Beberapa belas tahun terakhir ini, ada semacam kerinduan dalam keluarga besar Muhammadiyah pada kehadiran Pondok Pesantren Muhammadiyah yang mumpuni dan berkemajuan. Pondok pesantren yang mampu melahirkan para ulama dan intelektual yang paripurna.
Memang, sampai hari ini Muhammadiyah masih terus memunculkan para ulama yang mumpuni di berbagai bidang. Namun, jumlah para ulama yang mumpuni itu dirasa kurang berimbang dengan jumlah warga Muhammadiyah yang semakin bertambah setiap hari. Jumlah ulama Muhammadiyah yang sekarang ada juga tidak lagi ideal dibanding dengan wilayah dakwah Muhammadiyah yang kian membentang semakin luas.
Atas dasar itulah, Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar memberikan amanat kepada PP Muhammadiyah untuk membentuk semacam lembaga atau majelis khusus yang menangani Pondok Pesantren Muhammadiyah.
Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah (LP3M) yang dibentuk oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini diharapkan menjadi garda depan pembentuk kader ulama Muhammadiyah.
Selama ini pesantren yang dimiliki Muhammadiyah dikelola oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah. Walau nyaris disamakan penanganannya dengan sekolah umum milik Muhammadiyah, pesantren-pesantren yang ada tersebut terlihat berkembang secara baik.
Sekarang, dengan adanya LP3M penanganan pondok pesantren Muhammadiyah pasti akan lebih baik dan lebih spesifik. Adanya LP3M yang bersifat struktural karena langsung di bawah koordinasi PP Muhammadiyah, kita lebih bisa berharap pengelolaan pesantren menjadi lebih terarah dan pengembangannya bisa lebih dipercepat.
Pendidikan model pesantren memang tidak bisa disamakan dengan pendidikan sekolah umum. Setidaknya, pendidikan pesantren pasti lebih intensif mengingat di luar jam pelajaran, siswa atau santri dapat mengembangkan skill maupun aktivitas lainnya yang terintegrasi dengan tujuan pembelajaran.
Sudah barang tentu Pesantren yang akan dikembangkan Muhammadiyah tidak akan merujuk pada model pendidikan “pesantren salafiyah” yang sistem tidak terstruktur dan kurikulumnya disusun secara ala-kadarnya sesuai dengan selera dan kemauan pak kiai.
Pesantern yang dikembangkan Muhammadiyah juga pasti berbeda manajemen dan kepemilikannya dengan “pesantren salafiyah” yang semuanya identik dan menghimpit pada satu orang selaku pemilik dan pemegang kendali.
Namun pesantren yang dimaksud di sini adalah Pesantren modern yakni pesantren yang dikelola dengan sistem dan manajemen modern yang serba terukur dan transparan. Manajemen bersama yang kadang distigmakan serba birokratis, ruwet, dan tidak cekatan.
Apakah budaya organisatoris Muhammadiyah yang seperti itu cocok dengan “budaya pesantren” dan bisa mengembangkan seluruh pondok pesantren yang didirikan dengan harapan setinggi langit itu? Isma
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2016