Keeratan Perdana Menteri Djuanda dan Muhammadiyah

Djuanda dan Muhammadiyah

Keeratan Perdana Menteri Djuanda dan Muhammadiyah

Keeratan Perdana Menteri Djuanda dan Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Pada tanggal 14 Januari 1911 di Tasikmalaya, Jawa Barat, lahir seorang anak bernama Raden Djuanda Kartawidjaja. Putra pasangan R. Kartawidjaja dan Nyi Monat ini adalah anak yang pandai. Ia mengenyam pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool (THS) Bandung. Kampus ini kini dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Di masa mudanya ia aktif juga di Paguyuban Pasundan.

Ketika Republik Indonesia akhirnya berdiri, ia diserahi berbagai tanggung jawab penting, mulai dari Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perdagangan, dan Menteri Keuangan. Puncak kariernya adalah sebagai Perdana Menteri pada tahun 1957 hingga 1959. Ia adalah perdana menteri terakhir yang dimiliki Indonesia. Pada tahun 1963 ia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Djuanda, juga punya posisi tersendiri di mata keluarga Muhammadiyah. Ketika lulus dari THS ia sebenarnya diminta menjadi asisten di kampusnya. Tapi ia memilih menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Ia mengajar sebagai guru di Sekolah Menengah Atas (AMS) dan Sekolah Guru (Kweekschool) Muhammadiyah di Jakarta selama empat tahun, dari 1933 hingga 1937. Ia diterima di sana atas rekomendasi seorang nasionalis terkemuka asal Sunda, Otto Iskandar Dinata, yang pada tahun 1928 pernah bekerja di HIS Muhammadiyah.

Namun, di samping pengalaman menjadi guru sekolah Muhammadiyah ini, tidak banyak yang kita ketahui tentang relasi antara Djuanda dengan Muhammadiyah. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya relasi Djuanda sebagai seorang alumni kampus teknik dengan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terkemuka, melainkan hubungan antara Djuanda sebagai seorang Perdana Menteri Republik Indonesia dengan Muhammadiyah.

Dalam kenyataannya, dengan berhentinya Djuanda sebagai guru sekolah Muhammadiyah tahun 1937 bukan berarti ia sama sekali putus hubungan dengan Muhammadiyah. Hubungan keduanya masih terus berlanjut. Satu contoh penting yang patut dicatat adalah ketika Muhammadiyah memperingati ulang tahunnya yang ke 45 pada November 1957. Malam peringatan ulang tahun itu diadakan pada tanggal 22 November 1957, bertempat di Gedung Pertemuan Umum di Jakarta.

Djuanda datang ke acara itu. Menariknya, kapasitas dia datang ke acara itu bukanlah sebagai seorang mantan guru di sekolah Muhammadiyah, melainkan sebagai Yang Mulia Perdana Menteri Republik Indonesia. Ia datang sebagai wakil pemerintah. Djuanda, dengan demikian, adalah salah satu “alumni” Muhammadiyah yang berhasil mencapai puncak jabatan sipil di Indonesia.

Dalam pidato sambutannya malam itu, Djuanda memuji KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang punya rasa tanggung jawab yang sangat besar pada agama dan bangsa, yang lalu diwujudkannya dengan pembentukan organisasi Muhammadiyah. “Dengan keinsjafannja untuk mendjalankan suatu wadjib terhadap Agama dan Bangsa”, kata Djuanda, “Kijahi Hadji Achmad Dahlan dapat mengembangkan Muhammadijah mendjadi suatu organisasi jang besar dan melebar keseluruh pendjuru Tanah Air kita”.

Ir Djuanda

 

Di samping memuji KH Ahmad Dahlan, Perdana Menteri Djuanda juga sangat mengapresiasi gerak langkah Muhammadiyah dalam memajukan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Dalam pidatonya ia mengutarakan:

Dengan tidak menghiraukan rintangan2 dan kesulitan Muhammadijah terus melantjarkan usaha2nja. Tudjuan untuk memadjukan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam ditjapai dengan memberikan penerangan2 agama jang didasarkan pada fikiran rational jang ternjata dapat memenuhi suatu kebutuhan masjarakat dan dapat mengisi kekosongan dalam kehidupan Bangsa Indonesia jang beragama Islam. Tempat2 pendidikan dan pengadjaran berdiri dimana2. Sekolah2 dibuka untuk menambah kesempatan rakjat mentjari pengetahuan dan kepandaian.

Tak hanya sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dikagumi Djuanda. Sang perdana menteri juga memuji usaha Muhammadiyah “untuk menolong kehidupan rakjat”, seperti melalui rumah sakit, rumah untuk kaum miskin, balai pengobatan, panti asuhan, dan lain-lain. Demikian pula halnya dengan renovasi tempat ibadah serta dengan mencetak dan menyebarkan buku bacaan agama Islam.

Fakta lain yang membuat Djuanda takjub adalah bahwa sebagian besar amal usaha Muhammadiyah itu, terang dia, “berdiri atas usaha sendiri” dengan hanya sebagian kecil yang mendapat subsidi. Djuanda menggarisbawahi bahwa mutu pendidikan Muhammadiyah tergolong tinggi, dan ini, kata Djuanda, “dapatlah dibuktikan dari djumlah pemimpin2 Bangsa Indonesia jang berasal dari sekolah2 Muhammadijah”.

Di atas adalah bentuk apresiasi besar Djuanda, sebagai perdana menteri yang mewakili pemerintah, pada sebuah organisasi sosial keagamaan yang telah berkontribusi besar dalam memajukan pendidikan rakyat dan menolong mereka yang mengalami kesulitan hidup.

Dalam pidato sambutannya itu terselip pula rasa terima kasih Djuanda sebagai individu yang suatu fase dalam kehidupannya ia baktikan pada Muhammadiyah. Djuanda merasa mendapat banyak manfaat dari pengalamannya di sekolah Muhammadiyah dua puluh tahun sebelumnya.

Djuanda mengenang masa lalunya yang indah bersama Muhammadiyah:

Saja sendiri merasa berterima kasih pada kesempatan jang diberikan kepada diri saja pada tahun2 1933 sampai 1937, kesempatan untuk menjumbangkan tenaga sebagai guru dan direktur S.M.M. di Djakarta dan saja tidak luput dari perasaan bangga djika saja sekarang dapat bertemu dengan bekas murid2 saja jang telah dapat melandjutkan sekolah2nja dan berhasil mendjadi dokter, ahli hukum dan insinjur2 atau menduduki tempat2 jang terhormat dalam masjarakat.

Djuanda meninggal dunia pada tanggal 7 November 1963 di Jakarta. Bukan hanya pemerintah dan rakyat Indonesia yang merasa kehilangan, tapi juga Muhammadiyah, “rumah” Djuanda di masa mudanya. Berita wafatnya Djuanda bukan hanya dipublikasikan oleh majalah resmi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, tapi bahkan menjadi kover depan majalah ini. Hal ini memperlihatkan besarnya duka warga Muhammadiyah pada kepergian Djuanda.

Di halaman depan Suara Muhammadiyah edisi 29 tahun 1963 itu, redaksi majalah ini menulis bahwa “segenap warga dan kaum Muhammadijah berdukatjita” atas meninggalnya Djuanda. Sebuah foto Djuanda yang tengah tersenyum simpul turut dipasang di sana, seperti memberi gambaran tentang relasi erat dan hangat yang telah terbangun antara almarhum dengan Persyarikatan Muhammadiyah selama bertahun-tahun.

Muhammad Yuanda Zara, dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019

Exit mobile version