Masalah Muhammadiyah dan Politik

Politik

Masalah Muhammadiyah dan Politik

Prof Dr Haedar Nashir, MSi

Setiap jelang Muktamar selalu muncul isu tentang bagaimana Muhammadiyah memikirkan dan mengambil langkah yang berkaitan dengan politik. Lebih-lebih ketika organisasi Islam ini dianggap tidak mendapat posisi Menteri, meski Ketua Umum PP Muhammadiyah berkali-kali menegaskan kalau jabatan di Kabinet itu sejatinya bukanlah jatah dan jalurnya Ormas tetapi Parpol. Kalaupun ada tokoh ormas yang menjadi Menteri hal itu karena secara resmi dan terbuka yang bersangkutan sebagai tim sukses.

Pendapat dan usulan agar Muhammadiyah memikirkan politik tentu perlu dihargai. Motivasi dan tujuannya juga baik agar gerakan Islam ini makin maju di segala bidang, termasuk politik. Namun pendapat atau pemikiran seperti itu tentu perlu dikaji secara mendalam dan matang dengan mempertimbangkan berbagai faktor, aspek, dan konteks. Hal itu karena terkait dengan keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar dengan sejumlah amal usaha, kiprah, dan perannya yang selama ini telah memperoleh tempat khusus di masyarakat luas yang tidak dapat dipertaruhkan begitu saja untuk kepentingan politik.

Politik itu memang penting. Tetapi urusan politik itu rumit dan kompleks. Apalagi pelaku politik praktis itu juga melibatkan banyak pihak yang saling berebut baik di lingkungan organisasi kemasyarakatan maupun partai politik. Dunia politik praktis seringkali keras, berliku, bahkan tidak jarang penuh permainan yang dikenal dengan siasat dan muslihat. Akankah Muhammadiyah mau terlibat dalam permainan politik yang penuh pertaruhan seperti itu?

Kerumitan Politik

Muhammadiyah memandang penting politik praktis, sebagaimana sama pentingnya fungsi politik kebangsaan secara umum yang diperankan Muhammadiyah sebagai civil society dan kelompok kepentingan. Muhammadiyah secara teoritik boleh saja memperlakukan politik praktis sebagai hal yang sama pentingnya dengan menggarap pendidikan dan sebagainya. Namun perlu disadari bahwa dunia politik praktis itu meskipun penting dan positif, dalam kenyataannya bukan suatu arena perjuangan yang sederhana dan tanpa masalah. Jangan memandang dunia politik itu serba indah dan mudah. Di situ terjadi konflik keras dan tidak jarang menggunakan segala cara. Pandangan ini bukan terkesan alergi politik, tetapi kenyataan di lapangan baik menurut pengalaman para insan politik maupun para ahli membuktikan, bahwa dunia politik praktis itu keras dan sarat konflik kepentingan.

Dunia politik itu rumit. Kehidupan politik praktis itu sejatinya memperebutkan jabatan kekuasaan yang melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Politik itu tulis Harold Lasswell patokannya ialah who gets what, when and how yaitu siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Esensinya dalam politik itu harus selalu ada transaksi saling mendapatkan dan akhirnya harus saling berebut. Barang yang diperebutkan konkret yakni jabatan, uang, aset, dan pengaruh. Buya Syafii Maarif bahkan dengan tegas dalam Pidato Iftitah Tanwir menyatakan, “politik itu memecah, dakwah itu merangkul.”

Coba simak dalam Pilpres 2014, apa jadinya jika Muhammadiyah mendukung resmi salah satu calon, maka akan terjadi perebutan dan konflik politik keras dengan berbagai pihak. Muhammadiyah tentu akan disenangi oleh pihak yang didukung, sebaliknya akan dimusuhi oleh yang tidak didukung. Internal Muhammadiyah pun terbelah. Inilah bukti politik itu memecah-belah. Belum termasuk soal prinsip dan idealisme dalam melakukan pilihan politik, yang seringkali diabaikan demi mendukung yang menang dan memperoleh jabatan politik tertentu. Ketika amal usaha Muhammadiyah dijadikan ajang kampanye atau pengenalan tokoh atau partai politik tertentu, sontak timbul pro dan kontra, yang jika dikembangkan dan tidak diredam menimbulkan konflik internal yang berkepanjangan. Kejadian tersebut bukan rekaan dan asumsi, tetapi fakta dan kenyataan, betapa rumit dan pro-kontra dunia politik praktis.

Jika Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah misalnya secara terbuka mendeklarasikan diri mengatasnamakan organisasi mendukung dan bahkan menjadi tim sukses salah satu peserta Pilpres misalnya, dengan harapan organisasi dan dirinya menjadi Menteri, apa yang akan terjadi dalam organisasi ini? Baik secara kelembagaan maupun sikap warga Persyarikatan selain akan mengeritisi dan kemudian menjadi kontroversi, maka iklim atau budaya politik seperti akan berpengaruh terhadap kondisi dan soliditas gerakan. Satu dua orang boleh menganggap soal seperti itu sederhana, tetapi Muhammadiyah tidak dapat dipertaruhkan seperti itu.

Pengalaman juga menunjukkan sisi politik yang lain. Terdapat kecenderungan pimpinan Muhammadiyah atau para tokohnya memberikan dukungan politik kepada calon tertentu, dengan risiko menimbulkan pro dan kontra karena terdapat calon lain dengan para pendukungnya yang tentu tak menyetujui langkah tersebut. Setelah menang yang didukung, ternyata tidak memperoleh kursi yang diharapkan, padahal normalnya tentu mendapatkan. Ternyata keputusan politik itu kompleks karena menyankut banyak pihak yang berkepentingan dan faktor yang mempengaruhi, sehingga sudah memberikan dukungan pun tak berbuah hasil. Jangankan organisasi kemasyarakatan, bahkan partai politik pendukung pun ada yang mendapat kursi sesuai harapan namun ada pula yang jauh dari harapan.

Jika didaftar masih banyak lagi masalah, kerumitan, dan dilema Muhammadiyah ketika berhadapan dengan politik praktis. Dengan alasan sikap netral aktif misalnya, Muhammadiyah dapat juga menjadi terlalu aktif dalam menyikapi urusan-urusan politik, sehingga menyerupai peran dan aktivitas partai politik. Tokoh-tokoh Muhammadiyah pun layaknya para politisi. Selain itu, dengan dalih mengembangkan hubungan kedekatan yang sama, Muhammadiyah pun bisa menjadi berhimpitan dan terlalu lengket dengan urusan-urusan politik menyerupai partai politik. Sebaliknya ketika jauh pun beragam kemungkinan bisa terjadi, sehingga tidak sederhana sebagaimana dipersepsikan. Dunia politik sungguh tidak linier, dari ranah yang terang benderang sampai abu-abu, dari yang halal sampai subhat dan haram. Siapkah Muhammadiyah dan orang-orang Muhammadiyah memasuki dunia yang berdasamuka seperti itu?

Berpartai Politik

Bagaimana dengan partai politik? Muhammadiyah sesungguhnya kenyang dengan pengalaman politik yang sarat problematik itu. Sejak aktif di Masyumi hingga Parmusi dan PAN dan PMB sungguh banyak onak dan duri, selain kemanfaatannya. Demikian pula ketika menghadapi pemerintahan dari satu rezim ke rezim berikutnya, Muhammadiyah penuh pengalaman dinamika dalam beragam suka-duka. Karenanya jika demi meraih kursi di pemerintahan tetapi terlalu memaksakan Muhammadiyah masuk ke dunia politik prakis yang pernah dijalaninya tidakkah hal itu akan merugikan masa depan Muhammadiyah sendiri?

Manakala Muhammadiyah secara kelembagaan terus dipaksakan terlibat dalam percaturan politik tentu akan menimbulkan banyak masalah di tubuh Muhammadiyah sendiri. Ini bukan soal berani atau penakut, bukan soal konservatif atau progresif, tetapi menyangkut keberadaan dan masa depan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi dakwah kemasyarakatan yang besar dan selama ini memiliki kekuatan sendiri. Soliditas dan kebersamaan akan terganggu. Energi mengurus umat, dakwah, dan amal usaha pun ikut terkuras. Sikap orang-orang Muhammadiyah menjadi berperangai politik. Muhammadiyah pun boleh jadi dikelola ala partai politik. Memang itu risiko berpolitik, tetapi mohon diingat Muhammadiyah bukan partai politik yang lahir untuk main risiko seperti itu.

Soal jabatan di pemerintahan memang penting dan dapat diikhtiarkan sesuai kepentingan dan prinsip gerakan. Ikhtiar dapat dilakukan melalui komunikasi yang bijak, objektif, dan terhormat. Namun harap diingat, jabatan politik itu tidak mudah diraih dalam posisi organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah. Partai politik pun tidak mudah meraihnya, kadang menang sebaliknya kalah dan seterusnya. Mohon diingat jabatan-jabatan politik yang penting itu diperebutkan oleh banyak pihak, sehingga bakal menghadapi tarik menarik kepentingan yang keras. Maka dalam mengikhtiarkannya pun tidak perlu memaksakan diri di luar takaran yang semestinya, yang membuat prinsip gerakan terkoyak, warga terbelah, serta organisasi kehilangan martabat dan kepribadian.

Dalam wacana dan tuntutan perjuangan di kancah politik cobalah dudukkan Muhammadiyah secara proporsional sesuai posisi dirinya sebagai gerakan keagamaan-kemasyarakatan yang berbeda dan bukan sebagai gerakan politik seperti partai politik. Dalam sistem politik modern di mana pun fungsi politik untuk meraih kedudukan kekuasaan di pemerintahan ditempuh melalui partai politik, bukan melalui organisasi kemasyarakatan. Selain itu cobalah dudukkan Muhammadiyah sebagai dirinya sendiri yang berbeda misalnya dengan Nahdlatul Ulama atau organisasi Islam lain yang memang memiliki watak, prinsip, dan orientasi yang berbeda meskipun sama-sama sebagai organisasi keagamaan. Perbandingan memang perlu, tetapi menirukan dan menisbahkan dengan orang lain belum tentu cocok bagi Muhammadiyah, masingmasing mempunyai karakter diri yang berbeda dan tidak harus sama. Harap diingat dengan bijak, amal usaha dan capaian Muhammadiyah itu luar biasa, maka jangan dipertaruhkan dengan sesuatu yang berisiko tinggi.

Jalan Keluar

Bagaimana jika ingin berjuang di dunia politik praktis? Muhammadiyah memberi jalan keluar yang elegan, bahwa para anggota Muhammadiyah dipersilakan menempuhnya melalui partai politik. Partai politik itu berada di luar organisasi Muhammadiyah. Ke depan tentu perlu didorong dan dibina secara terorganisasi kepada para kader Muhammadiyah yang berminat dan memiliki kapasitas untuk berkiprah di politik praktis, sehingga mereka berkualitas dan berintegritas tinggi selaku politisi yang membawa misi gerakan. Jika ada yang ingin mendirikan partai politik juga dipersilahkan sejauh mampu dan tidak mengatasnamakan Muhammadiyah, tapi ingat semuanya tidak mudah dan perlu modal serta jaringan luas dan kerja keras.

Muhammadiyah sebenarnya dapat melakukan empat langkah strategis sebagai instrumen aktualisasi Khittah Muhammadiyah sekaligus jalan keluar dari bayak usul agar memerhatikan urusan politik. Pertama, menjalin komunikasi yang baik dengan kalangan partai politik dan lembaga-lembaga pemerintahan serta berbagai kekuatan bangsa lainnya dalam memperjuangkan kepentingan Muhammadiyah, umat, dan bangsa. Langkah ini dilakukan sesuai prinsip Kepribadian Muhammadiyah. Dalam berkomunikasi dengan pihak lain, menurut Pak AR Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah terlama, kita jangan berkacakpinggang alias angkuh dan mentang-mentang, sebaliknya jangan merendahkan diri sehingga kehilangan martabat diri. Berkomunikasilah dengan wajah dan cara dakwah, insya Allah ada jalan. Soal apakah berhasil atau tidak dalam memperjuangkan setelah berikhtiar, serahkanlah kepada Allah, jangan merana ketika gagal dan sebaliknya congkak tatkala berhasil.

Kedua, siapkan secara terencana dan terorganisasi para kader politik untuk aktif dan masuk ke partai politik agar memperoleh saluran meraih jabatan dalam pemerintahan, apakah di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun institusi lainnya yang penting dan strategis. Langkah ini bisa dilakukan langsung oleh Pimpinan Persyarikatan maupun Unsur Pembantu Pimpinan atau badan khusus tergantung bagaimana efektifnya. Usaha ini harus dilakukan secara sistematik dan terorganisasi secara baik, yang sifatnya jangka menengah maupun panjang. Pada saat yang sama harus didukung oleh para kader atau anggota Muhammadiyah sendiri yang memerlukan komitmen, itikad, dan kesungguhan yang tinggi agar tidak semata menggantungkan diri pada usaha Persyarikatan, sehingga saling dukung antara ikhtiar lembaga dan angggota.

Ketiga, siapkan para kader profesional yang dapat diproyeksikan ke berbagai struktur termasuk di pemerintahan. Keduanya dapat dirancang-bangun oleh organisasi terutama melalui lembaga pendidikan dan amal usaha Muhammadiyah, lebih khusus Perguruan Tingginya. Pada saat yang sama juga memerlukan motivasi dan kerja keras para kader Muhammadiyah sendiri sehingga dalam jangka panjang akan membuahkan hasil. Kader profesional itu sangat penting karena dapat menduduki posisi apapun dan di manapun secara objektif, lebih-lebih dalam sistem meritokrasi di era modern, bahwa siapa yang ahli dan unggul di bidang tertentu maka akan dibutuhkan pihak lain.

Keempat, Muhammadiyah terus mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang good governance, objektif, dan berbasis meritokrasi. Presiden, Wakil Presiden, Menteri, anggota legislatif, pejabat yudikatif, dan pejabat pemerintahan di struktur dan institusi mana pun dari manapun asalnya harus berdiri di atas kepentingan bangsa dan negara serta tidak terjebak pada konspirasi dan kepentingan sempit diri, keluarga, kroni, dan golongannya. Jika pemerintahan berjalan objektif seperti itu maka Muhammadiyah akan diuntungkan. Sudah tidak masanya para pejabat negara berwawasan dan bersikap kerdil dengan memanfaatkan jabatan untuk golongannya, yang pada akhirnya merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Jika ingin menyelamatkan Muhammadiyah ke depan maka semua warga dan pimpinan Muhammadiyah diharapkan berpikir jernih dan menyeluruh soal politik praktis, jangan sampai menarik-narik gerakan Islam ini masuk ke kancah politik, karena terlalu besar risikonya bagi Muhammadiyah. Selain itu harap diingat sampai saat ini Khittah masih berlaku. Profesor Ahmad Syafii Maarif dan Profesor Azyumardi Azra ketika sesi dialog Seminar Pramuktamar ke-47 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memperoleh usul dari peserta agar Muhammadiyah memiliki partai politik dan menjadikan politik sebagai amal usaha, keduanya dengan tegas tidak setuju. Muhammadiyah tidak perlu mendirikan atau memiliki partai politik dan agar tetap mengambil jarak dari pergulatan politik praktis.

Jadi, Muhammadiyah harus istiqamah dan yakin dengan pilihan strategi perjuangan non-politik praktis sebagaimana Khittah gerakan ini. Hikmahnya terbukti telah membawa gerakan Islam ini mampu berkembang lebih satu abad dengan sejumlah keberhasilannya, meski tentu saja di sana sini masih banyak hal harus diperbarui. Jangan terlalu gundah karena tidak memperoleh jabatan tertentu di pemerintahan. Jangan pula menganggap apa yang dimiliki Muhammadiyah sekarang ini kecil, pinggiran, dan tidak berguna dibanding capaian dunia politik. Muhammadiyah itu sungguh besar dan tidak dapat dipertaruhkan untuk permainan politik praktis yang rumit, keras, dan berisiko tinggi. Inilah yang harus dipahami secara jernih, bijak, dan komprehensif oleh seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah. Nasrun minallah wa fathun qarib.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2015

Exit mobile version