Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Indonesia kehilangan ulama yang berilmu keislaman luas, bersahaja, dan santun. Dialah Prof Dr H Yunahar Ilyas, Lc, MA, yang dipanggil Allah ke haribaan-Nya di Yogyakarta, Kamis, 2 Januari 2020. Ribuan warga mengantarkan kepergian almarhum untuk selamanya ke Permakaman Karangkajen, yaitu tempat para tokoh Muhammadiyah, termasuk Kiai Haji Ahmad Dahlan, dimakamkan.
Sebuah harian Ibu Kota pun memberitakan kepergian ketua PP Muhammadiyah yang juga wakil ketua umum MUI Pusat itu dengan judul Ulama Moderat itu Telah Pergi. Memang, Buya Yunahar Ilyas, demikian sapaan populer almarhum, termasuk ulama moderat yang dalam terminologi keislaman disebut berpaham wasathiyyah atau Islam tengahan. Sejarah mencatat, Indonesia memiliki ulama besar kelahiran Sumatra Barat yang moderat serta wawasannya melintasi dan progresif. Misalnya saja almarhum Buya Hamka.
Kemudian ada Buya Syafii Maarif yang, alhamdulillah, masih sehat bersama kita saat ini. Akan tetapi, tidak banyak generasi sesudahnya yang mengikuti jejak kemoderatan dua sosok ulama pemikir dan pemimpin yang dikenal tinggi pengkhidmatannya untuk umat dan bangsa itu. Buya Yunahar termasuk yang menyambung mata rantai kedua tokoh Minang yang mena sional dan membuana itu.
Kita memang dapat menyebut tokoh lain, seperti Prof Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim yang juga ulama ahli ilmu keislaman yang berwawasan melintasi, meski jarang dipanggil buya. Ulama dan fi gurfigur tokoh Islam moderat yang berwawasan maju dan melintasi itu sangat diperlukan Islam dan Indonesia hari ini dan ke de pan. Karena itu, meninggalnya Buya Yunahar Ilyas merupakan suatu kehilangan, meski kita ikhlas me lepas karena Allah telah menggariskan ajal ba ginya yang tidak dapat diakhirkan maupun didahulukan.
Islam wasathiyyah
Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada ayat Alquran tentang ummatan wasatha (QS al-Baqarah: 143). Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan bagian dari ciri khyaira ummah (QS Ali Imran: 110) yang model dan contoh teladan utamanya ialah Nabi Muhammad SAW. Nabi meng ajak umatnya untuk menjadi umat tengahan sebagai umat terbaik dan dilarang untuk ghuluw atau berlebihan (ekstrem) dalam beragama.
Prof Yunahar Ilyas dalam ceramahnya tentang ummatan wasatha atau umat tengahan merujuk pada sikap keagamaan Nabi. Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasul berpesan agar Muadz mengajarkan Islam kepada umatnya yassiru wa laa tua’assiru (mempermudah dan jangan mempersulit) serta basyiru wa laa tunafiru (gembirakan dan jangan dibuat lari).
Kemudian juga melalui kisah Aisyah ketika berhadapan dengan tiga orang yang mengaku sebagai yang terbaik keagamaannya. Yang pertama dia mengatakan selalu berpuasa dan tidak berbuka. Yang kedua selalu shalat malam dan tidak pernah tidur. Sementara yang ketiga tidak menikah karena hanya akan mengganggu ibadah.
Nabi justru menyatakan, Aku yang terbaik di antara kalian. Aku berpuasa dan aku berbuka. Aku shalat malam dan aku tidur. Aku menikah dan mempunyai anak. Nabi akhir zaman itu mempraktikkan Islam wasthiyyah, tidak ekstrem ke arah berlebihan (tatharuf, ghuluw) dan tidak mengurangkan (ithraf).
Menurut Muhammad Hashim Kamali (2015), wasathiyyah sangat selaras dengan konsep keadilan dalam Islam yang berarti memilih posisi di tengah, antara titik-titik ekstrem. Moderasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah rata-rata, inti, standar. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf atau ghuluw yang menunjukkan kecen derungan ke arah pinggiran, ekstrem, radikal, dan berlebihan.
Dalam penggunaan bahasa Arab, wasathiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis, Nabi SAW adalah yang terbaik (wasat) dari keturunan Quraisy. Wasat dalam penggunaan bahasa Arab menandakan superioritas, keadilan, kemurnian, ke muliaan, dan status yang tinggi. Disebutkan dalam Alquran, untuk waktu shalat atau berdoa di tengah (al-salat alwustha, al-Baqarah [2]: 238).
Komunitas Muslim merupakan komunitas perantara (ummatan wasathan, al-Baqarah: 243) dapat diartikan sebagai komunitas terbaik yang diciptakan oleh Tuhan. Seperti yang dijelaskan di dalam Ali ‘Imran (3): 110, untuk peng abdi annya dalam mempromosikan kebaikan dan pencegahan akan kejahatan, serta komitmennya untuk membangun bumi dan penegakan keadilan di dalamnya.
Wasathiyyah didefinisikan sebagai sikap yang dianjurkan untuk orang-orang yang memiliki akal sehat dan kecerdasan, yang dapat dibedakan dari keengganannya terhadap ekstremisme ataupun wujud dari sikap yang abai. Hal ini merupakan konsep yang rasional dengan sedikit, bahkan tanpa konotasi dogmatis, tetapi juga memiliki keluhuran agama karena Alquran yang menganjurkannya.
Hal lain, qasd adalah sinonim Arab yang lain dari wasathiyyah atau moderasi. Istilah tersebut diilustrasikan dalam sebuah hadis Jabir bin Samurah yang menyampaikan dari Nabi mengenai caranya biasa berdoa: Saya dulu berdoa dengan Nabi [SAW]; doanya moderat (atau ringan) demikian juga khotbahnya.
Iqtisad, yang merupakan kosakata dari bahasa Arab yang ditujukan untuk ilmu ekonomi, pada dasarnya menjelaskan moderasi dalam pengeluaran (bahasa Arab: al-iqtisad fi’l-infaq) yang menentang pemborosan dan ketidakpedulian.
Dalam Alquran, menurut Kashimi, istilah wasath dan wustha memiliki sejarah yang lebih panjang dan beberapa sinonimnya juga muncul di dalam hadis. Dalam sebuah hadis disebutkan, Seseorang yang moderat (dalam pengelolaan keuangannya) tidak akan menderita dari kekurangan (kemiskinan).
Qasd juga berarti apa yang benar, seperti dalam ayat, Tunjukkan kami jalan yang benar (qasd). (QS al-Nahl, 16: 9). Qasd, yang sering muncul di dalam Alquran, didefinisikan seba gai moderasi dan ekuilibrium al-tawassut wa’li tidaldalam semua urusan sehingga identik dengan wasathiyyah.
Wasathiyah Islam juga telah menjadi paradigma Islam Indonesia dan dunia. Dalam Deklarasi Bogor 2018 ditegas kan, Menguatkan paradigma wasatiyyat lslam sebagai ajaran Islam pusat yang meliputi 7 (tujuh) nilai utama yaitu: tawassut, posisi di jalan tengah dan lurus; i’tidal, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab.
Tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Syura, mengedepankan konsultasi dan menyele saikan masalah melalui musya warah untuk mencapai konsensus. Islah, terlibat dalam tindak an yang reformatif dan konstruk tif untuk kebaikan bersama. Qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Muwatonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Paradoks situasi
Agenda terbesar di dunia nyata adalah bagaimana mewujudkan wastahiyyah itu dalam kehidupan. Semua pihak yang berada di barisan wasathiyyah niscaya mempraktikkan pola pikir, sikap, dan tindakan yang wasathiyyah. Baik dalam kehidupan beragama maupun berbangsa, bernegara, dan relasi kemanusiaan semesta. Kuncinya sederhana, amalkan secara nyata sehingga kata sejalan tindakan.
Artinya, wasathiyyah tidak berhenti dalam seminar, pertemuan, deklarasi, dokumen, jargon, pernyataan, pikiran, retorika, dan kata-kata, akan tetapi berlanjut dan membumi di dunia nyata secara jujur apa adanya. Bukankah Allah sangat murka terhadap kata-kata minus tindakan nyata (QS ash-Shaff: 4)? Dalam dunia nyata, terdapat rintangan paradoks dan inkon sistensi yang bersifat situasional.
Bahwa musuh wasathiyyah atau kemoderatan itu adalah radikalekstrem, yakni pola pikir dan tindakan yang atas nama prinsip (akar) bersikap berlebihan dan melakukan kekerasan. Menurut Wahbah al-Zuhayli (2006), wasa hiyyah berarti moderasi dan keseimbangan (i tidal) di dalam keyakinan, moralitas, karakter, dan dalam cara memperlakukan orang lain serta dalam menerapkan sistem tatanan sosial-politik dan pemerintahan.
Sebaliknya, ekstremisme (tatharruf), yang dari sudut pandang Islam, berlaku kepada siapa pun yang melampaui batas dan tata cara syariah, pedoman, dan ajaran. Juga siapa pun yang melanggar batas-batas moderasi, pandangan mayoritas (ra’y al-jama’ah) serta orang yang bertindak dengan cara tertentu yang biasanya dianggap menyimpang.
Kini, baik di dunia Islam maupun khusus di Indonesia, tantangannya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai wasathiyyah Islam menjadi paradigma dan amaliah dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan.
Jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan banyak ormas Islam beserta para tokohnya mengusung tema Wasathiyyah Islam maka tantangannya adalah bagaimana konsisten menjadikan gerakan wasathiyyah sebagai arus utama moderasi disertai usaha-usaha nyata mewujudkannya dalam kehidupan kolektif umat dan bangsa. Jadi, tidak berhenti dalam dokumen, pernyataan, dan pikiran belaka.
Tantangan lain adalah gerakan moderasi itu, termasuk moderasi Islam, sering kali harus berhadapan dengan alam pikiran radikalisme-ekstrem. Termasuk paradigma deradikalisme-deradikalisasi yang sebenarnya di dalamnya terkandung muatan radikalisme.
Negara, termasuk banyak elemennya, masih terpola dengan gerakan deradikalisasi dan bukan moderasi dalam menghadapi radikalisme-ekstremisme. Apalagi jika program deradikalisasi itu secara biasa ditujukan hanya kepada umat Islam yang dianggap sebagai sarang radikalisme-ekstremisme.
Padahal, mayoritas Islam Indonesia itu bawaannya wasathiyyah dan tidak radikal. Akibatnya, kebijakan deradikalisasi sangat sensitif terhadap radikalisme-ekstremisme Islam tetapi abai dan membiarkan bertumbuhnya praktik radikalisme-esktermisme lain.
Program deradikalisasi itu sejatinya merupakan cara melawan radikal-ekstrem dengan pendekatan radikal-ekstrem, sehingga menjadi oposisi-biner radikal versus radikal yang akan melahirkan radikalisme baru. Ketika jihad dianggap benih tumbuhnya paham agama radikal, dengan deradikalisasi maka hilangkanlah pelajaran jihad dari umat Islam.
Ini berbeda dengan pendekat an moderasi. Ajarkan jihad se cara benar dan menyeluruh agar umat Islam tidak salah paham dan tidak menyalah gunakan jihad untuk kekerasan. Strategi deradikalisasi mengikuti bias pandangan global (Barat) yang bernuansa Islamofobia (Derya, 2018).
Gerakan melawan radikal tetapi menumbuhkan radikalisme lain. Paradoks inilah yang menjadi masalah dan tantangan dalam gerakan wasathiyyah Islam di Indonesia saat ini. Tantangan lain, gerakan wasathiyyah akan berhadapan dengan pihak yang toleran terhadap radikalismeekstremisme karena berbagai sebab dan keadaan.
Mereka dari kelompok sosial yang oleh Taspinar (2018) disebut mengalami deprivasi-relatif akan cenderung membiarkan benih radikal-ekstrem tumbuh di sekitarnya. Termasuk mereka yang menganggap radikalismeekstremisme tumbuh karena buat an dan hasil konspirasi pi hak tertentu.
Sehingga, secara tidak sadar membiarkan atau malah membela kecenderungan radikal-ekstrem terjadi di negeri ini. Gerakan wasatahiyyah juga mengalami pelemahan di tangan pihak yang memandang pemikiran radikal itu baik karena berpikir sampai ke akar. Memang benar, berpikir prinsip (akar) itu positif.
Akan tetapi, berpikir radikal tanpa moderasi dan alat kritik yang tajam dapat berpeluang melahirkan sikap merasa diri paling berpegang kuat pada prinsip dan kemudian menjadi serbadogmatik dan true-believers. Kecenderungan ini memicu lahirnya sikap tidak toleran terhadap prinsip pihak lain dan keadaan yang menurut kacamatanya salah secara sepihak.
Dengan begitu, akan berubah menjadi bentuk radikal-ekstrem lain atas nama prinsip. Gerakan wasathiyyah juga tidak jarang berbelok arah dan bersenyawa dengan politisasi agama serta pergulatan politik kekuasaan sehingga moderasi berhenti sekadar retorika dan bahkan menjadi alat tunggang politik.
Menuding pihak lain radikalekstrem, tetapi sering di dalam dirinya bersemi radikalismeekstremisme dengan bentuk lain atas nama kepentingan agama dan bangsa. Isu wasathiyyah atau moderasi akhirnya menjadi sebuah kemewahan teologis dan politik keagamaan yang kenes.
Akibatnya, gerakan wasathiyyah kehilangan konsistensinya secara autentik dan mengalami low-batt dalam jagat kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta.
Artikel ini telah dimuat di republika, mitra Suara Muhammadiyah