Catatan Rektor UNU Yogya dalam Diskusi Akhir Tahun PP Muhammadiyah

Catatan Rektor UNU Yogya dalam Diskusi Akhir Tahun PP Muhammadiyah

Dok SM

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi akhir tahun 2019 dengan memfokuskan pada empat bidang dasar yakni politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Rektor Universitas Nahdatul Ulama Yogyakarta, Purwo Sutanto menjadi salah satu pembicara dari pengamat bidang politik.

Momentum akhir tahun 2019 dikenang sebagai masa pentas politik yang panas, sehingga Purwo Sutanto menyampaikan bahwa banyak evaluasi dan catatan perjalanan roda pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Purwo menyebut para elit politik terseret dalam wacana liberalism namun terjebak dengan sistem yang licin.

Purwo Sutanto menjelaskan terjadinya siklus kekerasan di Indonesia dalam tiga dekade yang cukup menghatuinya. Pertama, revolusi kemerdekaan sebagai siklus pertumpahan darah yang disebut sebagai perjuangan. Kedua, pada tahun 60-an, lahirnya PKI di Indonesia. Ide dasar dari komunis yang berasal dari komunal atau solidaritas yang kemudian mereduksi ruang kebebasan untuk berbicara yang kemudian menghasilkan pertumpahan darah. Ketiga, masa sekarang ini, masa yang mampu dilalui panasnya demokrasi.

“Berawal dari kemungkinan para pengamat politisi yang bisa saja menjadi jalan pikiran sesat yang mensinyalir kedudukan liberalisme yang dapat mewacanakan watak kapitalisme kontemporer sehingga mengeksploitasi solidaritas. Hal ini juga tidak terlepas dari peran politisi di panggung demokrasi,” ujar Purwo di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Senin (30/12).

Sebagai civil society berbasis akademik, Purwo ikut melayani dan merefleksikan dalam memandu demokrasi negeri. Satu hal yang sangat disayangkan oleh Purwo yaitu tugas dari seorang dosen yang hanya bertugas di kelas sebagai pembatalan dari  mekanika sks dan tidak mengecek kualitas kewarganegaraan dari peserta didik. Purwo menyarankan agar diberikan pelajaran demokrasi yang tidak hanya terkungkung pada wacana.

Maka, Purwo sangat menekankan pada cara berfikir yang terorganisir. Etika politik bisa saja hilang ketika reformasi, karena tidak ada empati dalam politik yang disebabkan textbook sehingga lupa dengan software bumi Indonesia. Para elit politik bisa saja mengajarkan ketatanegaraan, namun tidak lupa dengan kewarganegaraan. Sehingga perlunya cek dan ricek dengan sistem dan mekanika serta balancing politik yang menghasilkan kompromi-kompromi.

Sebagaimana tujuan dari diskusi ialah memberikan edukasi dan memperkaya wawasan bagi masyarakat serta memberikan catatan-catatan kritik dan saran yang solutif terkait perjalanan pemerintahan lima tahun ke depan diberbagai sektor kehidupan. (Hida/Riz)

Exit mobile version