Djuanda, Lebih Memilih Muhammadiyah

Djuanda, Lebih Memilih Muhammadiyah

Oleh: Aziz

Sebelumnya, banyak yang tidak mengira bahwa Djuanda adalah aktivis Muhammadiyah. Tokoh nasional yang namanya dijadikan nama monumen itu bernama lengkap Ir H Djuanda Kartawidjaja. Dialah yang pada masa awal kemerdekaan, tepatnya tahun 1957, mencetuskan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menyatakan bahwa laut Indonesia, termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Atas jasa besar itu, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 244/1963, Djuanda diangkat menjadi tokoh nasional. Namanya diabadikan menjadi nama bandara di Surabaya, Bandara Djuanda, sebagai bentuk penghargaan atas jasanya memperjuangkan pembangunan lapangan penerbangan tersebut. namanya juga digunakan untuk hutan raya di Bandung, Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, yang di dalamnya terdapat museum dan monumen Ir H Djuanda.

Djuanda lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Putra Sunda ini memiliki darah bangsawan. Ia putra pertama dari pasangan Raden Kartawidjaja, seorang guru di Holladsch Inlansdsch School (HIS), dan Nyi Mona. Ia memiliki dua saudara: Koswara dan Djuandi.

Djuanda mengawali pendidikannya di HIS, sekolah berbahasa Belanda bagi anak-anak bumiputeri. Ketika ayahnya pindah mengajar di HIS Cikalengka, ia ikut ayahnya dan sekolah di Eropa Europesche Lagere School (ELS), sekolah anak-anak Belanda. Hanya beberapa anak pribumi yang dibolehkan sekolah di ELS ini, dengan syarat pandai berbahasa Belanda, ayahnya seorang pejabat, atau direkomendasikan dari orang Belanda.

Di ELS, Djuanda tak kalah dengan anak Belanda. Kemampuannya berkembang pesat. Dari kelas V, Djuanda langsung naik ke kelas VII. Pada 1924, ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Tamat dari ELS, ia masuk sekolah menengah khusus orang Eropa  yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung (sekarang SMAN 5 Bandung). Prestasinya pun tidak menurun, ia lulus 1 Mei 1929 dengan predikat schitered geslaagd (lulus dengan baik sekali).

Pada 1929, Djuanda masuk di Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hofe School, sekarang ITB). Ia memilih jurusan teknik sipil dengan beasiswa. Lulus dari THS (6 Mei 1993), di usia 22 tahun. Ia pun menikahi Juliana, putri Raden Wargadibrata dan Setti Kajenah.

Pada masa mudanya, Djuanda hanya aktif di organisasi non-politik. Yaitu anggota Muhammadiyah dan Pagoeyoeban Pasoendan (organisasi kedaerahan yang berdiri 1914). Ia mengawali kariernya sebagai guru besar di Meer Uitgerbried Lager Onderwij (MULO, sekolah setingkat SMP) Muhammadiyah di Jakarta dari 1933 hingga 1937. Sekolah Muhammadiyah tersebut menerima murid yang tidak diterima di negeri karena kemampuan bahasa Belanda yang kurang lancar. Sengaja ia lebih memilih mengabdi di Muhammadiyah dengan gaji seadanya. Padahal, ia juga ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hoge School dengan gaji yang jauh lebih besar, tapi ia menolak.

Setelah sekian lama aktif di Muhammadiyah, Djuanda mulai berkarir di pemerintahan. kariernya pun sangat fantastis. Dari 1946 hingga 1963, ia pernah satu kali menjabat sebagai Menteri Muda, 14 kali menjadi menteri, dan satu kali sebagai Perdana Menteri. Oleh karena itu, pada saat itu ia dijuluki Menteri Marathon oleh pers. Dalam masa-masa itu, tepatnya tahun 1957, Djuanda mengukir jasanya yang paling fenomenal  yaitu Deklarasi Djuanda, yang isinya ialah bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, dan bahwa ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Dari deklarasi tersebut mengandung tujuan untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat, untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara kepulauan, dan untuk mengatur lalu-lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

NKRI

Deklarasi Djuanda ini memperluas batas teritorial perairan Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil laut yang ditarik dari titik pulau-pulau terluar Indonesia saat surut. Luas wilayah Republik Indonesia pun menjadi bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193,250 km2. Deklarasi ini diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke III TAHUN 1982. Dipertegas kembali dengan UU nomor 17 tahun 1985 bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan. Pada tahun 1999, tanggal 13 Desember ditetapkan sebagai Hari Nusantara.

Djuanda adalah seorang pemimpin yang mampu berbaur dan berkomunikasi dengan semua golongan, baik presiden, menteri, atau pun masyarakat biasa, termasuk dalam organisasi Muhammadiyah. Pada Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962, Ir H Djuanda menyampaikan testimoni, “Karena mengindahkan petunjuk orang tua saya, saya kenali Muhammadiyah. Bukan sekedar kenal saja, tetapi saya malah dipercaya memasak kecerdasan putra-putri anak didik Muhammadiyah di masa itu. Penderitaan hidup dan pahit getir, bagi Muhammadiyah bukan menjadi persoalan, adanya hanya kepuasan hati karena kerja sama di antara kita dan pimpinan Muhammadiyah tetap terjalin dengan ukhuwah yang seerat-eratnya.” Selanjutnya ia menyatakan “Setelah zaman Indonesia merdeka, gerak Muhammadiyah bertambah luas bidang tugasnya, dan bertambah-tambah pula lapangan pembangunan yang menjadi objeknya.”

Ir H Djuanda adalah tokoh yang pernah berhikmat di Muhammadiyah, dan Muktamar Setengah Abad adalah muktamar terakhir yang ia ikuti. Pada tanggal 7 November 1963 ia wafat pada usia 52 tahun. Ia terkena serangan jantung. Tokoh Muhammadiyah dan tokoh nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Aziz, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyaiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah SM 2 tahun 2017

Exit mobile version