YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Indonesia menggunakan sistem demokrasi presidensil, yang dalam hal ini berarti tugas dan tanggung jawab terbesar sebenarnya pada presiden. Sistem ini mirip dengan sistem raja. Namun dalam demokrasi presidensil, raja ini diberi batas konstitusi untuk membatasi sifat rajanya tersebut,” jelas Zaenal Arifin, Dosen FH UGM dalam Diskusi Akhir Tahun di Aula Kantor Muhammadiyah Yogyakarta, pada Senin (30/12).
Dalam diskusi tersebut, Zaenal memberikan kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi karena dinilai tidak menjalankan sepenuhnya sistem demokrasi presidensil tersebut. Hal ini dilihat oleh Zaenal dari bagaimana Jokowi memutuskan kebijakan dengan cara yang dinilai lemah.
“Indonesia menggunakan demokrasi dengan model di mana veto presiden tidak bisa diveto balik. Sehingga dalam hal ini, secara hukum saya melihat politik hukum presiden dalam penyusunan perundang-undangan sangat lemah. Presiden dikasih peran yang sangat besar dalam penyusunan legislasi. Sayangnya, digunakan secara tidak tepat,” komentar Zaenal.
Dalam diskusi tersebut Zaenal juga mengkritik bagaimana Presiden Jokowi memberi keputusan terkait RUU KUHP dan RUU KPK.
“Apa yang terjadi pada tahun 2019 ada jarak yang jauh sekali ketika presiden menolak RUU KUHP dengan RUU KPK. Presiden menolak RUU KUHP dikatakan terlalu banyak persoalan yang masih mau kita perbincangkan, padahal pasal yang ditunda itu sekitar 6 atau tujuh pasal. Dengan alasan itu Presiden melakukan veto untuk tidak menandatangani RUU tersebut. Tetapi jauh berbeda sikapnya dengan RUU KPK padahal persoalan di undang-undang juga masih banyak,” tambah Zaenal.
Zaenal juga menambahkan kritiknya dengan mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak punya cetak biru terkait politik hukum dalam masa kepemimpinannya.
“Ini saya ingin mengatakan bahwa politik hukum jangan-jangan tidak jelas. Saya menduga presiden tidak memiliki cetak biru terkait politik hukum yang ingin dijalankan,” pungkasnya. (Ayu/Riz)