Cerpen Fairuz Inayati
“Mil, itu ada sop ayam di meja makan. Jangan lupa cuci piring, ya! Cuma sedikit kok! Tadi, mbak sudah bersihin sebagian. Mbak ada kuliah sore,” seru Tyas ketika melihat Mila di depan pagar rumah saat ia hendak naik motor. Mila hanya membuat tanda OK dengan jari-jarinya, nyelonong masuk rumah sambil cekikikan. Rupanya dia sedang asyik menerima telepon. Tyas menggelenggelengkan kepalanya melihat ulah adik satusatunya yang terpaut jarak 7 tahun itu. Ia pun men-starter motornya menuju kampus ternama di kota Yogyakarta.
Sepuluh menit kemudian, Mila belum meletakkan handphone-nya. Ia masih asyik ngobrol dengan teman akrabnya, Lani.
“Menurutmu, hari valentine tahun ini aku bakalan sudah punya pacar belum ya, Lan? Aku kok gak ada yang nembak ya? Padahal tinggal 5 hari lagi nih tanggal 14 Februari. Aku penasaran pengen punya pacar.” Tanya Mila serius.
Lani yang diujung telepon menjawab, “Iya nih, sayang banget ya. Padahal kamu tuh gak jelek-jelek amat. Misalkan kamu punya pacar kan nanti kita bisa double date bareng aku sama Aji. Kira-kira kamu ada gebetan? Jangan bilang sama artis di tv kayak biasanya. Sok rahasia banget sih sama aku.”
“Hm, ada sih, si itu tuh, kamu juga kenal kok. Anak kelas sebelah yang pinter dan jago main basket, yang mukanya adem banget. Hi hi hi.” Mila terdengar antusias.
“Ya elah, Mil. Pakai basa-basi segala. Yang to the point aja gitu. Siapa?” Seloroh Lani, malas menebak.
“Itu, si itu, si Arafat.” Mila menjawab malu-malu kucing. Lani yang diujung telepon mengikik. “Ternyata dia, toh? tapi kan dia alergi sama cewek.” Mila hanya terdiam. Agak lama. “Woy. Ini tuh telepon, jangan diam aja.” Lani terdengar bersungut-sungut. “Begini aja, kalau sama dia kayaknya kamu deh yang harus duluan bergerak.”
“Hah?” Mila sedikit kaget.
“Ini jamannya emansipasi. Cewek juga boleh bergerak duluan. Besok gimana? Aku temenin kalau kamu gak berani.” Lani menawarkan.
“Beneran nih? Besok? Aku yang tembak? Tapi, aku gak ngerti harus gimana.” Mila terdengar ragu-ragu.
“Ih, beneran lah. Hari valentine bentar lagi. Nanti biar jadi double date-nya. Pokoknya kamu tinggal siapin iman. Nanti aku yang siapin perlengkapannya.” Lani mencoba meyakinkan.
“Pakai perlengkapan segala?” Mila terheranheran.
“Ya pakai dong. Pokoknya …”
“Gak usah pakai apa-apa, Lan” Mila yang tahu teman dari kecilnya itu bakal aneh-aneh memotong perkataan Lani.
“Kalau gitu, kamu langsung nembak aja besok. Gak usah basa-basi. Gak mau pakai cokelat gitu?” sahut Lani.
“Nggak.” Jawab Mila singkat.
“Emang ya, gak ada darah-darah romantisnya. Kakak kamu juga, masak baru dua bulan ketemu udah nikah. Gak pake sayangsayangan dulu. Sekarang di tinggal keluar kota lagi. Dua minggu sekali mana cukup ketemunya. Aku aja sama Aji tiap hari pengen ketemu.” Lani berseloroh.
“Ya, kan mas Rano harus kerja di Jakarta. Mbak Tyas belum bisa ikut karena kuliah S2-nya kan belum kelar. Lagian, kalau mbak Tyas ikut ke Jakarta, nanti aku sendirian lagi.” Bela Mila. Kedua orangtuanya memang sudah meninggal dunia 3 tahun silam karena kecelakaan. “Ya sudah ya, Lan. Aku tutup teleponnya.” Lanjut Mila.
Malam sudah cukup larut, tapi Mila belum juga bisa tidur. Ia pun pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
“Kok, belum tidur dik?” rupanya Tyas masih sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak esok pagi.
“Gak bisa tidur. Kepikiran besok jadi grogi.” Jelas Mila sambil membuka lemari es.
“Emang ada apa? Presentasi di depan kelas?” tanya Tyas.
“Bukan, besok mau nembak teman sesekolahan, namanya Arafat. Orangnya pinter loh kak. Aku suka.” Jawab Mila polos. Tyas menghentikan kegiatannya sejenak tersenyum kecil, kemudian berkata “Gak usah deh. Ngapain juga pacaran. Gak ada gunanya lah. Kamu lihat mbak deh, mbak pernah pacaran cukup lama kan? Akhirnya putus juga karena emang belum jodoh. Nyesel dulu kenapa dibilangin sahabat mbak, mbak Arifah, malah ngeyel. Udah buang-buang waktu, rugi hati lagi. Mending konsentrasi belajar biar jadi juara kayak mbak Arifah.”
Mila cuma diam saja, siap-siap angkat kaki kembali ke kamar membawa segelas air.
“Kamu ini, keras kepalanya itu, loh! Oh, iya. Besok adiknya mbak Arifah mau kesini mengantar pangsitnya mbak Arifah. Diterima ya! Mbak ada jadwal kuliah.” Ujar Tyas. Mila pun mengangguk antusias karena sudah lama ia tidak makan pangsit kegemarannya itu.
Mila pun ambil air wudlu untuk istikharah. Ia diajarkan bapak-ibu dulu untuk istikharah dalam hal sesuatu yang menentukan kehidupan. Ia harus mengikuti saran Lani sahabarnya atau Mbak Tyas sebagai pengganti orang tuanya yang sudah tiada. Usai istikharah dimantapkan hatinya untuk tidak nembak, untuk lebih mantap ia ganti seluruh gambar profil akunnya di dunia maya dengan “I’m Moeslem not Valentine’s day” sekaligus jawaban tuk Lina yang sering membuka akunnya.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Mila pun melihat dari celah-celah korden untuk melihat siapa yang datang. Mukanya pun memerah. Ternyata yang datang Arafat membawa pangsit dari Mbak Arifah.
Saking groginya mereka tak sempat berbincang hanya tersenyum saja sambil menyerahkan titipan Mbak Arifah untuk Mbak Tyas. Setelah itu Arafat mengucap salam untuk pamit, tanpa sempat dipersilahkan duduk.
“Oh ternyata Arafat adik Mbak Arifah,” batin Mila sambil bergumam jika memang jodohnya biar Allah yang mengatur melalui mbakmbaknya.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2017