Metafor bahwa Amerika adalah sebuah kuali lebur atau melting pot sedikit banyak menggambarkan bagaimana komunitas Muslim Amerika dikatakan sebagai komunitas paling beragam di dunia. Sebanyak 3.3 juta Muslim membentuk kurang lebih 1% dari total penduduk Amerika saat ini. Mereka berdatangan dari Asia Selatan dan Tenggara, Arab Saudi, dan Afrika.
Jumlah tersebut menjadikan Islam sebagai agama nomor tiga terbesar di Amerika, setelah Kristen dan Yahudi. Jumlah tersebut pun terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan temuan Pew Research Center menunjukkan, sebelum tahun 2040 Islam diperkirakan akan menjadi agama terbesar kedua di Amerika Serikat, setelah Kristen. Saat ini, kira-kira setengah dari jumlah total Muslim di Amerika adalah mereka yang lahir di negara tersebut. Dengan melambatnya laju imigrasi dan makin banyaknya keluarga muda Muslim yang melahirkan keturunan, prosentase tersebut pun akan terus mengalami peningkatan.
Muslim dalam Masyarakat Amerika
American Dreams. Etos ini bagaikan janji dan harapan yang diinginkan oleh mereka yang datang ke Amerika. Tak lain adalah janji kebebasan, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan peluang menemukan kebahagiaan atau pursuit of happines. Sehingga, tidak salah jika Amerika, seperti kata Imam Shamsi Ali, Presiden Jamaica Muslim Center (JMC) dalam tulisannya tentang Muslim Amerika, adalah negara kaum imigran. Bahkan, jika kita meluangkan sedikit waktu membuka kembali catatan sejarah, kaum kulit putih yang menyebut dirinya the truly Americans adalah kaum pendatang Inggris dan Eropa.
Maka, tidak beda dengan imigran dari berbagai etnis lain, kedatangan Muslim ke Amerika pun menyimpan harapan yang sama tentang berbagai peluang hidup yang lebih baik. Baik dalam hal ekonomi, pendidikan, atau kebebasan individu. Mereka tumbuh dari latarbelakang berbeda kemudian melebur menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang mendedikasikan diri di berbagai sektor.
Hari ini, kita dapat menyaksikan kehadiran mereka sebagai mahasiswa dan akademisi, politisi, pemerintahan, dokter, pengacara, akuntan, atlet, sopir taksi, awak media, bahkan mereka yang bergeliat di dunia hiburan. Charles Bilal merupakan Muslim Amerika pertama yang terpilih menjadi walikota yaitu di Kountze, Texas. Baru-baru ini, pemimpin Muslim di Florida membuka klinik kesehatan yang memberikan layanan kepada masyarakat miskin dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan dari segala golongan. Klinik dengan nama American Muslim Community Centers Clinic (AMCC) yang terletak di Longwood tersebut akan dibuka khusus di hari Jumat. Hal tersebut cukup menjelaskan mengapa hari ini Muslim Amerika digolongkan sebagai kelompok kelas menengah dan menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat di Amerika.
Sederet tokoh terkemuka di Amerika bermunculan dari komunitas Muslim. Seperti Muhammad Ali, Malcolm X, Mos Def, Fareed Zakaria, Shaquille O’Neal, Lupe Fiasco, Dr Oz, Imam Shamsi Ali dan Rima Fakih.
Di sektor bisnis Muslim Amerika memiliki Farooq Kathwari, CEO Ethan Allen yang bergerak di bidang furnitur, Malik M Hasan seorang pionir Health Maintenance Organization (HMO), sebuah lembaga asuransi kesehatan, dan Safi Qureshey seorang co-founder dan CEO AST Research, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi. Amerika juga telah memberikan penghargaan terhadap sejumlah tokoh Muslim akan dedikasi, jasa, dan pengorbanannya. Salman Hamdani adalah salah satu penerima, yang tewas dalam peristiwa 9/11, Kareem Rashad Sultan Khan, penerima medali Bronze Star, dan Purple Heart yang tewas saat operasi pembebasan Iraq.
Muslim dan Komunitas Agama
Layaknya komunitas minoritas lain, tantangan Islamophobia yang kian berkembang masih menjadi tantangan bagi Muslim di Amerika. Lebih-lebih iklim keberagaman Amerika yang kian terusik semenjak majunya Donald J Trump – yang kini menjadi orang nomor satu di Amerika – dalam kampanyenya, yang tidak sedikit mengumbar sentimen rasial dan kebencian agama. Sejak itu pula rasisme menjadi isu nasional Amerika. Apalagi jika melihat kondisi sebelum dan pasca pemilihan presiden. Penyerangan di berbagai tempat publik terhadap Muslim atau pun imigran lainnya ramai memenuhi media online dan social media.
Sentimen rasial dan kebencian agma yang terus menerus disuarakan dan digulirkan Trump pun membuat kelompok ekstrim kulit putih, White Supremacist, pun seakan kembali memperoleh panggung. Ini tentu sangat berlawanan dengan konstitusi dan nilai-nilai yang diusung founding fathers Amerika yang menjamin adanya kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan melindungi hak asasi manusia.
Meskipun demikian, riset Pew Research Center pada 15 Februari 2017 agaknya sedikit membuat terperangah. Dibanding beberapa tahun sebelumnya, masyarakat Amerika saat ini menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap komunitas agama yang ada di Amerika.
Dari terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika hingga dicetuskannya kebijakan kontroversialnya, seperti pelarangan imigrasi dari tujuh negara mayoritas Muslim, berbagai protes dilakukan di sejumlah kota di Amerika. Tak hanya Muslim, namun gelombang protes datang secara luas dari masyarakat Amerika. Bahkan inisiasi dilakukannya protes dan solidaritas mengalir deras dari komunitas non-Muslim.
Salah satu protes yang turut diusung adalah “Rally Today I am a Muslim Too” oleh Imam Shamsi Ali, aktivis hubungan lintasagama, bersama Rabbi Marc Schneier, seorang pemimpin Yahudi, dan Russell Simmons, raja hip hop dan aktivis hak sipil di Amerika. Ribuan masyarakat Amerika tumpah ruah menggenangi Time Square, New York, pada hari itu. Mereka hadir dari berbagai latarbelakang usia, agama, dan etnis, memberikan solidaritas kepada saudara Muslimnya. Anggota Dewan Kota New York, bahkan Walikota New York, de Blasio, pun turut datang dan berbicara.
Tercorengnya nilai-nilai fundamental atau American values inilah yang merekatkan dan memperkuat rasa solidaritas antara kelompok agama dan masyarakat di Amerika.
Sejatinya bukan hanya Muslim dan kelompok minoritas lainnya yang dilukai dengan adanya tindakan diskriminasi tersebut. Namun masyarakat Amerika sebagai bagian yang turut memastikan bahwa tidak ada satu pun pihak yang boleh mencoreng nilai-nilai universal yang selalu dijunjung tinggi Amerika. Melihat dedikasi yang telah diberikan Muslim Amerika selama ini, tentu tidak layak bagi mereka untuk didiskriminasi, terlebih dilekatkan dengan label kriminal atau pun teroris! (Th)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017