YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dosen Fisipol Universitas Muhammadiayh Yogyakarta (UMY) Dr Phil Ridho Al-Hamdi memaparkan sejumlah catatan kritis terkait politik kepemiluan tahun 2019. Dalam pemaparannya Ridho mengungkapkan bahwa Pemilu serentak yang telah berlangsung bulan April lalu perlu diapresiasi dan juga dikritisi.
“Saya melihat tahun 2019 ini adalah tahun politik total, sehingga Pemilu tahun 2019 ini bisa disebut sebagai The Most Spectacular Election of the World. Sepengetahuan saya belum ada satu pun negara yang menyelenggarakan pemilu secara serentak lima jenis Pemilu seperti di Indonesia. Hal ini merupakan prestasi yang patut diapresiasi,” ungkap Ridho dalam Diskusi Akhir Tahun 2019 di Aula Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).
Namun di sisi lain Doktor Ilmu Politik di Universitas TU Dortmund Jerman itu mengkritisi Pemilu 2019 tersebut. Sebagai salah satu komponen demokrasi, pemilu menjadi tolok ukur bagi keberhasilan demokrasi di suatu negara. Dalam hal ini Ridho menjelaskan terkait progres yang seharusnya terjadi dalam sistem demokrasi.
Ridho menyebutkan bahwa selama perjalanan demokrasi di Indonesia pergerakannya maju mundur. Menurutnya, demokrasi di Indonesia tidak mengalami pergerakan ke arah konsolidasi demokrasi secara penuh, tetapi juga tidak kembali dalam era keotoriteran.
“Dalam teori demokrasi dikatakan setidaknya dua dekade pemilu diselenggarakan seharusnya demokrasi sudah mapan dan stabil. Indonesia sudah melewati waktu dua dekade pemilu tersebut dan seharusnya demokrasinya sudah agak stabil. Indonesia ini tidak berada pada tahap konsolidasi demokrasi secara penuh, tetapi juga tidak kembali pada era otoriter, sehingga demokrasi di Indonesia ini maju mundur. Tidak maju ke depan menuju konsolidasi demokrasi secara utuh, tapi juga tidak mundur ke belakang,” jelas Ridho.
Soal Pemilu 2019, Ridho menyoroti beberapa hal. Pertama ialah kasus meninggalnya ratusan petugas TPS di berbagai daerah. Dalam hal ini beliau berkomentar bahwa hal tersebut bisa terjadi karena beban psikologis yang diterima oleh para petugas ditambah dengan tidak adanyanya syarat kesehatan untuk menjadi petugas TPS.
Kedua yaitu terkait kesalahan input hasil rekapitulasi suara. Ketiga masih merajalelanya perilaku politik uang bahkan hal tersebut diangggap normal. Dalam hal ini Ridho mengkritisi terkait lemahnya pembalaan hukum bagi masyarakat yang ingin melaporkan kasus politik uang yang terjadi.
“Politik uang masih dianggap normal, undang-undang kita tidak memberikan pembelaan hukum yang memberikan kenyamanan bagi orang yang ingin melaporkan kasus politik uang yang terjadi. Sehingga masyarakat merasa malas untuk melaporkan,” tambah Ridho.
Desain keterwakilan parlemen di Indonesia sistem proporsional terbuka, “Caleg tidak bisa lepas dari strategi padat modal. Untuk bisa banyak dipilih seorang caleg harus memiliki modal banyak. Sehingga ini menandakan bahwa ideologi partai memudar. Orang-orang yang punya kemampuan intelektual yang bagus karena tidak punya modal mundur dari pencalonan legislatif. Ketika pelantikan DPR RI 2019-2024, 50% latar belakangnya adalah pengusaha.”
Terakhir ialah menguatnya polarisasi masyarakat dengan pendekatan agama-etnis serta masifnya media sosial. Dalam hal ini beliau berkomentar bahwa pendekatan Islam digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek yaitu Pemilu 2019. (Ayu/Riz)