Khazanah Tafsir Muhammadiyah

Kitab suci, menurut F. Schuon dalam Understanding Islam, adalah suatu karya dengan tiga ciri. Pertama, dilekatkan pada sesuatu yang transenden. Kedua, memiliki sifat kepastian mutlak. Ketiga, tidak sepenuhnya dapat dimengerti dan dijangkau daya akal pikiran manusia biasa. Al-Qur’an, tidak diragukan lagi adalah kitab suci yang menjadi mukjizat Nabi Muhammad.

A l-Qur’an, pada awal mula menyapa manusia dengan media bahasa Arab yang digunakan pada abad ke-7. Nabi Muhammad menjadi figur penafsir utama. Setelah wafatnya Nabi, kalam ilahi ini bertransformasi dan bertransmisi. Dihimpun di masa Abu Bakar atas usulan Umar. Di masa Usman, sebuah tim yang diketuai Zaid bin Tsabit membukukannya menjadi sebuah mushaf. Pada masa Ali, Abul Aswad Ad-Duali memberi titik sebagai tanda baca, yang disempurnakan oleh Nasr bin Ashim. Abad ke-11 H, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidy menyisipkan tanda fathah, kasrah, dhammah, sukun, tasydid.

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang relevan di setiap ruang dan waktu. Akan selalu ada hal baru yang bisa ditemukan ketika didekati dari banyak perspektif. Percikan rahasia Al-Qur’an berusaha dipahami oleh para mufassir untuk kemudian disajikan dalam bentuk karya tafsir. Kehadiran tafsir Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari sosok mufassir.

Mufassir berusaha menawarkan syarahan baru, memperjelas, memerinci atau melanjutkan narasi sebelumnya. Seiring waktu, lahir tafsir dengan beraneka metode, pendekatan dan corak. Ditulis dalam berbagai bahasa. Sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda bahwa laju penafsiran terhadap Al-Qur’an akan berhenti. Kualitas penafsiran dipengaruhi oleh banyak faktor: konteks sosial dan lingkaran kehidupan, endapan pengetahuan, horison pengalaman, hingga kecenderungan paham ideologi mufassir. Termasuk faktor ‘kedekatan’ mufassir dengan Al-Qur’an dan Sang Penutur Firman.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid (periode 1995-2005 bernama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pada 1927-1995 dinamai Majelis Tarjih), telah menerbitkan dua karya tafsir. Berupa Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama pada Juli 2000 dan Tafsir At-Tanwir Jilid I, pada Mei 2016.

Jauh sebelum itu, Tafsir Al-Qoer’an: Djoez ke Satoe oleh Ladjnah Tafsir Muhammadiyah merupakan tafsir pertama di Nusantara yang disusun oleh suatu lembaga. Lajnah ini di antaranya terdiri dari KRH Hadjid, KH Mas Mansoer, KH Ahmad Badawi, KH Hadikoesoemo, KH Farid, KH Aslam. Tafsir berbahasa Melayu ini memuat pengantar dari Kiai Hadjid. Menurut Yunus Anis dalam Suara Muhammadiyah edisi Januari 1978, KRH Hadjid juga menulis tafsir individu, yang hingga akhir usianya menyelesaikan 26 juz Al-Qur’an.

Di luar tiga tafsir kelembagaan tersebut, ada banyak tafsir individu dari para tokoh Muhammadiyah. Di antaranya Tafsir Al-Bayan karya Teungku Hasbi Ash Shiddiqieqy, Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Tafsir Sinar karya Abdul Malik Ahmad. Termasuk Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci karya Dawam Rahardjo. Ada juga Kabar Wigati dan Kerajaan: Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an, Juz ke-29 dan ke-30, karya Mohammad Diponegoro.

Muhammadiyah memiliki khazanah tafsir yang sangat kaya. Bukan tidak mungkin, masih ada naskah manuskrip tentang karya tafsir dari tokoh Muhammadiyah lainnya yang belum ditemukan. Muhammadiyah merupakan pelopor penerjemahan dan tafsir Al-Qur’an, supaya firman Tuhan dipahami dan dijadikan sumber nilai kehidupan. Khazanah Tafsir Muhammadiyah mencerahkan umat. Melanjutkan misi sang nabi, membumikan kitab suci. (ribas)

——————————–

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2018

Exit mobile version