan pondok pesantren/ madrasah, tetapi lebih memerhatikan sekolah. Penilaian tersebut bisa ada benarnya atau juga sebaliknya. Sebagai contoh, Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015, sejak tahun tiga tahun terakhir pada setiap awal tahun menyelenggarakan Rapat Kordinasi Nasional Pondok Pesantren seluruh Indonesia yakni di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Garut tahun 2012, di Pondok Pesantren Modern MBS Yogyakarta pada Tahun 2013, dan pada tanggal 22-25 April 2014 di Pondok Pesantren Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Kegiatan Rakornas tersebut salah satu tujuannya adalah untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi Pondok Pesantren Muhammadiyah dan bagaimana cara mengatasi solusi tersebut, sehingga pondok pesantren Muhammadiyah menjadi tempat pengkaderan calon ulama yang memiliki kualitas sesuai yang diharapkan.
Kritik kurangnya perhatian Majelis Dikdasmen terhadap Pondok Pesantren Muhammadiyah bisa terjadi pada tingkat Wilayah, Daerah, dan Cabang. Hal ini terjadi, karena beberapa faktor penyebab antara lain: (1) di dalam kepengurusan Majelis tidak ada bidang yang menangani Madrasah/Pondok Pesantren secara khusus, (2) ada bidang yang menangani madrasah/Pondok Pesantren, tetapi orang yang diberi tanggung jawab tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan tentang Madrasah/Pondok Pesantren, (3) ada bidang dan orang yang diberi tanggung jawab untuk menangani, tetapi tidak memiliki visi dan misi untuk membina Madrasah/Pondok Pesantren secara serius, (4) Pimpinan Persyarikatan setempat secara kolektif tidak memiliki visi dan misi terhadap pembinaan Madrasah/Pondok Pesantren di daerahnya, dan faktor lainnya.
Dari kondisi seperti yang diuraikan di atas, maka muncullah pemikiran bahwa Madrasah/Pondok Pesantren Muhammadiyah perlu dibina oleh Majelis/Lembaga tersendiri, sehingga Madrasah dan Pondok Pesantren Muhammadiyah dapat berkembang dengan baik, karena mendapat pembinaan dan perhatian yang cukup dari majelis/lembaga pembinanya.
Upaya untuk pembenahan terhadap pembinaan Madrasah/Pondok pesantren sesungguhnya telah dilakukan antara lain: (1) Pimpinan Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar ke-46 di Yogyakarta menetapkan nomenklatur Majelis Dikdasmen diubah menjadi Majelis Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren. Hal ini dilakukan agar Majelis ini secara jelas dan tegas dapat memberikan perhatian dan pembinaan terhadap Madrasah dan Pondok Pesantren Muhammadiyah. Setelah Kepengurusan Majelis Sekolah, Madrasah dan Pondok Pesantren ditetapkan, Pimpinan dan Anggota Majelis yang baru sepakat bahwa Madrasah dan Pesantren perlu dibina dan diperhatikan sama seperti terhadap sekolah, tetapi nomenklatur Majelis tidak perlu dirubah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perubahan nomenklatur akan berakibat pada perubahan semua nama pada perangkat/kelengkapan lembaga dan hal-hal lainnya yang nilainya cukup besar dan hal tersebut dinilai kurang efisien karena perlu biaya yang sangat besar. Poin pentingnya adalah bagaimana agar Majelis Dikdasmen memberikan perhatian yang sama terhadap Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren.
Upaya kedua (2), Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengakomodasi ITMAM (It-tihadul Ma’ahid Al-Muhammadiyah) menjadi “Tim Pengembang Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bertugas membantu Majelis dalam merumuskan kebijakan pembinaan dan secara fungsional membantu Majelis dalam pembinaan Pondok Pesantren Muhammadiyah. Pada tingkat Wilayah dapat juga dibentuk ITMAM, dengan ketentuan Majelis Dikdasmen Wilayah meminta ijin tertulis kepada Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membentuk ITMAM sebagai Tim Pengembang.
ITMAM secara kelembagaan tidak bersifat struktural (Pusat, Wilayah, Daerah), tetapi bersifat fungsional yaitu bertugas membantu Majelis Dikdasmen dalam pembinaan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
Mungkinkah Pondok Pesantren Menjadi Lembaga/ Majelis Sendiri?
Jawaban pertanyaan tersebut di atas adalah mungkin, asalkan mendapat mandat dari hasil Muktamar Muhammadiyah. Secara teoritis pembinaan Pondok Pesantren oleh lembaga/majelis sendiri sangat ideal, karena sudah tentu pembinaan dan perhatian terhadap Pondok Pesantren akan lebih besar, jika ditangani oleh Majelis/ Lembaga tersendiri dibandingkan apabila masih bergabung dengan Majelis Dikdasmen. Persoalan yang akan muncul adalah pembinaan terhadap Pondok Pesantren Muhammadiyah yang dilakukan oleh Majelis/Lembaga Pesantren tersendiri akan bertabrakan dengan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Dikdasmen, karena jenis Pondok Pesantren Muhammadiyah sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya pada umumnya/sebagian besar Pondok Pesantren integral yang didalamnya berisi Madrasah dan Sekolah. Di lapangan, pemisahan antara manajemen sekolah, madrasah, dan Pondok Pesantren tidak jelas/tidak ada, karena dalam praktik kesehariannya, Direktur Pondok Pesantren mengkoordinasikan kepala Madrasah/Kepala Sekolah. Semua kebijakan berada pada Direktur Pondok Pesantren, sehingga antara Pondok Pesantren, Madrasah, dan Sekolah merupakan satu kesatuan manajemen tidak terpisah.
Dalam kondisi seperti itulah, Majelis/Lembaga Pondok Pesantren sulit diwujudkan, karena akan menimbulkan persoalan baru yakni overlaping dalam pembinaan sekolah, madrasah, dan Pondok Pesantren baik yang dilakukan oleh majelis Dikdasmen atau Majelis/Lembaga Pondok Pesantren, karena Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren Muhammadiyah berada dalam satu manajemen tidak sendiri-sendiri.
Dr H Maskuri, MEd, Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2015