Hadirnya pondok pesantren Muhammadiyah tentu menggembirakan. Ini menunjukkan munculnya gairah aktivis Muhammadiyah untuk mencetak ulama yang tafaqquh fiddin wa tafaqudd dunia. Ahli dalam ilmu agama dan ahli dalam ilmu pengetahuan umum atau sains. Untuk memacu atau melakukan percepatan pengembangan (akselerasi) pondok pesantren Muhammadiyah maka Muktamar Muhammadiyah ke-47 memutuskan untuk mendirikan Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah (LP3M).
Mengapa Muhammadiyah, dalam perjalanan sejarahnya kemudian menengok kembali Pondok Pesantren? Awalnya, pada menjelang Muktamar Muhammadiyah ke41 di Solo tahun 1985 ada seminar tentang kelangkaan ulama Muhammadiyah. Waktu itu disadari betul bahwa Muhammadiyah mulai mengalami krisis ulama. Sebab ulama generasi pertama dan kedua yang pernah memperoleh pendidikan ilmu agama di pondok pesantren, satu persatu meninggal sebelum sempat mendidik penggantinya. Waktu itu muncullah gagasan untuk mendirikan pondok pesantren di kalangan Muhammadiyah.
Daerah Muhammadiyah yang masih memiliki potensi sebagai daerah santri, dan masih memiliki ulama senior kemudian bergegas mendirikan pondok pesantren Muhammadiyah.
Tentu sentuhan Muhammadiyah dalam mengelola pondok pesantren berbeda. Memiliki visi berkemajuan, menghasilkan ulama dan ahli sains yang tafaqquh fiddin dan tafaqqud dunia. Ketika kemudian di Jawa Barat, di Sulawesi Selatan, di Sumatera Utara berdiri pondok pesantren, kemudian diikuti daerah lain, semangatnya diambil dari semangat sekitar Muktamar Solo itu. Tigapuluh tahun kemudian lahirlah semangat atau spirit Muktamar Makassar.
Bagaimana tanggapan di kalangan pondok pesantren Muhammadiyah sendiri atas hadirnya LP3M? Drs Amir MR, MM Wakil Direktur Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Sulawesi Selatan mengatakan, selama ini, urusan pesantren Muhammadiyah diurus langsung oleh Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah. ”Menurut saya, selama berada di bawah Dikdasmen, pesantren Muhammadiyah kurang berkembang dan jauh dari harapan karena kurang ada perhatian khusus. Dengan adanya LP3M, yang secara khusus hanya membawahi pesantren, saya optimis ke depan pesantren di lingkup Persyarikatan bisa menjawab berbagai tantangan khususnya dalam membentuk kaderkader ulama,” tuturnya.
Salah satu problem besar Persyarikatan hari ini, minimnya kader ulama, kader yang dalam betul pengetahuannya akan ilmu agama. Sering dikatakan, Muhammadiyah sudah mengalami krisis ulama. ”Untuk menjawab tantangan tersebut, maka dibutuhkan pondok pesantren dan Pendidikan Ulama Tarjih (PUT). Karena memang hanya dua lembaga tersebut yang fokus pada pembentukan kader dengan kualitas pengetahuan agama yang mumpuni,” kata Amir menambahan.
H Sholahuddin Sirizar,LC.MA Pimpinan Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo Sukoharjo Jawa Tengah ketika ditanya soal daya saing pondok pesantren Muhammadiyah menjawab,”Kami di pesantren Imam Syuhodo Muhammadiyah Cabang Blimbing, Kabupaten Sukoharjo merasa tidak pernah bersaing dengan pondok pesantren lain, termasuk yang bukan Muhammadiyah,. Akan tetapi kami selalu berniat ingin berlomba-lomba dalam kebaikan. Yaitu mendidik santri-santri kami untuk bertafaqquh fid-diin, memiliki aqidah yang lurus, akhlak yang mulia, beribadah dengan benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw.”
Dalam rangka untuk bertafaqquh fid-din, para santri dibekali dengan penguasaan ilmu alatnya, yaitu bahasa Arab (nahwu dan shorofnya) yang merupakan bahasa dari Kitab Suci Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu mereka juga dibekali dengan ilmu ushul fiqh secara umum dan dikenalkan dengan Ilmu Manhaj Tarjih Muhammadiyah secara khusus, sebagai alat untuk berijtihad.
Ketika ditanya tentang Pesantren ‘Berkemajuan’, Sholahuddin berkomentar, “Kami hanya berfikir sederhana saja, tidak sampai berfikir muluk-muluk seperti mengubah paradigma pesantren dan lain sebagainya. Kami hanya sadar bahwa, Muhammadiyah selain gerakan amar-ma’ruf nahi-munkar, juga merupakan gerakan tajdid.”
Bagi dia, Tajdid menurut Muhammadiyah ada dua macam, tajdid salafi dan tajdid kholafi. Tajdid salafi, merupakan tajdid di bidang ibadah khusus atau makhdhah, yang bersifat ta’abbudi, pengamalannya harus ada perintahnya dari agama, dan mengerjakannya harus mengikuti contoh langsung atau tuntunan dari Rasulullah saw, jadi prinsipnya taat, sami’na wa atha’na. Adapun tajdid kholafi, merupakan tajdid di bidang ibadah umum atau ghoiru makhdhah. Tajdid jenis yang kedua ini bersifat ta’aqquli yang berkembang dan dinamis. Perbuatan ta’aqquli bisa di analisis secara rasional. “Memanfaatkan jenis tajdid kholafi inilah, kami berusaha membuat inovasi-inovasi untuk memajukan pendidikan di pondok pesantren kami. Kurikulum pesantren kami, mengikuti program pemerintah dalam pendidikan formalnya. Namun kami tambah dengan muatan Ilmu Kepesantrenan (untuk bertafaqquh fid-diin ) sekitar 24 jam perpekannya. Dan untuk meningkatkan kwalitas pembelajaran, setiap kelasnya kita fasilitasi dengan LCD.
“Para santri juga kami perkenalkan dengan beberapa kelompok pemahaman agama yang berkembang di tengah masyakakat, dari yang ekstrim kanan sampai yang ekstrim kiri, kemudian kami jelaskan di mana posisi Muhammadiyah di antara kelompok-kelompok pemahaman agama tersebut. Jadi, berkemajuan menurut kami, tidak hanya mampu mengikuti dan memanfaatkan kemajuan teknologi modern saja, namun juga memiliki wawasan yang integral dan komprehensif antara urusan dunia dan akherat, yaitu sebagai “Ummatan Wasathan” dan generasi “Ulul Albab”,” ungkap Sholahuddin.
Yunus Muhammadi, Ketua ITMAM (Ittihad Al Ma’ahid Al Muhammadiyah) menjlaskan, “Sebagai ketua ITMAM saya sudah berkeliling lebih dari 120 pesantren di seluruh Indonesia. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa ternyata masih banyak pondok pesantren Muhammadiyah yang jauh dari predikat berkemajuan. Bahkan ada yang sekedar berdiri papan nama, namun tidak ada kegiatan kepesantrenan. Sehingga untuk saat ini sangat dibutuhkan pembinaan-pembinaan guna memajukan pesantren Muhammadiyah yang ada.”
ITMAM sendiri sudah melakukan beberapa pendampingan untuk pondok pesantren yang dianggap hidup segan mati tak mau. “Alhamdulillah pesantren binaan ITMAM kini sudah berkembang pesat dan jauh lebih maju dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya itu, pendampingan yang dilakukan ITMAM juga menginspirasi Daerah dan Cabang lain untuk mendirikan pesantren Muhammadiyah. Khususnya di DIY dan Jateng, pendirian pesantren itu massif dilakukan,” kata Yunus.
Melihat begitu banyaknya jumlah pesantren Muhammadiyah yang ada, tentu ITMAM sendiri merasa kualahan. Khususnya terkait permintaan ustadz-ustadz muda untuk mengajar di pesantren. Sebelum jumlah itu bertambah pesat sebagaiman sekarang, dengan keterbatasan ITMAM tidak semua pesantren memperoleh pembinnan langsung dan intens. Sekarang jumlah pesantren makin bertambah tentu dibutuhkan terobosan baru agar pembinaan itu terus berjalan dan merata.
Yunus berpendapat, “Dengan lahirnya LP3M, tentu kami bersyukur karena harapan membina dan membesarkan pesantren Muhammadiyah itu makin kuat. Memang kami sangat menginginkan lahirnya sebuah Majelis khusus untuk membina pesantren. Namun untuk saat ini LP3M dipandang sudah cukup dan mampu melakukan perubahan signifikan untuk kemajuan pesantren.”
Selain kekurangan ustadz, sampai hari ini, pesantren Muhammadiyah tidak memiliki format pendidikan yang baik. Bisa di katakan, format pendidikan pesantren Muhammadiyah sampai hari ini masih kacau balau. Dari temuan ITMAM, tidak sedikit pesantren Muhammadiyah yang menjalankan pendidikan setengah-setengah. Inginya disebut pesantren namun kenyataannya pendidikan yang dijalankan jauh dari kegiatan kepesantrenan. Karena setengah-setengah, maka hasilnya pun setengah-setengah bahkan cenderung tidak jelas lulusannya.” Tentu ini juga menjadi tugas LP3M ke depan untuk membina mereka,” kata Yunus berharap.
KH Jalaluddin Sanusi Direktur Umul Mukminin Makassar melihat, salah satu yang menghambat perkembangan adalah belum adanya kebijakan baku yang mengatur sistem kepesantrenan Muhammadiyah. Baik itu kebijakan baku kurikulum, konsep pendidikan, bahkan peraturan kepengurusan.
Selama ini, menurut dia, masih banyak pondok pesantren yang berjalan sesuai kehendak pengurusnya tanpa dibatasi rambu-rambu sistem yang jelas. Yang paling menonjol adalah sistem pergantian pengurus.
KH Jalaludin menjelaskan, “Pesantren Muhammadiyah itu berbeda dengan pesantren lain. Di Muhammadiyah berlaku kepemimpinan kolektif kolegial karena itu milik organisasi Persyarikatan. Barangkali pesantren lain hanya dikelola oleh keluarga dan sistem yang berlaku adalah prinsip kekeluargaan.
Maka jangan sekali-kali mudzir atau pengurus itu merasa pesantren Muhammadiyah adalah miliknya, itu salah. Pesantren adalah amanah yang diberikan Persyarikatan kepada individu bukan keluarga.
Dengan demikian, ketika masa khidmat itu selesai, maka pengurus lama harus ikhlas memberikan jabatannya kepada yang lain agar kepengurusan pesantren selalu berjalan dinamis. Itu juga bagian dari kita untuk memberi kesempatan kepada yang lain untuk memajukan pesantren.
“Adanya LP3M sangat memungkinkan akan diberlakukanya peraturan tersebut sebagaimana peraturan Majelis Dikdasmen kepada sekolah. Kebijakan LP3M yang nantinya akan dijadikan patokan baku dalam membangun sistem pesantren yang baik itu harus dipatuhi dan dipahami baik oleh mudzir dan pengurus pondok pesantren Muhammadiyah. Saya takutnya, semoga tidak terjadi, ada pesantren Persyarikatan yang enggan mentaati peraturan tersebut. Padahal sejatinya didirikan LP3M adalah untuk mengurus semua hal yang berkaitan dengan pesantren guna menghidupkan kembali, mengembangkan, dan memajukanya,” tutur KH Jalaluddin.
Ustadz Muhammad Nashirul Ahsan, LC Direktur Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan mendukung lahirnya LP3M. “Menurut kami, keberadaan LP3M ini tepat, walaupun keinginan agar ada sebuah majelis belum bisa terwujud. Namun kami kira ini yang terbaik,” katanya.
Selama ini pondok pesantren Muhammadiyah kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Dari hal yang paling konkret saja sekarang para pondok pesantren ini berkembang sendiri-sendiri, belum terkonsep secara utuh dan terkoordinir.
Tiap pesantren memiliki ciri khas sendiri-sendiri walaupun juga sebenarnya tidak bisa diseragamkan secara utuh. Namun kita perlu batasan-batasan atau standar minimal pesantren Muhammadiyah seperti apa.
Ustadz Muhammad menyatakan harapannya, “Kami harap dengan adanya lembaga tersendiri ini pesantren akan mendapat porsi perhatian yang semestinya. Apalagi pesantren akan menjadi pendidikan yang ideal di masa depan.”
Dengan demikian memang tepat kalau akselerasi pondok pesantren Muhammadiyah diserahkan kepada LP3M. Mumpung lembaga ini masih baru dan segar. (Bahan: tar, gsh, tof. Tulisan: tof)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2016