Ketika Islam Bersenyawa dengan Kearifan Lokal

masjid menara kudus

Foto Dok Ilustrasi

Proses akulturasi nilai-nilai Islam dengan budaya lokal di Indonesia dinilai relative berhasil. Walaupun banyak tantangan, bahkan sempat memunculkan gejolak resistensi. Tetapi menurut penilaian beberapa peneliti dari luar negeri, proses akulturasi budaya Islam di Indonesia berjalan dengan baik. Demikian seperti yang dituturkan Sri Hedi Ahimsa, Antropolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Proses akulturasi budaya Islam di Indonesia bermacam-macam. Indonesia adalah Negara besar dengan bermacam-macam budaya dan suku bangsa. Tetapi pada umumnya, proses akulturasi budaya Islam sudah terjadi sehingga melahirkan banyak varian busaya Islam di Indonesia. Yang demikian telah menambah khazanah kebudayaan Indonesia pada umumnya. Islam di Indonesia juga tampil dengan wajah yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah,” papar Sri Hedi Ahimsa.

Lebih lanjut, antropolog UGM ini menjelaskan bahwa jenis-jenis budaya yang mengalami proses akulturasi dengan nilai-nilai Islam cukup banyak. Di Jawa, ajaran-ajaran Islam mampu bersenyawa dengan berbagai macam kesenian rakyat, seperti wayang kulit, sekaten, lagu-lagu daerah, pakaian, dan lain-lain. Di luar pulau Jawa, proses semacam ini sulit terjadi. Di Sumatera, ajaran-ajaran Islam justru dapat bersenyawa dengan karya-karya sastra, misalnya dalam bentuk hikayat, pantun, puisi dan lain-lain.

Cukup banyak bentuk-bentuk budaya hasil persenyawaan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia. Dari pola tradisi, misalnya ketika ada kelahiran dan kematian, nilai-nilai Islam sudah masuk dan membentuk budaya tersendiri di Indonesia. Model pergaulan pun sudah tersentuh oleh ajaran Islam, salah satu contohnya ialah ketika setiap orang bertemu dan saling menyapa dengan salam. Dari pola berpakaian, misalnya, kehadiran pakaian jilbab yang dikreasi dengan berbagai macam motif jelas berbeda dengan pakaian di Timur Tengah. Itu semua menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam sudah bersenyawa dengan tradisi lokal.

Salah satu hasil dari proses akulturasi budaya Islam yang menarik untuk dicermati adalah arsitektur bangunan masjid. Hedi Ahimsa menjelaskan, “Arsitektur masjid di Indonesia itu tidak sama dengan masjid-masjid di Timur Tengah. Bentuk arsitekturnya merupakan serapan dari kearifan lokal, sehingga masjid-masjid di Indonesia berbeda dengan masjid-masjid di negara-negara Timur Tengah.”

Senada dengan Hedi Ahimsa, menurut Inayati, Antroplog dari UGM, arsitektur masjid-masjid di Indonesia tidaklah sama dengan masjid-masjid di Timur Tengah. “Masjid-masjid di Indonesia atapnya bukan kubah seperti di Timur Tnegah, tetapi polanya mengikuti tradisi lokal,” jelas Inayati.

Inayati menambahkan, di masjid Mantingan, Jepara ditemukan relief gaya stiliran. Relief ini menggambarkan pengaruh Islam yang sudah bersenyawa dengan budaya lokal. Dalam Islam, kata Inayati, tidak diperbolehkan menggambar makhluk hidup. Tetapi di masjidMantingan ditemukan relief dengan pola binatang yang dimodifikasi dengan sentuhan Islam. Misalnya, gambar gajah yang disamarkan dengan pola batang dan daun yang tempatnya di sebuah kolam. Demikian halus dan samar pola-pola dalam relief tersebut sehingga sepintas tidak menyerupai gambar binatang.

Proses akulturasi budaya Islam di Indonesia telah memakan waktu yang cukup lama. Namun demikian, para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri menilai  proses akulturasi budaya Islam di Indonesia berjalan dengan baik. Menurut Hedi Ahimsa, keberhasilan proses akulturasi budaya Islam di Indonesia, selain karena faktor waktu yang cukup lama, tapi juga karena faktor kepintaran mubaligh zaman dahulu dalam mencari celah dan membuat strategi dakwah.

“Proses ini memang membutuhan waktu yang cukup lama. Namun yang perlu digarisbawahi, para mubaligh zaman dahulu ternyata pintar mencari strategi dalam menyampaikan ajaran Islam dengan memanfaatkan budaya setempat,” jelas Hedi. “Memang sangat disayangkan, saat ini beberapa mubaligh yang berhaluan puritan justru malah menilai budaya lokal sebagai bentuk kemusyrikan,takhayul, bid’ah, dan lain-lain. Ini jelas menjadi keprihatinan tersendiri.”

Begitu juga menurut Inayati, bahwa proses akulturasi budaya Islam tidak dengan serta-merta dan langsung jadi. “Proses akulturasi butuh waktu yang lama,” katanya. “Proses akulturasi budaya Islam di Indonesia dinilai berhasil karena tidak banyak resistensi. Tapi yang disayangkan proses ini justru tidak dilanjutkan dengan seksama oleh generasi sekarang.”

Persenyawaan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal adalah suatu keniscayaab. Dalam Keputusan Tarjih XXIII tahun 1995 di Banda Aceh tentang kebudayaan dan kesenian dalam Perspektif Islam ditegaskan, “(poin 2) Secara teoritis, manusia memiliki empat kemampuan dasar untuk mengembangkan kebudayaan, yakni rasio untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, imajinasi untuk mengembangkan kemampuan estetiknya, hati nurani untuk mengembangkan kemampuan moralitasnya dan sensus numinis untuk mengembangkan kesadaran Ilahiahnya. (poin 3) Agama adalah wahyu Allah SwT, merupakan sistem nilai yang mempunya empat potensi di atas dan mengakuinya sebagai fitrah manusia. Keempat potensi tersebut secara bersama-sama dapat dipakai untuk menemukan kebenaran tertinggi. Yakni kebenaran Allah SwT sebagai acuan dari kebudayaan yang dikembangkan manusia. (poin 4) Seni adalah penjelmaan rasa keindahan yang terkandung dalam jiwa manusia dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra. (poin 5) Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang waktu perjalanan sejarah peradaban manusia. (poin 12) Bila seni dapat dijadikan alat dakwah untuk membina,mengembangkan, dan meningkatkan mutu keimanan serta ketakwaan, maka menciptakan dan menikmatinya dianggap sebagai amal shalih yang bernilai ibadah sepanjang mematuhi ketentuan-ketentuan proses penciptaan dan menikmatinya.”

Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, proses akulturasi budaya selalu berkaitan dengan strategi dakwah Islam. Kecerdasan dan kepiawaian para mubaligh di zaman dahulu patut menjadi contoh yang baik bagaimana mempertemukan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal. Sebab, mempertemukan dua nilai dalam bentuk budaya yang berbeda tidaklah mudah. Salah mencari jalan untuk mempertemukan keduanya busa berbuah ketegangan. Jika ketegangan sampai memuncak, maka proses mempertemukan dua nilai dan budaya yang berbeda bisa dikatakan gagal. Oleh karena itu, perlu dicari titi temu dan dihindari titik tengkarnya. Proses mepertemukan dua nilai dan budaya yang berbeda tersebut memakan waktu yang cukup lama. Itulah proses akulturasi budaya Islam yang harus terus bersenyawa dengan nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia hingga saat ini. Bahan dan tulisan: rif

 Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 05 Tahun 2011

Exit mobile version