Oleh: Muhsin Hariyanto
Dari hari ke hari, saya merasa semakin gamang untuk menjawab pertanyaan para mahasiswa, ”Mungkinkah kita menjadi orang baik dan memerbaiki diri dan lingkungan kita di tengah masyarakat yang tengah ’rusak’, karena Rasululllah saw pernah berpesan, ’Beruntunglah orang-orang yang asing, yaitu mereka yang melakukan perbaikan ketika orang-orang telah rusak.’” (HR at-Tirmidzi dari Amru bin ’Auf bin Zaid).
Namun, sebagai seorang Muslim saya dituntut untuk menjadi ‘orang yang selalu optimis’, yang tentu saja tidak sekejap pun boleh berputus asa. Bukankah Allah telah berpesan dengan firmanNya, ”… janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir?” (Qs Yusuf [12]: 87). Inilah salah satu pesan moral yang bisa dipahami oleh setiap orang yang beriman, ”Pantang Menyerah”.
Para ulama menyatakan, bahwa selalu ada cara untuk tetap menjadi ’yang terbaik’, meskipun ’kita’ tengah berada di tengah (lingkungan) yang tidak kondusif sekali pun. Kita—orang-orang yang beriman—telah diberi sebuah potensi oleh Allah berupa: ”al-qalb (hati)”, yang bisa berperan sebagai ’penggerak’ yang sangat kuat di tengah tantangan kehidupan seperti apa pun. Bila hati dalam keadaan bersih, maka ’dia’ akan berperan untuk menggerakkan seseorang ke arah yang serba positif. Sebaliknya, bila hati dalam keadaan kotor, maka ’dia’ akan berperan untuk menggerakkan seseorang ke arah yang serba negatif.
Ibnu Athaillah as-Sakandari, misalnya—dalam kitab al-Hikam—pernah menyatakan, bahwa di dalam diri manusia terdapat bagian yang namanya ’al-qalb’ (hati). Hati inilah yang berkemampuan untuk menjadikan seseorang (dan juga komunitas manusia) ’selamat’ atau ’tidak’. Hati inilah yang juga bisa menumbuhkan iman dan berseminya amal shalih. Kegersangan hati—yang ditandai oleh keringnya iman dan keengganan beramal shalih—manusia hanya bisa disembuhkan oleh kedekatan dirinya kepada Allah SwT, yang—ketika kita tengah berada dalam kubangan kemaksiatan—hanya ada satu cara untuk melakukannya, yaitu ”ber-’uzlah” (mengasingan diri). ’Uzlah adalah sebuah cara untuk menghadapkan hati secara terarah ’khusus’ kepada Allah SwT, yang dengan cara itu hati manusia akan terbebaskan dari kubangan kemaksiatan.
Ber-’uzlah—menurut Ibnu Athaillah—bisa dilakukan oleh setiap orang dengan tiga pola. Pertama, ber-’uzlah secara batiniah (dengan hati) saja sementara secara fisik tidak dilakukan. Kedua, ber-’uzlah secara fisik (saja) sementara secara batiniah tidak dilakukan. Ketiga, ber- ’uzlah baik secara fisik maupun batin (jasmani-ruhani, secara simultan).
Ber-’uzlah menurut kriteria pertama adalah: ”memelihara hati dari keadaan sekitar”. Meskipun seseorang hidup di tengah kemaksiatan, dia tidak akan terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Ber-’uzlah menurut kriteria kedua adalah: ”tinggal menyendiri secara fisik, tetapi karena hati (batin)-nya tidak berperan, maka seseorang bisa terpengaruh oleh kemaksiatan”. Dan ber-’uzlah menurut kriteria ketiga adalah: ”benar-benar menjauhkan diri dari keadaan sekitarnya baik secara fisik maupun hati (batin)-nya, sehingga seseorang benar-benar bisa terhindar dari kemaksiatan karena keterasingannya.
Menurut Ibnu Athaillah, ’Uzlah yang terbaik adalah ’Uzlah Ahlun Nihayah. Manusia yang berada pada posisi ini, hidupnya diibaratkan seekor ikan yang hidup di laut. Ikan laut tidak akan terasa asin walaupun ia hidup di air laut yang begitu asin. Begitulah hidup orang yang beriman. ’Ia’ sangat dekat kepada Allah SwT. ’Ia’ tidak pernah terpengaruh oleh keadaan sekitarnya yang penuh kemunkaran. Dirinya bisa menjadi beramar ma’ruf-nahi munkar di tengah kubangan kemaksiatan, tanpa harus mengasingkan diri secara fisik, karena hatinya telah ’ber’uzlah (melepaskan diri) dari kemaksiatan, dengan cara ”mendekatkan diri kepada Allah”.
Manusia yang menggerakkan dirinya dalam dakwah ”amar ma’ruf nahi munkar”, dengan melakukan ’uzlah ahlun nihayah, tak perlu gentar dengan keadaan apa pun, karena dia yakin bahwa Allah selalu bersamanya. Dan inilah yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah saw kepada seorang sahabat karibnya —Abu Bakar ash-Shiddiq— dengan kalimat, ”lâ tahzan, innallaha ma’ana” (Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita). (Qs At-Taubah [9]: 40).
Muhsin Hariyanto, Dosen Tetap FAI-UM Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2015