Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Bung Karno, dalam usia 39 tahun, menulis sebuah artikel di majalah Pandji Islam (1940) berjudul Islam Sontolojo (Lihat Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, 1964, hal 493-9). Bagi mereka yang tidak berbicara dalam bahasa Jawa tidaklah mudah untuk memahami atau menghayati arti kata sontoloyo ini. Apalagi memang tidak mudah mencari padanan kata ini dalam bahasa Indonesia.
Sebuah buku -yang secara tidak sengaja saya temukan di sebuah bookfair di Jakarta- yang berjudul Sontoloyo: Matahari Itu Berkah atau Kutukan (Institut Antropologi Indonesia, 2013) karya Ruddy Agusyanto yang tebalnya mencapai 328 halaman itu ternyata juga tidak menjelaskan arti kata itu. Bahkan kata itu hanya muncul dua kali saja dalam kata umpatan “…memang sontoloyo!”. Beruntung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011, hal 1330), kita menemukan kata sontoloyo yang artinya konyol, tidak beres, atau bodoh.
Dengan kata Islam Sontoloyo itu Bung Karno tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam itu agama yang konyol, bodoh, dan tidak beres. Pasalnya di bagian lain dari tulisannya itu, beliau menyatakan bahwa Islam is progress. Progress berarti lebih tinggi tingkatannya daripada yang terdahulu. Progres berarti ciptaan (creation) baru, –bukan mengulangi barang yang dulu, bukan meng-copy belaka sesuatu yang lama. Islam adalah agama yang berkemajuan atau progresif.
Tapi meskipun demikian, dalam pandangan Bung Karno, “Jikalau umat Islam tetap saja tidak mengindahkan pengajaran-pengajaran besar seperti yang tertulis dalam sejarahnya sendiri, jikalau pemuka-pemuka Islam tidak mengikuti jejak pemimpin-pemimpin besar di dunia Islam, hanya mau menjadi ulama-ulama fiqh saja, dan bukan pemimpin kejiwaan sejati, maka janganlah berharap umat Islam akan dapat mempunyai kekuatan jiwa yang hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang seperti sekarang ini. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insyaf bahwa banyak di kalangan kita yang Islam-nya masih Islam sontoloyo!”
Walhasil, yang dimaksudkan oleh Bung Karno yang lima tahun setelah menulis artikel itu menjadi Presiden Pertama RI, bukan lah Islam, melainkan umat Islam yang masih sontoloyo itu. Hal ini penting ditegaskan oleh karena sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia maka tidak syak lagi gengsi, prestasi dan reputasi bangsa ini sangatlah tergantung pada kemajuan umat Islam. Pasalnya, secara numerikal jumlah umat Islam di negeri ini mencapai 87% dari populasi nasional (sekitar 255 juta jiwa): jumlah yang luar biasa besar! Bangsa Muslim terbesar di dunia. Tetapi kebesaran itu masih bersifat numerikal dan potensial, belum aktual dan substansial.
Kekuatan numerikal ini belum bertransformasi menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan peradaban yang aktual dan signifikan.
Umat Islam yang jumlahnya melimpah ruah itu belum terorganisasi dengan baik. Banyak faktor yang menjadi sebab belum kuatnya kesadaran umat untuk mengorganisasikan diri nya. Para pemuka Islam sendiri alih-alih menanamkan kesadaran pentingnya umat untuk mengorganisasikan dirinya sehingga maju dan kuat, malah cenderung menjadikan umat berpuak-puak dalam kelompok-kelompok yang parokial dan sektarian.
Islam yang dianut oleh sebagian terbesar bangsa memang mengajarkan bahwa kekuatan itu lebih penting daripada jumlah (“Umat beriman yang kuat itu lebih baik daripada umat beriman yang lemah”, Al-Hadits); bahwa kualitas lah, bukan kuantitas yang menentukan kemajuan suatu bangsa (“Betapa sering terjadi kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak atas ijin Allah”. Qs [2]: 249). Tetapi ironisnya ketakjuban kita justru lebih terarah pada kuantitas belaka!
Dalam konteks dan perspektif seperti itu, maka yang mendesak sekali untuk dilakukan adalah perubahan mentalitas bangsa yang masih jauh dari –meminjam istilah Plato– cahaya peradaban. Bangsa ini pada sejatinya memiliki semua prasyarat untuk maju. Dengan pengalaman yang sangat kaya dengan berkali-kali melakukan perubahan sistem politik dan ekonomi seharusnya cukup untuk mendorong bangsa ini bergerak maju. Hambatan kemajuan itu adalah mentalitas feodalistik, minder, serta hilangnya konfidensi dan trust.
Sebagai insan Pancasila kita percaya bahwa prestasi dan prestise itu pasti akan datang juga. Pasalnya, “Masa-masa kejayaan itu Aku (Allah) pergilirkan di antara umat manusia” (Qs [3]: 140). Maka setiap putra bangsa harus punya greget, cancut taliwanda, dan bertiwikrama untuk meraih giliran mewujudkan Indonesia yang maju. Kita bukan bangsa sontoloyo yang pesimisme, apatisme dan sinisme!
Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2016