Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Warga Muhammadiyah sedikit banyak tentu sudah tahu dengan Kongres ke-21 Muhammadiyah yang diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada tahun 1932. Kongres ini adalah salah satu tonggak sejarah yang mengubah wajah Muhammadiyah untuk seterusnya. Buya Hamka muncul sebagai bintang, baik secara personal maupun dari sisi persyarikatan. Eksistensi Pemuda Muhammadiyah dikukuhkan pada kongres ini. Sesudah kongres, antusiasme terhadap Muhammadiyah meningkat tajam, yang ditandai oleh semakin banyaknya amal usaha Muhammadiyah serta sokongan masyarakat setempat pada organisasi ini.
Kisah di atas bisa kita jumpai di berbagai literatur yang mengupas sejarah Muhammadiyah. Namun, sumber utama dari sebagian besar buku ataupun artikel yang membahas kongres itu berasal dari kalangan internal Muhammadiyah sendiri, misalnya dari laporan berjudul Pringatan Congress Moehammadijah 1932 maupun dari kenangan para tokoh Muhammadiyah yang ambil bagian di sana. Nyaris tidak ada yang menjadikan surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda sebagai sumbernya. Padahal, kongres itu diselenggarakan saat Muhammadiyah masih berada di zaman Hindia Belanda. Di sisi lain, pers berbahasa Belanda di Hindia Belanda kala itu menaruh perhatian besar terhadap Muhammadiyah, yang aktivitas sosial dan pendidikannya dianggap membawa terobosan di eranya.
Bagaimana sebenarnya perspektif pers berbahasa Belanda di Hindia Belanda terhadap kongres ke-21 Muhammadiyah di Makassar itu?
Kongres ke-21 Muhammadiyah dibuka pada tanggal 1 Mei 1932. Namun, berita tentang kongres ini sudah tersebar sejak jauh-jauh hari. Menariknya, tidak hanya warga Muhammadiyah saja yang tahu perihal kongres ini, tapi juga mereka yang berbicara bahasa Belanda di Hindia Belanda. Itu artinya: orang Belanda, Indo-Eropa maupun kaum pribumi yang bisa berbahasa Belanda. Mereka tahu dari koran-koran berbahasa Belanda yang memuat berita tentang kongres ini sejak beberapa bulan sebelumnya.
Contohnya adalah surat kabar De Sumatra Post yang terbit di Medan. Koran ini adalah koran umum yang banyak menurunkan berita soal perkembangan ekonomi dan politik baik di dalam maupun luar negeri. Tapi koran ini secara singkat sejak tanggal 23 Maret 1923 sudah menyampaikan bahwa dalam waktu dekat Muhammadiyah akan mengadakan kongres di Makassar. Ini mengindikasikan bahwa gerakan berbasis agama yang menarik banyak minat masyarakat di Hindia Belanda semakin menjadi perhatian kalangan media Belanda.
Sebulan kemudian, tepatnya sehari sebelum pembukaan kongres, koran De Sumatra Post kembali menurunkan berita pendek tentang kongres tersebut. Berita ini berasal dari Aneta, Kantor Berita Hindia Belanda yang rupanya memberikan laporan langsung dari Makassar. Berita yang sama dimuat pula di Batavia oleh koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie. Berikut kutipan berita dari De Sumatra Post:
1 Mei vindt alhier de opening plaats van het congres van Moehammadijah, waarvoor honderden afgevaardigden van geheel Indie verwacht worden. De besprekingen zullen godsdienstige onderwerpen betreffen. (Pada tanggal 1 Mei [1932] di sini [Makassar] akan diadakan pembukaan Kongres Muhammadiyah, yang diharapkan akan dihadiri oleh ratusan perwakilan dari seluruh Hindia. Kongres ini akan mendiskusikan berbagai soal keagamaan).
Ada beberapa hal menarik yang bisa diulas dari berita di atas. Pertama, kongres ini dinilai sebagai sebuah pencapaian bagi organisasi Muhammadiyah, sebuah organisasi yang umurnya baru dua dekade dan yang jangkauan awalnya hanya di seputaran Residensi Yogyakarta. Muhammadiyah mampu menggalang partisipasi masyarakat di berbagai tempat di Hindia Belanda untuk ambil bagian dalam kegiatan meereka. Di samping itu, pemberitaan kongres tahun 1932 itu tidak hanya dipublikasikan di Makassar atau Yogyakarta saja, tapi bahkan sampai pula ke Batavia dan Medan. Kongres ini dapat dipahami sebagai bukti dari langkah maju Muhammadiyah yang berhasil menunjukkan eksistensinya di luar Jawa.
Ketika kongres tersebut akhirnya dibuka, pers Belanda kembali memberikan atensi, bahkan apresiasinya. Berita tentang pembukaan dan jalannya kongres dipublikasikan oleh Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie (Batavia). Koran Belanda yang terbit di Surabaya, Soerabaijasch Handelsblad, juga tak ketinggalan. Koran terakhir ini, dengan mengutip dari Aneta, menulis bahwa acara resepsi kongres itu ‘zeer druk’ alias sangat ramai.
Disebutkan bahwa ada 5000 orang yang hadir, dengan 600 orang di antaranya adalah perempuan. Dimasukkannya angka 600 orang perempuan di dalam laporan ini menunjukkan bahwa kongres ini berhasil menumbuhkan partisipasi publik kaum perempuan yang kala itu lazimnya hanya mengurusi persoalan rumah tangga. Membaca informasi ini tentu menyadarkan pembaca Belanda bahwa kalangan perempuan pribumi kini tak ketinggalan untuk memajukan dirinya.
Soerabaijasch Handelsblad menyebut bahwa ada dua pembicara yang menyampaikan pidato waktu pembukaan kongres itu, yakni S. Tjirto Soepono dan Kiaji Hadji Mas Mansoer. Soepeno berbicara tentang dinamika pergerakan, termasuk yang berbasis keagamaan, yang tengah timbul di antara masyarakat pribumi Hindia Belanda. Soepono menyebut bahwa telah terjadi perpecahan di antara kaum pergerakan ini, dan menurutnya ini adalah sesuatu yang buruk. Namun Soerabaijasch Handelsblad tidak memberi keterangan tentang apa yang pembicara kedua, Kiaji Hadji Mas Mansoer, sampaikan. Barangkali Mas Mansoer berbicara soal-soal agama Islam semata sehingga tidak terlalu menarik perhatian pers Belanda yang lebih fokus pada aspek pergerakan kaum pribumi.
Yang tak kalah penting, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie menyebut bahwa kongres ini dipenuhi oleh ‘een zeer gematigd karakter’ (karakter yang sangat moderat). Penekanan pada aspek “moderat” ini menunjukkan bagaimana pers Belanda memandang Muhammadiyah: sebuah organisasi pergerakan kaum pribumi berbasis massa yang ruang lingkupnya nasional namun tidak bercorak radikal. Muhammadiyah, oleh sebab itu, dipandang memilih jalan tengah, alih-alih ekstrem, dalam mempromosikan ide-idenya. Ini tentu juga ada kaitannya dengan pilihan Muhammadiyah untuk tidak berpolitik, sehingga mencegah terjadinya benturan kepentingan dengan pemerintah kolonial.
Pemerintah Hindia Belanda memang tengah sensitif dengan gerakan massa yang berpotensi radikal karena dianggap dapat membahayakan eksistensi mereka.
Dalam beberapa dekade terakhir terjadi protes, pemogokan, bahkan pemberontakan yang dilakukan oleh berbagai elemen dalam masyarakat guna menentang berbagai kebijakan diskriminatif dan tidak adil yang dikeluarkan pemerintah. Maka, tak heran apabila pemerintah dan pers kolonial memberikan apresiasi pada ide dan gerakan yang moderat dan jauh dari fanatisme.
Kongres ‘Aisyiyah yang juga diadakan di Makassar kala itu mendapat penilaian tersendiri oleh pers Belanda. Kongres ‘Aisyiyah dihadiri oleh 500 orang. Meski ramai dipenuhi oleh kaum perempuan, namun pertemuan ini, tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 2 Mei 1932, ‘had een zeer ordelijk verloop’ (berjalan dengan sangat tertib).
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2018