Dalam menjawab pertanyaan tentang harta mana yang akan diinfakkan, Allah menjelaskan bahwa yang akan diinfakkan itu adalah harta yang telah berlebih dari kebutuhan. Seseorang tidak harus menginfakkan harta yang merupakan kebutuhannya yang dapat menyebabkan dia mengabaikan dan menyianyiakan dirinya sendiri. Jawaban ini mempertegas lagi bahwa aturan ini dan semua aturan syariat itu bertujuan untuk mewujudkan maslahat dan menghilangkan mafsadat atau kerusakan.
Ketentuan tentang harta yang diinfakkan ini dijelaskan oleh beberapa Hadits shahih. Di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah,
Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik shadaqah adalah dari kelebihan harta, dan mulailah memberikannya kepada orang yang di bawah tanggunganmu” .
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi saw pernah bersabda,
“Sebaik-baik shadaqah adalah dari kelebihan kekayaan, tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta), dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu”.(Muhammad Rasyid Ridha, hlm. 337).
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
Jika salah seorang di antara kalian fakir, maka hendaknya ia memulai shadaqah kepada dirinya sendiri. Jika ada kelebihan maka ia berikan kepada keluarganya, jika ada kelebihan maka ia berikan kepada orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian jika masih ada kelebihan ia bisa memberikannya kepada siapa saja (HR Abu Dawud).
Di samping dana zakat, dana shadaqah sangat banyak manfaatnya untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Di antara manfaat tersebut adalah untuk pembiayaan organisasi dakwah, memperbaiki berbagai fasilitas umum, pemberdayaan masyarakat dalam rangka memajukan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa.
Surah Al-Baqarah ayat 219 ini ditutup dengan firman Allah,
Demikianlah Allah telah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu berpikir.
Artinya, sebagaimana Allah telah menjelaskan ketentuanketentuan tentang khamr, judi, dan infak, demikian pula Allah menjelaskan semua ayat-ayat tentang hukum-hukumnya, janji baik dan ancamannya, agar setiap manusia memikirkan dan menghayati semuanya. Manusia dituntut untuk berpikir bahwa minuman keras dan judi lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, karena itu harus dijauhi. Di samping itu, manusia dituntut juga untuk memikirkan dan merenungkan bahwa kesenangan dunia ini bersifat sementara dan akan lenyap, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan yang kekal. Karena itu, setiap diri harus memikirkan kehidupan dunia dan akhirat yang seimbang, agar berbahagia di dunia dan berbahagia di akhirat. Untuk itu, setiap diri harus memikirkan bagaimana menjadikan dunia sebagai tempat berjuang dan sebagai ladang untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang baik.
Selanjutnya Qs Al-Baqarah [2]: 220 dimulai dengan firman Allah,
Tentang dunia dan akhirat.
Jār dan majrūr ini dihubungkan dengan kata tatafakkarūn atau dengan kata yubayyinu pada ayat yang lalu. Dengan demikian, maksudnya adalah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka mau berpikir dan mempergunakan akalnya supaya dapat mencapai kemaslahatan dan kebahagian di dunia dan akhirat secara bersamaan. Hal tersebut sejalan dengan kandungan doa yang tercantum dalam Qs Al-Baqarah [2]: 201 yaitu
yang artinya “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. Kemudian manusia juga diperintahkan untuk mempergunakan kemampuan akal dan potensinya dalam rangka mencapai kemaslahatan dunia dengan tanpa melupakan akhirat. Untuk itu manusia harus mempersiapkan diri untuk menjalankan perintah tersebut. Di antara bentuk pelaksanaan perintah tersebut adalah meringankan beban anak yatim dan orang yang lemah. Pelaksanaan atas perintah ini tidak ada janji secara tersurat disebutkan akan mendapatkan balasan secara langsung di dunia, namun mereka akan mendapatkan kebaikan di akhirat. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Nabi saw sebagai berikut
Dari Sahl dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Saya dan pemelihara anak yatim seperti ini kelak di surga, sambil memberikan isyarat dengan mendempetkan jari telunjuk dan jari tengah beliau dan tanpa merenggangkan keduanya.” (HR Al-Bukhari)
Kemudian penjelasan firman Allah wayas`alūnaka ‘anil yatāmā yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim”, Abu Dawud, An-Nasa`i, Al-Hakim dan lainnya telah meriwayatkan Hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Allah melarang menggunakan harta anak yatim dengan cara batil dan zalim, sebagaimana konteks ketika diturunkannya Qs Al-An’am [6]: 152 yang berbunyi,
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat
dan Qs An-Nisa [4]: 10 yang berbunyi,
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan ayat ini, setiap sahabat Nabi saw yang memelihara anak yatim selalu memisahkan makanan dan minuman mereka dari makanan dan minuman anak-anak yatim. Kemudian apabila terdapat sisa dari makanan dan minuman anak yatim, para sahabat Nabi saw tidak memakan dan meminumnya serta membiarkannya membusuk. Hal tersebut memberatkan para sahabat Nabi saw, sehingga mereka menyampaikan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Kemudian turunlah ayat ke 220 surat Al-Baqarah ini, yang mengajarkan cara lain yang lebih baik.(Ali bin Ahmad Al-Wāhidī An-Naysābūrī, Asbābun nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th 1388H/1968M), hlm. 38-39).
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 Tahun 2017