Para sahabat Nabi saw, amat kuat berpegang pada aturan syari’at. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjalankannya, mematuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan termasuk berbagai wasiat yang terkait dengan persoalan anak yatim. Mereka sangat takut menyia-nyiakan anak yatim, seperti menghardik dan berbuat sewenang-wenang terhadap mereka (Qs Al-Ma’un [107]: 1-2) dan menggunakan harta anak yatim dengan cara zalim (Qs Al-An’am [6]: 152; Al-Isra`[17]: 34 dan Qs Adh-Dhuha [93]: 9).
Di antara bentuk kehatihatian para sahabat Nabi saw terhadap anak yatim sebagaimana telah dijelaskan di atas seperti memisahkan makanan dan minuman mereka dari makanan dan minuman anak yatim, ternyata sikap itu berdampak kurang baik terhadap kejiwaan anak yatim juga mereka. Anak yatim akan merasa tersisih dalam pergaulan dengan keluarga yang mengasuhnya, dan itu tentu tidak baik untuk perkembangan jiwanya. Di samping itu, cara ini juga akan membuat banyak harta yang terbuang sia-sia. Kebingungan dan rasa takut mereka, yang menyebabkan mereka mengajukan pertanyaan yang boleh jadi beragam, yang dijawab keseluruhannya dengan singkat tapi menyeluruh dalam lanjutan Qs Al-Baqarah ayat 220 ini.
Adapun hikmah dari menempatkan pertanyaan tentang anak yatim ini sesudah pertanyaan mengenai infak dan pertanyaan tentang khamr dan maysir adalah untuk mengingatkan adanya segolongan manusia yang lebih berhak dibantu dengan dana infak untuk kelangsungan hidup dan pendidikan mereka, yaitu anak-anak yatim. Oleh karena itu, manusia diperintahkan untuk memberikan harta yang berlebih dari kebutuhan mereka kepada anak yatim, dan bukan sebaliknya mengharapkan kelebihan harta mereka. Di samping itu, manusia dilarang membelanjakan harta yang akan mendatangkan kemudharatan seperti untuk khamr dan judi, sehingga tidak dapat memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan.
Kemudian terkait dengan penjelasan di atas, Allah melanjutkan firman-Nya yang berbunyi,
Katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah lebih baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu.
Makna ayat di atas adalah perintah terhadap Rasulullah saw untuk memberi penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para sabahat terkait perlakuan baik yang semestinya dilakukan terhadap anak-anak yatim. Dengan demikian, apa yang selama ini dilakukan oleh para sahabat Nabi saw, seperti memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, adalah sikap yang tidak baik dan tidak wajar, karena tidak mencerminkan keharmonisan kehidupan dalam keluarga.
Oleh karena itu, jika mereka hidup bersama dengan anak yatim, maka anak yatim tersebut harus diposisikan sebagai bagian dari keluarga, yang harus disayangi, dihormati, dan dihargai. Hal itu dilakukan untuk mencapai kebaikan bersama, karena pada hakikatnya antara anak yatim dan pengasuhnya adalah bersaudara. Dengan perlakuan seperti itu mereka merasa nyaman dan aman hidup dalam keluarga pengasuhnya untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Kemudian Allah melanjutkan penjelasan mengenai aturan tersebut di atas dengan firmanNya,
Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Ayat ini merupakan peringatan bagi orang-orang yang mengurusi urusan anak yatim, agar selalu mawas diri, berniat dan berbuat baik terhadap mereka dan tidak menyulitkan mereka. Allah mengingatkan bahwa tidak ada satupun yang terbetik di hati mereka yang tidak diketahuiNya, apakah dalam mengurusi anak yatim mereka bertujuan untuk kebaikan atau sebaliknya ingin mendapatkan keuntungan dengan menghabiskan harta anak yatim dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Allah akan mengawasi dan memperhitungkan dengan cermat semua niat dan perbuatan mereka, serta akan memberikan balasan yang sesuai dengan niat dan perbuatan tersebut. Aturan ini merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya sebagai bukti dari kasih sayang-Nya yang tidak terhingga. Dengan demikian, orang yang mengurusi anak yatim tidak dibebani dengan sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.
Aturan dalam mengurus anak yatim yang telah dijelaskan di atas, merupakan bukti kasih sayang Allah kepada hambaNya. Manusia wajib mentaati aturan tersebut dengan sebaikbaiknya. Sebenarnya jika Allah menghendaki dengan aturan membebani manusia, seperti melarang mencampurkan makanan dan minuman dengan makanan dan minuman anak yatim tentu Allah berkuasa atas hal tersebut. Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah tidak membebani dengan aturan yang menyulitkan manusia. Apabila Allah menghendaki untuk menyulitkan manusia, maka tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi-Nya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa, tidak ada yang lebih perkasa dari-Nya.
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2017