Semakin memanasnya hubungan antara Amerika Serikat dan Iran kembali terjadi setelah pasukan Garda Revolusi Iran meluncurkan puluhan rudal ke markas pasukan AS di Irak (7/1). Penembakan rudal Iran ke Irak tersebut sebagai bentuk balas dendam setelah AS menewaskan Jenderal Qasem Soleimani seorang Komandan Pasukan Quds, jenderal paling berpengaruh di Iran. Terlepas dari semakin memburuknya hubungan Amerika Serikat dan Iran, tahukah kita bahwa Irak permah berada dipuncak masa keemasannya.
Negeri ‘Seribu Satu Malam’ ini terletak di dataran yang subur di Irak. Sejak tahun 762 M, Baghdad merupakan pusat Dinasti Abbasiyah hingga lima abad berikutnya. Kota ini segera menjadi pusat peradaban yang kosmopolit dan cikal-bakal modernitas. Beberapa institusi pendidikan yang berdiri pada masa itu adalah Universitas Baghdad, Universitas al-Hikmah, dan Universitas al-Muntasyiriyah. Demikian Ensiklopedi Islam memaparkan.
Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, sudah memiliki visi pembangunan Baghdad. Pada mulanya, Baghdad hanyalah kawasan periferi. Sebelum memutuskan Baghdad sebagai ibukota, al-Mansur mengirimkan sejumlah pakar untuk meneliti keadaan geografis dan sosial wilayah tersebut.
Para khalifah Abbasiyah sepeninggalan al-Mansur berlomba-lomba memperindah Baghdad. Tidak mengherankan bila pada tahun 800 M, Baghdad menjadi kota unggul tempat peradaban-peradaban global bertemu dan bertukar informasi.
Puncak Kejayaan Baghdad
Era keemasan Baghdad berlangsung dalam masa pemerintahan Sultan Harun al-Rasyid (786-809) dan Khalifah al-Ma’mun (813-833). Sultan Harun al-Rasyid mendirikan pusat peradaban atau perpustakaan Bait al-Hikmah, yang tetap bertahan hingga abad ke-13 M.
Sebelum dihancurkan oleh serbuan balatentara Mongol pada tahun 1258 M, Bait al-Hikmah merupakan pusat transfer ilmu pengetahuan dari pelbagai penjuru dunia, utamanya Yunani, Suriah, India, dan Persia. Para sarjana yang bekerja dan menggelar aktivitas di sana memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar sains dan filsafat modern.
Mereka menerjemahkan teks-teks keilmuan dari pelbagai bangsa ke dalam bahasa Arab yang kemudian menjadi rujukan peradaban Barat modern. Cakupan keilmuan yang berkembang di Bait al-Hikmah merentang luas, antara lain, mulai matematika, kedokteran, kimia, biologi, kartografi/geografi, astronomi, hingga pemikiran serta kalam.
Dalam masa kekuasaan putra Sultan Harun al-Rasyid, Khalifah al-Ma’mun, Bait al-Hikmah kian cemerlang. Lembaga penerjemahan teks-teks asing berubah menjadi perguruan tinggi. Istana khalifah, rumah para terpelajar, masjid, serta perpustakaan di Baghdad menjadi lokasi yang didatangi para sarjana dari pelbagai negeri.
Baghdad menjadi ramai oleh cendekiawan-cendekiawan yang berwawasan global. Bahkan, sang khalifah ikut terlibat langsung dalam aktivitas keilmuan. Para sarjana yang aktif di Bait al-Hikmah mendapatkan dukungan finansial dari istana. Kemajuan semakin nyata setelah kekhalifahan Islam tersebut mengadopsi pengetahuan tentang pembuatan kertas dari Cina.
Dengan demikian, karya-karya terjemahan dapat diabadikan, bukan sekadar gulungan daun papirus lagi. Terjemahan ini mencakup karya-karya para pemikir Yunani Kuno, utamanya Aristoteles, Phytagoras, Hippocrates, Plato, Socrates, dan Euclid.(iko)