Kontestasi Tafsir Pancasila
Prof Dr H Muhadjir Effendy
Berdasarkan hasil survey tentang Islam dan kebangsaan yang dilakukan oleh UIN Jakarta tahun 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu 84,7% lebih mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Tetapi ada 22,8% responden yang mendukung terbentuknya Negara Islam. Temuan itu juga memperkuat hasil survey LSI tahun sebelumnya, yaitu 69,6 responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila sedang 11,5% menginginkan Negara Islam, dan 3,5% menginginkan Indonesia sebagai Negara demokrasi liberal ala Barat.
Kemudian harian Kompas tahun 2008 merilis bahwa 48,4% responden usia 17-29 tahun tidak bisa membaca lengkap Pancasila secara benar dan lengkap, 42,7% berusia antara 30-45 tahun salah menyebut sila-sila dalam Pancasila, lebih parah lagi pada responden 45 tahun ke atas, 60,6 % tidak bisa lengkap membaca Pancasila.
Dalam kondisi yang krusial ini maka perlu membangun mainstream atau mengarus-utamakan kembali Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang semenjak reformasi mengalami ketersingkiran, sehingga praktik berbangsa dan bernegara jauh dari nilai dan norma yang sudah disepakati bersama.
Istilah Pancasila itu katanya, boleh percaya atau tidak, berasal dari kitab Negarakertagama yang pengarangnya Empu Prapanca, kemudian ada kitab Kakawin Sotasoma oleh Empu Tantular, kitab Tripitaka kitab suci agama Budha. Bung Karno adalah penemu utama Pancasila. Adapun garuda Pancasila itu pertama diusulkan oleh Sultan Hamid II, yaitu menteri Negara Zonderportofolio pemerintahan republik Indonesia serikat. Jadi sebetulnya garuda Pancasila ini baru diusulkan tahun 1950.
Bentuk garuda Pancasila ternyata juga dipengaruhi oleh lambang kerajaan Samudera Pasai. Bedanya lambang Samudera Pasai itu bertuliskan Arab dan berlafal syahadat, sedang Pancasila bertuliskan bhineka. Bahkan konon garuda Pancasila juga meniru lambang Negara Amerika Serikat. Intinya saya ingin menjelaskan bahwa begitu banyak sekali pengaruh falsafah Pancasila kita baik dari dalam maupun dari luar. Dari Hindu ada, dari Islam ada, dari Negara lain seperti AS juga ada terutama kaitannya 1945 yang menjadi momentum kebangkitan AS menjadi negara adi daya.
Berdasarkan sejarah, awal kemerdekaan Pancasila belum menjadi kesepakatan umum, belum menjadi sub ideologi. Saat itu masing-masing kelompok bekerja keras seperti Islam yang bekerja keras memasukkan nilai-nilai ajaran agama ke dalam Pancasila. Selanjutnya pada masa Orde Lama, Negara menjadi penafsir utama Pancasila melalui sosialisasi dan indoktrinasi dalam rangka membangun hegemoni. Masa Orde Baru lebih keras lagi, pemerintah atau penguasa pada saat itu tidak cukup menafsirkan dan indoktrinasi Pancasila, lebih dari itu pemerintah melakukan kekerasan terhadap siapa saja yang menyimpang dari Pancasila. Pasca reformasi kecenderungan penafsiran Pancasila ini diserahkan kepada pasar.
Sekarang ini, Muhammadiyah sedang bekerja keras merebut hegemoni sebagai penafsir Pancasila. Karena itu melalui Muktamar 47 lalu Muhammadiyah mengeluarkan konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Tidak lain konsep itu adalah upaya untuk merebut kontestasi tafsir Pancasila. Upaya itu penting dilakukan Muhammadiyah untuk menarik penafsiran kepada jalan tengah tidak berdasarkan pemimpin sebagaimana Orde Lama dan Orde Baru, tidak pula berdasar pasar sebagaimana pasca reformasi sekarang ini. Karena penafsiran dari organisasi seperti Muhammadiyah bisa mewakili suara rakyat pada umumnya, mewakili civil society. Bahkan kelanjutannya tidak hanya penafsir tapi juga pelaksana Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (gsh)
Kontestasi Tafsir Pancasila. Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14 Tahun 2016