YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bertempat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta PP Muhammadiyah menyelenggarakan pengajian tarjih Muhammadiyah edisi ke-74 dengan tema “Sumber Hukum Islam: Istihsan.” Pengajian mingguan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (8/1).
Syamsul Anwar menyampaikan, dalam presentasi-presentasi terdahulu telah ditegaskan bahwa sumber ajaran Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) sumber-sumber tekstual (al-masadir an-nassiyyah) atau dapat juga disebut sumber-sumber kewahyuan, dan (2) sumber-sumber paratekstual (al-masadir gair nassiyyah) atau disebut juga sumber-sumber tambahan.
Sumber tekstual meliputi al-Quran dan as-Sunnah yang dinyatakan pula sebagai sumber pokok. Sedangkan sumber-sumber paratekstual (sumber pendamping) meliputi ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, uruf (adab), sadduz-zari’ah (tindakan preventif), fatwa sahabat, dan ajaran agama Nabi-Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad saw.
Kata “istihsan” diserap dari bahasa Arab al-istihsan. Kata al-istihsan merupakan bentuk Masdar (infinitif) dari kata istahsana yang secara leksikal mempunyai dua makna, yaitu (1) adda asy-syai’a hasanan, ‘memandang atau menganggap atau menilai sesuatu itu baik, dan (2) ikhtara al-ahsan ‘memilih yang terbaik. Kalimat laqiya ra’yuhu istihsanan min al-hadirin berarti pendapatnya memperoleh penilaian baik dari hadirin. Jadi nilai baik dari sesuatu dalam pandangan masyarakat menurut doktrin Usul Fikih dapat menjadi sumber ajaran agama.
Dalam kaitan ini ditemukan satu hadis maukuf yang menegaskan bahwa apa yang dipandang baik oleh masyarakat orang mukmin adalah baik di sisi Allah. Jadi suara masyarakat beriman adalah suara Tuhan. Hadis maukuf yang dimaksud adalah,
Dari ‘Abdullah [diriwayatkan bahwa] ia berkata: apa yang dipandang baik oleh orang-orang Muslim adalah baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh orang-orang Muslim adalah buruk di sisi Allah [Hadis maukuf riwayat al-Hakim, dan ini lafalnya, dan oleh Ahmad dan at-Tabarani].
Adapun menurut istilah teori Hukum Islam, istihsan didefinisikan dengan sejumlah definisi sebagai berikut; (1) Imam al-Karkhi (w. 340/952), seorang fakih Hanafi, menyatakan, “Istihsan adalah bahwa seseorang tidak memutuskan hukum mengenai sesuatu masalah berdasarkan hukum yang ditetapkan kepada masalah-masalah serupa dengan mengambil ketentuan hukum lain karena adanya alasan yang lebih kuat yang mengharuskan ditinggalkannya ketentuan hukum pertama itu. Definisi ini menjelaskan bahwa istihsan adalah menyimpangi ketentuan yang berlaku umum dan tidak menerapkannya pada suatu kasus tertentu karena adanya alasan untuk itu.
(2) Ulama-ulama Maliki sebagaimana dikutip oleh asy-Syatibi (w. 790/1388) mendefinisikan istihsan “memegangi maslahat spesifik dengan menyisihkan dalil umum.” Konsekuensinya, asy-Syatibi mendahulukan istidlal mursal (penerapan maslahat mursalah) atas qiyas. (3) Imam Ahmad (w. 241/855) diriwayatkan mendefinisikan istihsan sebagai meninggalkan suatu keputusan hukum dan mengambil ketentuan hukum lain yang lebih utama dari pada yang pertama.
Para ahli Usul Fikih membawakan beragam definisi selain yang disebutkan diatas dalam upaya mereka untuk menjelaskan konsep istihsan. Definisi-definisi tersebut mungkin berlainan satu sama lain, bahkan mungkin saling bertentangan karena sudut pandang yang berbeda. Namun inti dari apa yang mereka kemukakan adalah bahwa istihsan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengatasi kekakuan dalam penerapan suatu aturan secara konsisten menyangkut kasus-kasus tertentu. Larangan umum melihat aurat dalam hadis Nabi saw apabila diterapkan secara ketat dapat membawa kekakuan dalam kasus-kasus tertentu.
Proses medikasi dapat terganggu, bahkan pasien bisa terlantar, dalam kasus-kasus tertentu apabila larangan itu diterapkan secara kaku. Oleh karena itu agar terwujud kemaslahatan yang menjadi tujuan ketentuan hukum larangan tersebut, dalam kasus tertentu dapat disimpangi. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis berikut:
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi saw [diriwayatkan bahwa] bersabda: jangan seorang laki-laki melihat aurat seorang laki-laki lain dan jangan seorang wanita melihat aurat wanita lain. Jangan pula seorang laki-laki berada dalam satu kain dengan laki-laki lain, begitu pula jangan seorang perempuan berada dalam satu kain dengan perempuan lain [HR Abu Dawud].
Larangan menjual benda wakaf yang ditegaskan dalam hadis Nabi saw dapat membawa kekakuan tertentu dalam penerapannya secara ketat dalam kasus tertentu. Apabila ada saudagar mewakafkan genteng kepada sebuah masjid baru yang dibangun oleh jamaahnya dan genteng yang diserahkan kepada masjid itu ternyata tersisa dari kebutuhan masjid, maka tentu tidak maslahat apabila sisa genteng tersebut dikubur dengan alasan tidak boleh dijual karena adanya dalil yang melarang menjual barang wakaf. Sebaiknya adalah suatu kemaslahatan apabila sisa genteng itu dijual untuk dibelikan kebutuhan masjid yang masih kurang.
Jadi inilah istihsan yang sesungguhnya merupakan suatu kebijaksanaan hukum, dengan menyimpangi aturan umum dan menerapkan ketentuan khusus. Dasar atau sumber dari kebijaksanaan hukum tersebut adalah adanya sesuatu yang dinilai baik. Suatu yang dinilai baik itu berupa adanya kemaslahatan yang hendak diwujudkan atau adanya kemudharatan yang hendak dihindari.(iko)