BANTUL, Suara Muhammadiyah – Indonesia tengah merasakan dampak perubahan iklim yang ekstrim. Pasalnya pergantian dan durasi musim berubah dan sulit untuk diprediksi. Sepanjang tahun 2019 lalu, perubahan iklim mendominasi terjadinya bencana alam di Tanah Air. Menanggapi permasalahan tersebut, berbagai pihak harus melakukan gerakan secara terpadu dan masif.
Pakar kebencanaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Rahmawati Husein, MCP, Ph.D. mengatakan bahwa perubahan iklim secara ekstrim tengah menjadi fokus pembahasan di seluruh dunia. Pasalnya cuaca berubah menjadi tidak menentu seperti curah hujan yang tinggi dan lama, kekeringan panjang yang menyebabkan kebakaran di beberapa negara. Serta kekuatan badai yang juga semakin meningkat.
“Perubahan iklim sudah menjadi perhatian di seluruh dunia. Indonesia pun merasakan itu. Meningkatnya kejadian bencana itu 15 sampai 30 persen dari adanya perubahan iklim. Kalau di Indonesia tahun 2019 lalu, bencana didominasi berkaitan dengan iklim sebanyak 99 persen dari data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (7/1) Kampus UMY.
Ia juga mengatakan bahwa pada tahun 2020 ini, diprediksi tidak akan jauh beda. Yaitu bencana terjadi karena perubahan iklim.
Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah ini juga menyebutkan bahwa permasalahan ini tidak hanya dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Namun perlu dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Tetapi pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan hukum yang tepat dalam pengendalian tata ruang dan tata guna lahan.
“Lahan itu kalau tidak ditata, orang akan seenaknya. Misalnya untuk kelapa sawit semua, akhirnya kebakaran. Jadi pemerintah harus melalui intervansi kebiijakan dan aturan, aturan untuk mengatur dan aturan untuk penegakan hukum menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Rahmawati juga menjelaskan bahwa izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Mendirikan Banagunan (IMB) sangat penting dan berimbas bagi lingkungan. Untuk itu, peran pemegang kebijakan untuk menjalankan dan menegakkan aturan itu dengan baik. Aturan itu bukan harus dicabut, tetapi dilihat kenapa tidak berjalan. Jika tidak ada pengendalian, maka akan terjadi kekacauan bagi lingkungan.
Keadaan di DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga menjadi salah satu kawasan yang terdampak perubahan iklim ekstrim. Kabupaten Gunungkidul merupakan contohnya, kekeringan berkepanjangan yang terjadi setiap tahun. Namun masalah yang berbeda dihadapi oleh warga di pemukiman bantaran sungai di Kota Yogyakarta. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume air yang ada. Serta semakin berkurangnya ruang terbuka hijau yang diakibatkan oleh masifnya pembanguan gedung perhotelan.
Rahmawati menuturkan bahwa penanganan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus tepat sesuai dengan permasalahan yang terjadi pada tiap daerah.
“DIY juga bisa dikategorikan terpengaruh perubahan iklim, seperti di Gunungkidul. Kekurangan air karena kekeringan panjang, sehingga harus memberikan bantuan air di sana. Curah hujan tinggi dan suhu juga tiba-tiba menjadi sangat dingin di beberapa kawasan lain. DIY memiliki masalah, oleh karena itu penting adanya upaya yang terintegrasi dan menyeluruh,” imbuhnya.
Seperti yang dilakukan untuk mengantisipasi luapan air yang terjadi di pemukiman tepi sungai. Masyarakat dimana pun harus sadar akan bahanya membuang sampah di dalam sungai dan mulai menghentikan itu. Kemudian pemerintah juga harus menggali dasar sungai secara berkala, karena bukan hanya sampah yang menyebabkan pendangkalan sungai. Tetapi material dari gunung Merapi juga ikut hanyut terbawa aliran air. Kemudian untuk memperbanyak ruang terbuka hijau yang berguna bagi resapan air.
“Kemudian supaya tidak kebanjiran, ada ruang terbuka hijau. Sekarang ini ruang terbuka hijau di DIY semakin habis karena buat perumahan dan perhotelan. Tata ruang dan tata guna lahan harus dipikirkan, kalau tidak daya dukung lingkungannya kurang. Kalau daya dukung lingkungannya tidak bisa mendukung maka banjir, kekeringan atau kehilangan air,” katanya.
Bagi kawasan perkotaan seperti Kota Yogyakarta, pembangunan yang tidak terkendali menurut Rahmawati juga menjadi hal yang perlu diantisipasi. Jika daerah tangkapan air tidak ada dan sungai tidak dibersihkan, maka akan mudah terjadi banjir. Standar ruang terbuka hijau di Indonesia sebanyak 30 persen namun, saat ini hanya memiliki 5 sampai 15 persen. (ak/riz)