Prof Dr Muhadjir Effendi, MAP
Sekolah kita sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan pendidikan pada awal kemerdekaan. Sebagaimana kita ketahui, awal kemerdekaan Indonesia itu dilanda buta huruf. Jumlahnya mencapai 90% yang buta huruf. Selebihnya yang 10% dipastikan anak pejabat dan misionaris. Maka kemudian ada gerakan massif pemberantasan buta huruf. Gerakan itu tidak peduli dengan apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya, yang penting orang harus bisa baca, menulis, dan berhitung (calistung).
Kemudian ketika buta huruf itu mulai berkurang drastis, sekitar tahun 1964-an, calistungnya tetap dibawa ke dalam kurikulum sekolah. Ini keliru. Akibatnya sampai hari ini kurikulum pendidikan kita hanya berkutat pada baca, tulis, dan berhitung. Padahal aspek pendidikan tidak sekedar calistung, tapi juga mencakup aspek-aspek lain, seperti etik, estetik, dan kinestetik.
Etik berkaitan dengan moral, mental, dan kepribadian. Estetik itu berhubungan dengan masalah keindahan, kehalusan budi, kesensitifan terhadap kegairahan seni. Kemudian kinestetik itu adalah melatih dan membiasakan fungsi-fungsi otot baik yang kasar maupun yang halus.
Hal ini membawa dampak kepada metode dan strategi pembelajaran kita. Pembelajaran di Indonesia itu menggunakan Banking Method, metode bank. Seolah otak anak itu dianggap bank sehingga dijejali berbagai macam mata pelajaran. Cara melakukan evaluasi pembelajaran juga sama, yaitu dengan mengambil kembali apa-apa yang sudah dijejalkan kepada anak melalui Multiple Choice, pilihan ganda. Jadi Multiple Choice itu memang cocok dengan Banking Method.
Mirip dengan orang yang mengambil uang di bank atau mesin ATM. Masuk 500 kemudian diambil lagi 500, tidak bertambah tidak pula berkurang. Jadi seolah otak anak hanya untuk menyimpan saja, dijadikan bank. Otak tidak dijadikan tempat untuk mengunyah dan mengolah yang awalnya 500 kemudian keluar bisa bertambah menjadi 1000 dan sebagainya. Motede ini menghilangkan satu kegiatan penting, yaitu proses pembelajaran.
Kalau di luar negeri, penguasaan terhadap seni dan tradisi itu mutlak dalam pendidikan. Bahkan di Inggris seni budaya merupakan salah satu mata pelajaran yang menentukan lulus tidaknya anak. Di sana kalau ada anak tidak pandai tari balet, maka orang tua akan membawanya ke tempat kursus balet, karena balet bagi orang Inggris adalah budaya klasik yang mesti dilestarikan. Atau kalau terkait seni, maka mayoritas orang tua di Inggris menyarankan anak-anaknya untuk belajar bermain piano atau drama. Jadi di luar negeri, kebanyakan orang tua sudah menyadari bahwa seni budaya itu penting bagi dasar pendidikan anak.
Dari itu, sebetulnya saya terobsesi untuk menyeimbangkan kembali sistem pendidikan kita. Di satu sisi mengajarkan read, write, and mathematic (calistung), di sisi lain juga harus mengandung aspek etik, estetik, dan kinestetik.
Ada di bayangan saya, nantinya budaya itu harus terintegrasi dengan sekolah. Karena alasan itulah yang menjadikan dipindahnya budaya dari kementrian pariwisata beralih ke kementrian pendidikan. Jadi memang sebetulnya budaya itu harus fokus ke sekolah untuk membudayakan pendidikan.
Karena itu saya berharap Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah segera melakukan intervensi terhadap kurikulum sekolah Muhammadiyah. Tujuannya untuk menyeimbangkan pendidikan dan menjadikan seni budaya bagian dari dasar pendidikan. Jika itu dirasa berat, cukuplah LSBO membuat sekolah-sekolah percontohan. (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2016