Bagaimana umat dan warga bangsa menyikapi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019? Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Prof DR HM Din Syamsuddin, menyampaikan pesan moral yang penting. “Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja. Karena boleh jadi sewaktu-waktu dia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah lawan politikmu sedang-sedang saja. Karena boleh jadi sewaktu-waktu engkau akan mencintainya,” pesan Prof Din di Kantor MUI, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019. Pesan itu merujuk pada Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs Al-Baqarah: 216).
Pesan Prof Din dalam posisi sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI dimaksudkan agar pendukung masing-masing calon presiden 2019 bersikap rasional, proposional, dan moderat. Dihimbau agar para pendukung tidak terlalu ekstrem dalam mendukung pilihannya. “Apalagi sampai menghujat, meniadakan, dan mendegradasi kemanusiaan,” katanya. Beliau bahkan menyayangkan adanya pendukung yang memanggil nama orang yang berbeda pilihan politiknya dengan istilah binatang. “Itu sama saja tidak menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang seharusnya dimuliakan” tegas Prof Din sebagaimana luas dikutip media massa.
Ketua Wantim MUI yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode (2005-2015) itu pun menegaskan, agar bangsa Indonesia menghadapi agenda demokrasi, khususnya Pileg dan Pilpres secara damai dan beradab. Masyarakat diajak untuk menjadikan agenda demokrasi lima tahunan itu sebagai cara menghindari ketidakadaban. “Biar lah kita berbeda pilihan, baik untuk anggota legislatif dan partai, maupun untuk pilpres. Tapi janganlah, baik untuk ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniah, persaudaraan kebangsaan kita porak poranda, maka itu yang kami pesankan agar interaksi kelompok pendukung terutama di media sosial jangan terlalu ekstrem,” tegasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, sebelumnya juga berpesan yang sama dalam Sambutan Pembukaan dan Pidato Iftitah Tanwir di Bengkulu 15 Februari 2019. Ditekankan agar umat dan warga bangsa, lebih khusus anggota Persyarikatan, menyikapi tahun politik dengan sikap tengahan dan tidak ghuluw atau berlebihan. Menghadapi kontestasi politik lima tahunan jangan menjadi urusan “to be or not to be” atau “hidup-mati”. Politik sebagai urusan mu’amalah dunyawiyah yang dasarnya ibahah (kebolehan) dan bersifat lentur jangan ditarik menjadi serbakeras dan absolut. Berpolitiklah yang mencerahkan, sebagai bagian dari “Beragama yang mencerahkan”, yang menjadi tema Tanwir Bengkulu.
Pesan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat bersama para tokoh Organisasi Islam tersebut sangatlah bermakna. Pesan moral tersebut selain sebagai acuan bersikap juga menjadi peredam situasi politik yang menajam, mengeras, dan membelah saat ini. Perlu dimoderasi sikap yang cenderung mutlak-mutlakan dalam berpolitik, sehingga antar pendukung politik tidak saling berhadapan seolah pertempuran. Lebih-lebih ditambah dengan isu-isu keras yang membuat umat atau warga bangsa tergiring pada keadaan gawat-darurat “jika tidak ini, maka Indonesia dan umat Islam nasibnya akan terancam”.
Penting diingat dengan seksama, semua yang berkontestasi dan para pendukung politik itu saudara sebangsa yang bertujuan untuk memajukan Indonesia. Maka, marilah secara bersama-sama mengembangkan sikap politik yang moderat disertai saling percaya dan menebar keadaban mulia agar Indonesia tetap utuh, maju, dan diberkahi Allah. Siapapun nanti yang menang maupun kalah semuanya satu keluarga sebangsa untuk Indonesia. Inilah pesan dan sikap politik yang mencerahkan! (hns)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019