Upaya Muhammadiyah Mengangkat Martabat Umat

Upaya Muhammadiyah Mengangkat Martabat Umat

Oleh: Isngadi Marwah Atmadja

Sebagai generasi kekinian, kita bisa membaca sejarah kejayaan Islam di seluruh dunia. Kita juga bisa membaca kisah kemasyhuran Majapahit, Demak, Sriwijaya, maupun Tarumanegara yang disegani berbagai bangsa di dunia.

Ironisnya, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga beragama Islam, saat ini kita justru tengah mengalami keterpurukan berganda.

Berbagai upaya untuk mengangkat derajat dan martabat umat Islam tidak pernah lupa untuk dilakukan. Namun karena terlalu banyak yang ingin dicapai, agenda itu banyak yang hanya terhenti di perdebatan. Bahkan lebih banyak yang berakhir pada permusuhan antar kelompok umat Islam sendiri.

Sebagai bagian dari umat Islam, Muhammadiyah pernah mempunyai solusi jitu dalam upaya mengangkat derajat dan martabat umat Islam ini. Tepatnya, pada Kongres Muhammadiyah ke-24 tahun 1935 di Bandjarmasin. Saat itu kongres menghasilkan kesimpulan yang dapat diterapkan saat itu juga.

Dalam Suara Muhamadiyah nomor 5 tahun 1991, Pak AR Fachrudiin (Allahu yarham) menuturkan suasana kongres tersebut. Mayoritas peserta kongres yang terdiri dari para konsul (Ketua Muhammadiyah Karesidenan), terutama yang masih muda, seperti KH Hasbullah dari Madura, Martosudarmo dari Betawi, Tjitrasuwarno dari Pekalongan, KH Abdul Mu’thi dari Madiun, R Moeljadi Djajamartana, R Zaenuddin Fanani dari Palembang dll semua menyampaikan usul yang muluk-muluk yang dihubungkan dengan ketinggian martabat umat Islam pada zaman keemasan sewaktu kejayaan di Spanyol dan lain sebagainya.

Sebagai aktivis muda yang terpelajar dan banyak membaca literatur dari berbagai bangsa, kaum muda ini terlihat sangat menguasai seluruh teori ilmu pengetahuan yang tengah berkembang. Namun, perdebatan yang diwarnai berbagai argumen dan teori tingkat tinggi itu akhirnya ditengahi oleh KH Mas Mansur.

Saat itu, dengan lugas namun kalem dan perlahan, KH Mas Mansur menyatakan pendapatnya, bahwa untuk meningkatkan derajat ummat Islam adalah dengan disiplin menepati waktu. Misalnya, kalau ada persidangan yang dalam undangan akan dimulai jam 20.00, maka harus dimulai pada jam 20.00 tepat. Peserta sidang harus datang dan bersiap sepuluh atau lima menit sebelum waktu dimulainya persidangan. Kalau dalam waktu sepuluh menit belum ada orang yang datang, maka dengan niat yang tulus, kitalah yang akan jadi orangnya.

Eloknya, usul KH Mas Mansur itu justru yang disepakati semua peserta sidang. Mulai saat itu pula semua persidangan dalam kongres ke-24 di Bandjarmasin dimulai tepat pada waktunya. Setelah kongres selesai budaya tepat waktu ini kemudian menjadi ciri khas bagi Pergerakan Muhammadiyah.

Utusan pemerintah (penjajah) Belanda yang datang di setiap acara Muhammadiyah di(ter)paksa mengikuti budaya itu tanpa bisa membantah. Karena kalau dalam undangan tertera acara dimulai jam 08.00 maka acara akan dimulai tepat jam 08.00. Meski wakil pemerintah (penjajah) Belanda belum datang, acara itu akan tetap dimulai. Akhirnya wakil pemerintah penjajah Belanda itu datang lebih awal. Mereka akan datang beberapa menit sebelum waktu yang tertera di undangan.

Dalam catatan Pak AR, budaya tepat waktu ini kemudian berantakan saat terjadi pergantian pemerintahan. Dari penjajah Belanda ke balatentara Jepang.

Upaya Muhammadiyah dalam menepati disiplin waktu ini juga tercatat dalam Suara Muhammadiyah nomor 2, edisi Shafar 1358/ Mei 1939. Lewat artikel yang berjudul “Menepati waktoe Bersidang” Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali menegaskan tidak boleh ada kegiatan Muhammadiyah yang terlambat untuk dimulai dengan redaksi sebagai berikut,

“tidak boleh ada persidangan, pertemuan, tabligh, dan sebagainya yang diadakan oleh Muhammadiyah dengan terlambat waktunya, dari pada yang telah ditetapkan dalam surat undangan atau maklumat.

Seberapa ada, yang sudah datang, buka dan mulailah rapat itu. Jangan dinantikan orang yang masih belum ketentuan datangnya atau melambatkan keperluan itu.

…. Betapa jelek dan rendahnya sidang yang dibuka dengan tidak menepati waktu, serta seberapa karatan orangorang yang suka melambatlambatkan dan dilambatkan sidangnya itu, tidaklah usah kita bentangkan lagi, memalukan….. benar aib sekali!…

Barangkali ada yang memuskilkan, bagaimana kalau sampai waktunya akan dibuka, tetapi bestuur belum lengkap, atau yang hadir kurang dari separuhnya (HR pasal XXII no 3 sebagai pasal XXI no 3)?, Kalau memang tidak cukup, padahal sudah sampai pada waktunya sidang dibuka; maka bubarlah! Tidak usah diteruskan bersidang. Jangan ada sidang yang telat dibuka.”

Peringatan dalam Suara Muhammadiyah nomor 2, edisi Shafar 1358/ Mei 1939 ini juga disertai klausul berbagai konsekuensi terjadinya sidang yang batal karena keterlambatan ini.

Isngadi Marwah Atmadja, Direkur Pusat Data dan Litbang Suara Muhammadiyah

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018

Exit mobile version