Ikhtiar Menyingkap Makna Al-Qur’an

Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam sebagai landasan dan pusat orientasi gerakan. Sumber utama ajaran Islam, menurut manhaj tarjih (Putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta), adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah. Sementara sumber lainnya berupa ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, saddu zari’ah, dan urf.

Sebagai sumber utama, Muhammadiyah dituntut untuk memberikan pemahaman Al-Qur’an kepada warganya. Upaya ini sangat penting untuk dijadikan tuntunan keagamaan maupun dalam rangka menjalankan misi dakwah, termasuk dalam pembinaan karakter bangsa dan pengembangan peradaban. Kehadiran tafsir Al-Qur’an juga menjadi fondasi dan dasar pemikiran tajdid, serta pelita dalam misi pencerahan.

Melalui karya tafsir, Muhammadiyah berupaya untuk menyikapi realitas kebangsaan dan sekaligus menyemai gagasan Islam Berkemajuan. Tafsir merupakan salah satu produk tarjih yang berupa Wacana, berada di bawah level Putusan dan Fatwa.

Menurut Muhammadiyah, bangsa Indonesia harus dikawal untuk selalu dalam lintasan menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Beragam permasalahan yang dihadapi bangsa, kata Ketua Majelis Tarjih Syamsul Anwar, membutuhkan usaha yang multi dimensional dan kebersamaan. Solusinya tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Setiap elemen dapat mengambil bagian sesuai dengan keadaan dan kapasitasnya. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar mengambil peran dalam kapasitasnya memanfaatkan modal simbolis yang dimiliki. Mewarnai pemikiran dan pandangan masyarakat. Mereka yang membaca tafsir Muhammadiyah diharapkan menjadi sadar dan terdorong menjadi lebih baik.

Paruh pertama abad ke-20, sebuah Lajnah Ulama Muhammadiyah telah menuliskan Tafsir Al-Qoer’an: Djoez ke Satoe. Tim ini terdiri dari KRH Hadjid, KH Mas Mansur, KH Ahmad Badawi, KH Hadikoesoemo, KH Farid, KH Aslam.

Bagian muqaddimah yang ditulis oleh KRH Hadjid di awal tafsir ini menerangkan tentang alasan di masa Nabi tidak diperlukan tafsir. Sebab saat itu, ada Nabi sebagai tempat bertanya, para sahabat paham bahasanya Al-Qur’an, mengetahui tentang ikhwal asbabun nuzul, mengetahui bagaimana Nabi menjalankan pesan Al-Qur’an. Di masa selanjutnya, keadaan berubah, Islam telah berkembang luas, “sehingga orang Arab sendiripoen banjak jang soedah tidak mengerti loeghat Qoeran (bahasa Qoeran), pun tidak mengetahoei sendiri keadaan-keadaan di masa Rasoeloellah, maka dengan sendirinja mereka itoepoen laloe perloe dan boetoeh kepada adanja Tafsir Qoeran.”

Dalam paragraf selanjutnya, menguraikan tentang keanekaragam tafsir. Diterangkan pula bahwa Al-Qur’an secara umum memuat tiga hal: kepercayaan kepada Allah, kehidupan manusia setelah mati sampai kiamat, serta amal shalih. “Adapoen jang dinamakan amal shalih menoeroet adjaran Qoeran itoe, ialah perboeatan dan pekerdjaan jang adil antara djasmani dan rochani, jang berfaedah bagi diri sendiri dan orang lain, mendjaga hak-haknja roch, djism, hidoep, harta benda, kehoermatannja manoesia, kemoeliaannja i’tikad, dan mendjaga kesoetjian boedi pekerti, mendjaoehi perboeatan jang melarati orang lain, ketjoeali menolak kemalaratan jang lebih besar.”

Dorongan untuk melahirkan tafsir kolektif-kolegial juga dinyatakan dalam Muqaddimah ini. Semangat kebersamaan akan melengkapi persyaratan seorang mujtahid yang harus menguasai berbagai cabang ilmu. Sementara di masa sekarang, sulit menemukan sosok “super” yang bisa menguasai semua bidang. Maka, diperlukan suatu wadah yang mengumpulkan banyak ahli dari masing-masing cabang ilmu yang ditekuninya. Dengan demikian, hasil penafsiran akan komprehensif.

Menurut dosen UIN Sunan Kalijaga Indal Abror, pada masa itu, tradisi arus besar tafsir Indonesia masih dalam tahapan penerjemahan dan penafsiran secara sederhana. Tafsir Al-Qoeran Djoez Ke Satoe ini juga masih berupa penerjemahan. Namun sudah menggunakan catatan kaki yang merupakan ruang untuk penafsiran, berusaha mengungkap makna yang dikehendaki Qur’an.

Tafsir Muhammadiyah lainnya adalah Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama. Tafsir ini telah didiskusikan secara intensif oleh komisi V Musyawarah Nasional Tarjih ke-24 di UMM, akhir Januari 2000. Buku tafsir ini diterbitkan menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, pada 8-11 Juli 2000. Kehadirannya menjadi kado bagi peserta muktamar, sekaligus menjadi sumbangan pemikiran bagi bangsa.

Tafsir kontekstual ini menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia merupakan negara majemuk. Keragaman agama yang menjadi sorotan dalam tafsir ini dimaksudkan sebagai suatu keniscayaan yang tidak perlu disesali. Keragaman harus dilihat sebagai suatu potensi dan anugerah. Hal yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran setiap pemeluk agama untuk merefleksikan kembali nilai universalitas ajaran kitab sucinya. Menabur cinta untuk semua, tanpa memandang perbedaan.

Masing-masing pemeluk agama dijamin untuk menjalankan kepercayaannya. Tafsir ini menyebut bahwa ayat, “fastabiqul khairat” menjadi acuan dalam pola relasi. Bahwa di tengah keragaman, semua pihak saling memberi konstribusi positif untuk bangsa dan sesama. Semua umat saling sibuk mengupayakan dedikasi, sehingga tidak menyisakan tempat untuk saling mencaci maki, apalagi saling menegasikan eksistensi pihak lain. Merayakan keberagaman dengan saling membangun interaksi aktif dan produktif.

Pada Mei 2016, lahir Tafsir At-Tanwir, yang naskah awalnya dimuat rutin di rubrik “At-Tanwir” majalah Suara Muhammadiyah. Tafsir ini merupakan amanah Muktamar 1 abad Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010. Memasuki abad kedua, Muhammadiyah dituntut memiliki sebuah tafsir monumental yang menjadi rujukan keagamaan bagi warga Muhammadiyah dan masyarakat luas. Selain tafsir, peserta muktamar juga mengamanahkan penyusunan Risalah Islamiyah, yaitu sebuah panduan lengkap tentang paham agama menurut Muhammadiyah, dilihat dari semua bidang kehidupan.

Tafsir dengan penyajian runtut sekaligus tematik (tahlili cum maudhui) ini berusaha untuk membangkitkan etos ibadah (semua aktivitas pengabdian harus melahirkan kesalihan individu dan kesalihan sosial); etos ekonomi (mendorong semangat kerja, disiplin, kerjasama, tanggung jawab); etos sosial (mengupayakan solidaritas, toleransi, persaudaraan, keadilan, transparansi, visioner); dan etos keilmuan (mendorong upaya pemajuan peradaban yang dimulai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi).

Ketika menguraikan surat Al-Fatihah, At-Tanwir memberi pemahaman tentang makna kehidupan. Menjawab tiga pertanyaan besar manusia: Dari mana berasal? Untuk tujuan apa di sini? Ke mana akan menuju? Tafsir ini menjelaskan tentang asal usul manusia, dari aspek spiritual hingga tinjauan sains. Manusia sebagai khalifatullah, hidup dengan jalan mengabdi. Mengharapkan ridha Allah dan merengkuh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pada akhirnya manusia dikembalikan kepada-Nya untuk dimintai pertanggungjawaban.

Menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih Hamim Ilyas, Muhammadiyah memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab rahmat, yang terinspirasi dari ayat 107 surat AlAnbiya (21). Al-Qur’an yang diturunkan Allah sebagai rahmat, bertujuan untuk mewujudkan kebaikan nyata bagi seluruh makhluk-Nya. Rahmat adalah kasih sayang yang mendorong seseorang berbuat baik kepada yang dikasihi, supaya menuju hidup baik. Diukur dengan indikator: hidup bahagia, damai, sejahtera. (ribas)

——————————

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2018

Exit mobile version