Mendekatkan Al-Qur’an dengan Kehidupan

Mendekatkan Al-Qur’an dengan Kehidupan

Membaca Al-Qur'an

Semua muslim meyakini bahwa AlQur’an merupakan “azimat” yang akan menyelamatkan dirinya. Namun, bagaimana cara memperlakukan azimat itu sehingga dapat berfungsi terdapat banyak perbedaan. Hal itu setidaknya terekam dalam beberapa naskah lama.

Beberapa ayat dari surat tertentu disalin dan ditaruh di buritan kapal, maka kapal itu akan selamat melewati hempasan gelombang. Kalau kombinasi ayat itu diubah dan ditaruh di depan pintu rumah, rumah itu akan selamat dari kebakaran.

Sampai Muhammadiyah berdiri, mungkin juga sampai hari ini, cara umat Islam memperlakukan Al-Qur’an seperti yang termaktub dalam beberapa naskah kuna itu masih juga diamalkan.

Walau cara mengamalkan Al-Qur’an seperti itu jamak dilakukan oleh orang Islam dan bahkan difasilitasi para tokohnya, praktik semacam itu tidak pernah ada dalam tradisi Muhammadiyah.

Dalam tradisi Muhammadiyah, cara utama “memuliakan” Al-Qur’an adalah dengan mengamalkannya. Hal itu setidaknya tercermin dalam buku Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan; 7 falsafah & 17 kelompok Ayat Al-Qur’an. Buku ini disunting KRH Hadjid, murid generasi pertama Kiai Dahlan. Di dalam buku ini diterangkan, setiap kali kelompok ayat itu dibahas, maka Kiai Dahlan selalu mengevaluasi pemahaman para muridnya dengan tindakan nyata yang telah ditempuhnya. Sejauh mana ayat itu mengubah perilaku para pembacanya.

Lewat tradisi ini secara tidak langsung Kiai Dahlan mengajarkan bahwa Al-Qur’an merupakan azimat ampuh yang selalu bisa dijadikan petunjuk untuk mengatasi semua masalah. Walau zaman selalu berganti dan tatanan masyarakat juga berubah, Al-Qur’an akan selalu dan harus dijadikan solusi. Al-Qur’an harus dapat dipahami. Makna Al-Qur’an harus dapat diakses oleh semua umat Islam. Untuk itu diperlukan sebuah tafsir yang menjadi jangkar antara idealitas yang termaktub di dalam Al-Qur’an dengan realitas yang hidup di tengah masyarakat.

Model pembacaan Al-Qur’an, agar ruh Al-Qur’an bisa menjelma dalam kehidupan sosial kemasyarakatan a-la Kiai Dahlan ini juga ditekankan oleh Dr Moslem Abdurrahman (allahu yarham) kepada anak-anak muda Muhammadiyah yang menjadi murid pelatihan ilmu sosialnya.

Bagi Moslem, sekedar genit-genitan dalam menafsirkan Al-Qur’an itu tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah ummat. Al-Qur’an akan tetap terasing dan umat akan tetap hidup tanpa pendamping. Menurut Moslem, Al-Qur’an itu tidak diturunkan di ruang hampa.

Dalam beberapa karya tafsir para ulama Muhammadiyah seperti Hamka, Teungku Hasbi Ash Shiddiqieqy, Abdul Malik Ahmad, maupun KRH Hadjid benang merah untuk mengejawantahkan kemauan Al-Qur’an dalam realitas kehidupan juga cukup nampak terlihat.

Bahkan tafsir Al-Qur’an yang dikemas dalam bentuk karya sastra yang disusun Muhamad Diponegoro (mantan Pimred Suara Muhammadiyah), juga terjemahan juz amma yang dikemas dalam tembang macapat jawa (Sekar Sari Kidung Rahayu) yang disusun oleh Achmad Djuwahir Anom Wijaya, semangat itu juga masih sangat bisa dirasakan.

Semua karya itu mengacu pada satu semangat bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjawab semua masalah ummat. Karena Nabi Muhammad sudah tidak ada, maka tugas menerjemahkan apa maunya Al-Qur’an itu, beralih kepada kita semua. Untuk itu, Al-Qur’an harus didekati dengan berbagai disiplin ilmu.

Sebagai organisasi Islam berkemajuan, upaya mendekatkan Al-Qur’an dengan realitas masyarakat ini tidak hanya terhenti di wacana. Pada tahun 1930-an, Muhammadiyah sudah memelopori membentuk tim penerjemahan/penafsir Al-Qur’an terdiri dari KRH Hadjid, KH Mas Mansur, KH Ahmad Badawi, KH Hadikoesoemo, KH Farid, KH Aslam. Produk dari tim itu yang sampai pada kita adalah Tafsir Al-Qoer’an: Djoez ke Satoe.

Tafsir Al-Qoer’an: Djoez ke Satoe ini sendiri walau masih lebih banyak berupa penerjemahan dengan sedikit keterangan tambahan, sudah dapat dikatakan cukup luar biasa. Wacana yang dikembangkan juga telah jauh melampaui zamannya.

Sampai hari ini kita belum mengetahui bagaimana reaksi masyarakat dan ulama saat itu terhadap produk tafsir tersebut. Apakah produk sempat mengguncang jagad persilatan para ulama saat itu ataukah tidak.

Kita juga belum mendapatkan informasi mengapa tim tersebut hanya menghasilkan satu jus kitab tafsir saja. Apakah upaya itu sengaja dihentikan oleh suatu sebab. Apakah sebenarnya tim tersebut terus bekerja namun produknya belum ditemukan kembali. Mengingat kurang rapinya pengarsipan yang ada pada satu kurun tertentu, dan kurangnya alat cetak. Semua kemungkinan itu tetap sah untuk menjadi spekulasi.

Apalagi pada masa-masa tersebut sempat beredar pendapat ulama besar yang mengecam upaya penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa apapun. Lewat Novel yang berjudul Kemarau, AA Navis juga sedikit berkisah tentang kasus anggapan sesat mengaji Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa Jawa.

Yang jelas, dua produk tafsir Muhammadiyah paling mutakhir, yang keduanya disusun secara berjamaah dengan melibatkan banyak ahli lintas disiplin ilmu, yakni Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama (2000) dan Tafsir At-Tanwir juz 1, (2016), kedua produk ini sukses menyita perhatian khalayak dengan beragam tanggapan yang menggelitik. Ada yang mencerca dan mengkritik dan bahkan menyesatkannya. Namun, banyak pula yang memuji dan mengakui keunggulannya.

Walaupun tafsir At-Tanwir yang ada baru satu juz, visi dan gagasan besar yang dikemas dalam tafsir ini sudah sangat terlihat nyata. Misalnya dalam membahas ibadah shalat. Menurut tafsir ini, ibadah shalat harus berpengaruh kepada yang melakukannya sehingga dia tercegah dari perilaku keji dan munkar (Al-Ankabut [29]; 45).

Namun, apabila shalat tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap jiwa, maka berarti ibadah tersebut kosong dari ruh ibadah dan keagungannya, dan mendapat ancaman sebagaimana surat Al-Maun [107] ayat 4-5.

Sedangkan kata al-maghdubi alaihim, ditafsirkan sebagai kebalikan dari jalan yang yang cenderung merusak, bertentangan dengan kebenaran ilmu dan logika, serta memperbodoh masyarakat dan menyebabkan malas bekerja.

Sampai hari ini kitab Tafsir At-Tanwir yang sudah diterbitkan baru jus satu, namun Majelis Tarjih dan Tajid PP Muhammadiyah telah berazam untuk menyelesaikannya sampai tuntas 30 juz. [mjr8, k’ies]

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2018

Exit mobile version