Diskusi Akhir Tahun 2019: Oligarki Menyebabkan Rapuhnya Demokrasi

Diskusi Akhir Tahun 2019: Oligarki Menyebabkan Rapuhnya Demokrasi

Dok SM

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi akhir tahun dengan tema “Catatan Kritis Bidang Ekonomi, Sosial, Politik dan Hukum 2019.” Diskusi tersebut dihadiri oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr M Busyro Muqoddas, SH, MHum sekaligus sebagai Keynote Speaker dan empat pembicara lainnya, masing-masing adalah Rektor UNU Yogyakarta Pro Dr Purwo Santoso, Dosen FEB UGM Dr Akhmad Akbar Soesamto, Dosen FH UGM Dr Zaenal Arifin Mochtar, dan Dosen Fisipol UMY DrPhil Ridho Al-hamdi.

Busyro Muqoddas menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia berada pada kondisi darurat. Praktek oligarki politik yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 hingga 2019 menjadi sebab rapuhnya sistem demokrasi di tanah air. Hal tersebut juga menyuburkan perilaku korup para pejabat. “Situasi ini sungguh sangat disesalkan karena sikap Presiden dan DPR yang cenderung melakukan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ungkapnya di Gedung PP Muhammadiyah Jl Cik Di Tiro, Yogyakarta, Senin (30/12).

Pembicara pertama Purwo Sutanto mengutarakan keprihatinannya bahwa siklus kekerasan dalam tiga dekade yang terjadi di Indoensia masih menghantuinya. Pertama, revolusi kemerdekaan sebagai siklus pertumpahan darah yang disebut sebagai perjuangan. Kedua, pada tahun 60-an, lahirnya PKI di Indonesia. Ide dasar dari komunis yang berasal dari komunal atau solidaritas yang kemudian mereduksi ruang kebebasan untuk berbicara yang kemudian menghasilkan pertumpahan darah. Ketiga, masa reformasi hingga saat ini, memanasnya demokrasi berakibat kepada polaritas yang semakin membesar ditengah-tengah masyarakat.

Akhmad Akbar Soesamto menyempaikan bahwa secara absolut, Indonesia menempati posisi negara berpendapatan menengah ke atas pada  peringkat ke-101 dari 183 negara. Hal ini terjadi karena ketidak seimbangan dengan pendapatan perkapita negara. Maka, Indonesia masih menempati posisi diatas 70 negara berkembang lainnya. “Dan yang menjadi PR lagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus ditingkatkan. Padahal UU APBN menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3%, dimana hal ini dianggap tidak realistis,” ujarnya.

Dosen FE UGM tersebut juga mengkritisi solusi pemerintah yang ingin menaikkan pendapatan ekonomi negara dengan memberikan banyak kelonggaran kepada investor-investor asing. Hal ini sangat dikhawatirkan ahli ekonomi bahwa pemerintah berpotensi mematikan industry-industri dalam negeri.

Dalam diskusi tersebut, Zaenal memberikan kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi karena dinilai tidak menjalankan sepenuhnya sistem demokrasi presidensil tersebut. Hal ini dilihat oleh Zaenal dari bagaimana Jokowi memutuskan kebijakan dengan cara yang dinilai lemah.“Indonesia menggunakan demokrasi dengan model di mana veto presiden tidak bisa diveto balik. Sehingga dalam hal ini, secara hukum saya melihat politik hukum presiden dalam penyusunan perundang-undangan sangat lemah. Presiden dikasih peran yang sangat besar dalam penyusunan legislasi. Sayangnya, digunakan secara tidak tepat,” komentar Zaenal.

Ridho Al-Hamdi memaparkan sejumlah catatan kritis terkait politik kepemiluan 2019. Dalam pemaparannya beliau mengungkapkan bahwa Pemilu serentak yang telah berlangsung bulan April lalu perlu diapresiasi dan juga dikritisi. Tahun 2019 adalah tahun politik total, sehingga Pemilu tahun 2019 ini bisa disebut sebagai The Most Spectacular Election of the World. “Sepengetahuan saya belum ada satu pun negara yang menyelenggarakan pemilu secara serentak lima jenis Pemilu seperti di Indonesia. Hal ini merupakan prestasi yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun disisi lain beliau juga mengkritisi Pemilu 2019 tersebut. Selama perjalanan demokrasi di Indonesia pergerakannya selalu maju mundur, mengalami pasang surut. Menurutnya, demokrasi di Indonesia tidak mengalami pergerakan ke arah konsolidasi demokrasi secara penuh, tetapi juga tidak kembali dalam era keotoriteran. “Dalam teori demokrasi dikatakan setidaknya dua dekade pemilu diselenggarakan seharusnya demokrasi sudah mapan dan stabil. Namun kenyataan di Indonesia tidaklah demikian,” ungkapnya.(Iko/Riz)

Exit mobile version