Ahmad Najib Burhani
Dari segi jumlah penduduk, bangsa Indonesia sering berbangga sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia. Dalam konteks dunia Islam, Indonesia adalah negara dengan pemeluk umat Islam terbesar di dunia. Namun dalam catatan sejarah, peran umat Islam Indonesia di dunia internasional terlihat masih minimal. Tidak perlu membandingkan dengan Pakistan, Iran, Turki, dan Saudi Arabia, dengan negara tetangga Malaysia-pun sepertinya Indonesia masih kalah aktif.
Dulu pada tahun 1970-an, Indonesia memiliki tokoh yang sangat diperhitungkan di dunia Islam semisal Mohamad Natsir. Ia cukup disegani di berbagai negara dan bahkan menjadi salah satu pimpinan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dan Rabitah Alam Islami. Terlepas dari pengaruh dari Saudi Arabia terhadap dirinya, paling tidak Natsir memiliki suara yang cukup didengar di dunia Islam. Semenjak kepergian Natsir, sepertinya Indonesia belum melahirkan tokoh, pemikir ataupun pemimpin yang berskala Internasional. Inilah yang membuat sebagian orang kadang mengungkapkan kerinduannya akan hadirnya orang dari negeri ini yang mampu menjadi pemimpin dunia atau berperan secara signifikan dalam percaturan global.
Tentu saja ada beberapa tokoh Muslim nasional yang sangat hebat semisal Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif. Namun demikian, sebagai pemikir dan pemimpin, level mereka sepertinya masih berskala nasional. Karya-karya dari Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii hampir seluruhnya berbahasa Indonesia dan belum banyak yang diterjemahkan ke bahasa dunia. Karya tulis mereka belum menjadi rujukan akademik di dunia luar dan juga belum banyak menjadi inspirasi dari gerakan Islam di luar negeri. Ini tentu berbeda dari Muhammad ‘Abid al-Jabiri dari Maroko, Hassan Hanafi dari Mesir, Mahmoud Muhammed Thaha dari Sudan, Muhammad Arkoun dari Al-Jazair, Abul A’la Maududi dari Pakistan dan nama-nama lain yang bukunya banyak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan sering dijadikan referensi akademik di berbagai komunitas ilmuwan di Indonesia.
Dulu kita memiliki Buya Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Karya-karya Hamka, terutama Tafsir Al-Azhar, juga banyak dipakai di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura. Meski masih berada di level Asia Tenggara tentu kita sebagai orang yang se-Tanah Air dengan Hamka merasa ada kebanggaan dengan kebesarannya. Dulu sekali, kita memiliki Syaikh Nawawi Al-Bantani yang menulis karya-karya berbahasa Arab. Meski seberapa besar pengaruh dari karya itu di dunia luar masih perlu terus dikaji, tapi paling tidak karya-karyanya dapat ditemukan di beberapa negara.
Memang sudah ada beberapa sarjana dari Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Belanda, dan Australia yang mempromosikan gagasan-gagasan dari para pemikir Indonesia ke tingkat global. Orang semisal Carool Kersten, Greg Barton, Greg Fealy, Mitsuo Nakamura, Robert Hefner, dan Martin van Bruinessen adalah sarjana-sarjana asing yang memperkenalkan Islam Indonesia ke dunia luar. Namun apa yang mereka lakukan pada dasarnya adalah suplemen, bukan langkah utama untuk meningkat peran Indonesia di tingkat dunia.
Selain keterbatasan dalam hal pemikiran, dalam konteks kepemimpinan dunia, tokoh-tokoh dari Indonesia juga belum banyak menjadi decision maker ke arah mana dunia ini akan dibawa. Dulu kita kagum dengan Presiden Sukarno yang mampu menjadi pemimpin dunia dan mengajak negara-negara lain bergabung dalam gerakan Non-Blok, tidak mengikuti cara Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia). Pada zamannya, Sukarno adalah leader dunia, bukan follower.
Aktivitas dan cara pandang bangsa ini terhadap percaturan internasional itu seringkali terpengaruh oleh cara pandang kita terhadap konsep negara-bangsa dan organisasi Internasional. Banyak dari kita yang terlalu fokus dalam urusan dalam negeri dan menganggap urusan luar negeri tak terlalu penting. Ini misalnya terlihat dari orang-orang yang dijadikan duta besar dan wakil Indonesia di dunia internasional. Mereka seringkali dipilih dari orang orang yang sudah tidak terpakai atau pensiun di dalam negeri.
Tentu saja memberikan tekanan dalam urusan dalam negeri bukanlah sebuah kesalahan karena jika negaranya berhasil maka peran internasional akan meningkat. Namun menutup mata dari diplomasi internasional akan membuat sulit untuk pengembangan dalam negeri karena dunia ini saling terkait satu dengan lain dan apa yag terjadi di luar sana memiliki dampak yang cukup cepat terhadap apa yang terjadi di negeri ini. Radikalisme dan terorisme adalah contohnya. Apa yang terjadi di Afghanistan, Pakistan, dan Timur Tengah akan dengan cepat mempengaruhi Indonesia. Ketika ISIS (Islamic State of Irak and Syria) mendirikan khilafah, tiba-tiba sudah ada beberapa orang yang bergabung di sana dan beberapa orang di negeri ini juga berbai’at kepada khalifah ISIS tersebut.
Kelemahan peran internasional dari umat Islam Indonesia itulah yang sejak beberapa tahun terakhir dicoba ditutupi oleh Din Syamsuddin. Selain secara pribadi aktif dalam berbagai pertemuan internasional, Din Syamsuddin juga mengajak Muhammadiyah mulai keluar dari lingkup ke-Indonesiaan dan menjadi gerakan yang meng-global.
Beberapa hal yang dilakukannya selama ini, diantaranya, adalah dengan mempromosikan Muhammadiyah di berbagai forum dunia, mendorong pendirian PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negera, mendorong kerjasama luar negeri bagi berbagai amal usaha Muhammadiyah, mengirimkan kader-kader Muhammadiyah untuk sekaloh di luar negeri. Selain itu, Muhammadiyah juga terlibat aktif dalam penciptaan perdamaian di Thailand selatan dan juga memberikan beasiswa kepada pelajar dari negeri itu untuk melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia. Langkah-langkah ini tentu perlu dilanjutkan oleh ketua umum Muhammadiyah yang akan datang jika Muhammadiyah tak ingin hanya dipengaruhi oleh dunia global, tapi juga ikut menentukan arah dunia.
Ahmad Najib Burhani, PhD, Peneliti LIPI dan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2015