MADINAH, Suara Muhammadiyah – Diharapkan para kader Muhammadiyah lulusan Arab Saudi maupun Timur Tengah setelah kembali ke tanah air benar-benar menjadi kader yang berpikiran maju. Sebagaimana KH Ahmad Dahlan yang mendirikan dan membawa gerakan Islam ini semakin berkemajuan.
Demikian dipesankan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi dalam arahannya kepada anggota dan pimpinan PCIM Arab Saudi pada pertemuan yang diadakan di Madinah Al-Munawarah, Rabu (25/12).
Dalam menunaikan umrah bersama istri Siti Noordjannah Djohantini, Haedar Nashir berkesempatan bertemu dengan keluarga besar Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Saudi Arabia di bawah Ketuanya Abdul Latif. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain dr Agus Taufiqurrahman Ketua PP Muhammadiyah, Dr Kasiyarno Mantan Rektor UAD, para pengelola penyelenggara umrah PT Surya Citra Madani, Dr Muhammad Hakimuddin, Ketua PCIM Saudi periode lalu, dan warga Persyarikatan lainnya.
Haedar mengimbau agar para kader Muhammadiyah yang studi di Arab Saudi maupun Timur Tengah hendaknya mengikuti jejak Kiai Dahlan. Beliau bermukim dua kali di Makkah, tetapi pulang ke Indonesia menjadi mujadid, pembaru Islam yang fenomenal. Muhammadiyah berdiri dan menjadi gerakan Islam berkemajuan karena Kiai Ahmad Dahlan sang pendiri seorang mujadid yang “khariq al-‘adat” (di luar kelaziman) dan “dhakkak” (cerdas). Dia belajar di pesantren tradisional di tanah air, lingkungan umat Islam saat itu selain terjajah juga praktik keagamaanya jumud, serta Arab Saudi saat itu berada dalam dominasi Wahabi.
Namun Kiai Dahlan justru lahir menjadi pembaharu, yang menurut Dr Nurcholish Madjid, pembaruannya bersifat “break trough” atau melintasi-batas. Dahlan paham tafsir Almanar kemudian mengkontekstualisasikan dalam zaman yang berkembang, sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang modern bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia Islam, tulis Nurcholish. Pemikiran dan pembaruan amaliah Islamnya melampaui zamannya.
“Karenanya, para lulusan Timur Tengah, khususnya dari Saudi Arabia, jadilah kader ulama yang melintasi, meniru Kiai Dahlan”, tutur Haedar Nashir.
“Dahlan muda saja bermukim sebentar menjadi mujadid, tentu mereka yang studi dan tinggal tahunan di tengah situasi dunia modern saat ini harus lebih berkemajuan, jangan sebaliknya malah menjadi konservatif,” imbuh Haedar.
Jika pulang menjadi konservatif, malah akan menjadi paradoks dan bahkan beban bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah bisa ketinggalan dari organisasi-organisasi Islam lain yang semula tradisional dan jumud, sekarang boleh jadi berkemajuan karena para kadernya berpikiran maju.
“Konsep al-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah jangan disalahpahami menjadi kembali ke Islam masa lampau yang parsial, kulit luar, dan anti-kemajuan. Justru jika “Kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” harus mengikuti jejak Nabi Muhammad yang dengan Islam mampu mengeluarkan bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban “al-Madinah al-Munawwarah”, tutur Haedar.
Setelah itu Islam menjadi pusat peradaban dunia berabad-abad lamanya ketika Barat masih tertidur lelap. Namun kini Islam tertinggal dari Barat karena jauh dari jiwa kedua sumber ajaran Islam yang melintasi sebagaimana diajarkan Nabi dengan tradisi Iqra sebagai kunci pembuka dan penyebar risalah Islam untuk membangun “khyaira ummah” dan menjadikan Islam sebagai “din al-Hadlarah”.
Para kader Muhammadiyah lulusan Timur Tengah banyak yang berprestasi mengikuti jejak Kiai Dahlan seperti Prof Kahar Muzakkir tamatan Al-Azhar yang tahun ini diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
“Kita beberapa waktu klalu saksikan Hakimudin yang Ketua PCIM lulus dengan Suma Cumlaude. Maka, bagaimana mengasah dan meningkatkan kualitas berpikir keislaman yang melintasi, jangan seperti kotak dalam tempurung. Setelah ambil S1 dan S2 di Timur Tengah, bila perlu ambil S3 di Eropa dan Amerika Serikat, selain ada yang tetap melanjutkan di Timur Tengah,” ucap Haedar.
Haedar juga meminta kepada kader Muhammadiyah di Timur Tengah untuk memahami dan meluaskan pemikiran Tarjih tentang bayani, burhani, dan irfani dalam memahami dan mengaktualisikan Islam.
“Bacalah berbagai buku klasik dan kontemporer dari manapun datangnya, meskipun ditulis oleh seorang ateis sekalipun agar tahu alam pikiran atheisme. Jika menolak pemikiran liberal-sekuler harus berdasarkan ilmu, jangan ikut-ikutan. Tetapi jangan pula anti-liberal kemudian larinya menjadi konservatif dan ultra-konservatif atasnama salafiyah Islam,” tegas Haedar.
Kenapa demikian? Haedar menegaskan, karena Muhammadiyah saat ini dan ke depan menghadapi zaman posmodern dan era revolusi pasca 4.0 yang luar biasa maju dan kompleks. Muhammadiyah dengan pemikiran purifikasi dan dinamisasi Islam harus makin kaya pemikiran dan amal usahanya yang semakin berkemajuan.
“Tarjih dan tabligh pun harus berkemajuan menghadapi zaman baru itu. Di situlah letak para kader ulama Timur Tengah yang berkemajuan melintas-batas,” pungkas Haedar.(ppmuh/riz)