Yunahar Ilyas memang tergolong dari keluarga yang taat beragama. Ketika berumur 10 tahun, sejak kelahirannya di Bukit Tinggi 22 September 1956, ia pun mulai aktif dalam sebuah jamaah pengajian yang dikenal “Didikan Subuh”. Usai gerakan Satu Oktober (Gestok G30S/PKI), orang-orang di Sumatera Barat mulai berani kembali memakmurkan masjid-masjid. Sehingga lahirlah ide untuk mengumpulkan anak-anak setiap hari Ahad dengan melakukan shalat berjamaah dilanjutkan dengan pendidikan tentang Islam dan masjid sebagai pusat kegiatannya.
Begitu menamatkan pendidikan sekolah dasar, ia melanjutkan ke PGA atas dorongan saudaranya. Padahal sebelumnya telah diterima di SMP I Bukit Tinggi, sekolah yang tergolong terkenal. Sementara PGA yang dimasukinya, tidak lebih dari sekadar PGA ‘penampung’ (swasta) yang dinding bangunannya dari papan serta lantainya dari tanah. Namun akhirnya ia toh bersedia juga. Empat tahun menyelesaikan di PGA, ia pun melanjutkan kembali ke PGA Negeri di Padang, sambil mengikuti kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, jurusan Bahasa Arab.
Kegairahan dan keseriusannya memilih jurusan itulah yang mengantarkannya kuliah di luar negeri. Meninjak semester sembilan di Fakultas Tarbiyah, tepatnya 1979, ia mendapatkan beasiswa ke Ibnu Saud University, Saudi Arabia, hingga memperoleh gelar Lc. Keinginan untuk melanjutkan ke S2, begitu tamat dari Fakultas Ushuludin Imam Ibnu Saud University tidak kesampaian. “Sebab saya tidak mendapat beasiswa lagi, akhirnya menetap di Yogyakarta hingga sekarang,” ujarnya.
Bagi Pak Yun, begitu panggilan akrabnya, yang kini menjadi dosen tetap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga sering dipanggil ustadz, organisasi adalah tungku penggodokan sebuah pergerakan sekaligus kreativitas. Maka dipilihlah organisasi sebagai ajang pengabdiannya. Karena disadari, di samping belajar, ia memang tidak memiliki keahlian atau bakat lain, sebagaimana layaknya anak-anak muda yang ingin top dan dikenal orang.
Itu pula yang memotivasinya aktif di berbagai organisasi semenjak di PGA Bukit Tinggi maupun PGA Padang sebagai pengurus OSIS. Selain itu menjadi Sekjen IPM wilayah Sumatera Barat. Pernah pula menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol di samping menjabat sebagai Ketua Korkom hingga Ketua IMM Cabang Kotamadya Padang sekaligus merangkap Wakil Ketua DPD IMM Sumatera Barat.
Tak cukup itu, ia pun senantiasa aktif di jamaah wirid remaja serta club mahasiswa Puanapu juga di Bukit Tinggi. Kawasan Bukit Tinggi yang dikenal sebagai kota santri serta situasi lingkungan masyarakat yang serba agamis bahkan rumah yang selalu berdekatan dengan masjid telah melekat dan menjiwai kepiawaiannya berceramah semenjak masih kuliah di IAIN.
Dari latar belakang itulah, ia kini menjadi salah seorang mubaligh muda yang cukup sibuk dengan acara-acara ceramah dan menyampaikan makalah dalam berbagai seminar yang diadakan baik oleh organisasi keagamaan maupun kampus. Merasa kalau kemampuannya memang di lingkungan kampus, maka Pak Yun memilih kampus sebagai ajak kiprahnya dengan beberapa alasan.
Pertama, untuk Yogyakarta, tidak dapat mengambil lahan masyarakat pedesaan. Karena mereka lebih senang mendengarkan ceramah dalam bahasa Jawa, padahal itu tidak dikuasainya. Kedua, Yogyakarta pun dikenal sebagai kota pelajar-mahasiswa, maka lebih memfokuskan pembinaan di kalangan mahasiswa. “Sehingga lewat Jama’ah Shalahudin serta jamaah lainnya saya ikut membina mereka walaupun tidak secara organisasional. Namun saya sering dilibatkan ataupun melibatkan dalam training-training, dialog maupun pengajian-pengajian yang sering mereka adakan.”
Ketiga, dia melihat bahwa pembinaan yang intensif itu hanya bisa dilakukan jika diberikan dalam waktu yang cukup lama, rutin dan dalam jumlah yang tidak banyak.
Menurut Pak Yun, yang kini menjadi ustadz di Pondok Budi Mulia, keluh-kelah bagi seorang mubaligh dan sekaligus pemandu ummat itdak banyak berbeda. “Masalahnya hanya soal waktu, al waajibaat aktsar min al aukooot–kewajiban kita itu ternyata lebih banyak dari waktu yang tersedia. Di samping prihatin kepada para mubaligh terutama di Yogyakarta kurang. Konkritnya, jika si mubaligh sehat dipakai terus, entah berapa kali dalam sehari. Sebaliknya jika sedang udzur atau sakit ia dilupakan,” ujarnya menyayangkan.
Itulah maka keyakinannya dalam ber-Islam amat kuat. “Sebab agama merupakan alternatif bagi kita dalam seluruh aspek kehidupan. Akan tetapi kesemuanya itu tidak mungkin bisa dicapai sekaligus, melainkan melalui proses panjang. Sebagaimana dakwah Rasulullah kan dimulai dari bawah. Mulai dari pribadi beliau, keluarganya, masyarakat sekitar hingga dalam berbangsa dan bernegara. Yang penting bagi kita bukan memikirkan kapan perjuangan membina ummat ini akan selesai. Sebab perjuangan semacam itu bukan perjuangan satu, dua tahun, satu generasi dua gunerasi, tetapi perjuangan sepanjang generasi,” ujarnya. (Zuli Qodir)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 1993