Oleh: Muhammad Ridha Basri
Cakrawala terbentang ke manapun mata memandang. Dari balik mega-mega di ufuk barat, matahari bergerak perlahan masuk ke perut bumi. Arak-arakan awan sesekali menghalangi pesona senja kemerah-merahan. Ini pertama kalinya saya menikmati senja di tengah laut lepas. Kami sedang berada di bagan milik Kampung Warmon Kokoda. Ada Anang Trioso, Fathur, Andi, dan Yudi dari LP3M Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong. Syamsuddin, Daeng, dan Maulana sebagai sawi. Ditambah saya dan Indra yang bertugas meliput nominator Muhammadiyah Award 2019 di Indonesia Timur.
Setelah matahari tenggelam, kami turun ke lomboat yang diikat di timur bagan, bersiap kembali ke Kampung Warmon Kokoda, Distrik Mayamuk, Sorong, Papua Barat. Tidak mudah berjalan di atas rangka kayu yang mengitari bagan. Tak mudah juga turun mencapai lomboat yang terus bergoyang diterpa angin dan arus air. Bagan berbentuk semacam rumah perahu, tempat menangkap ikan di laut yang menggunakan cadik untuk peletak jala yang dibenamkan, dilengkapi dengan lampu agar ikan mendekat.
Para sawi bergantian datang ke bagan ini setiap malam. Bagan yang dikelola Badan Usaha Milik Desa ini berkonstribusi pada keberdayaan warga, selain usaha peternakan ayam. Hasil keuntungan bagan sepertiganya digunakan untuk biaya operasional, sepertiga untuk upah sawi, dan sepertiga sisanya sebagai keuntungan yang masuk ke kas BUMDes. “Ke depan, kita berencana mengadakan Pasar Desa untuk penjualan hasil ikan dari bagan. Saya sudah lihat potensinya. Insyaallah ke depan kita adakan itu melalui dana BUMDes,” tutur Ari Syamsuddin Namugur (30 tahun), Kepala Kampung.
Mesin lomboat mulai berderu membelah laut menuju daratan. Terpaan angin malam dan percik air membuat suasana begitu meneduhkan. Menjelang bibir muara, Daeng yang bertugas di bagian mesin perahu kayu ini memelankan kecepatan. Di bagian depan, Maulana awas melihat sekeliling. Kiri-kanan diamati dengan seksama. Kami memasuki sungai lebar yang terbilang liar. Perlahan, lomboat sepanjang delapan meter dan menggunakan mesin tempel berkapasitas 40 PK ini merangsek ke sungai rawa-rawa.
Selubung hitam semakin pekat ketika kami marangsek ke tengah hutan. Lebar sungai di sana sini menyempit. Daeng dengan cekatan mengangkat mesin ketika melewati kawasan yang dipenuhi sampah dahan kayu. Maulana yang berdiri di depan terus memberi aba-aba. Berulang kali terdengar teriakan: awas kepala! belok kiri! pelan! angkat mesin! mundur!.. Dua kru bagan ini telah terbiasa. Tidak tampak raut kecemasan setiap tiba-tiba mesin lomboat mati karena kemasukan sampah, atau ketika ujung depan lomboat menabrak bakau.
Kami yang duduk di lambung perahu diminta menyalakan senter gawai. Semua senter yang menghasilkan cahaya remang itu diarahkan ke depan, kiri, dan kanan. Sawi tidak membawa senter karena kami berangkat siang dan diperkirakan sudah kembali di sore hari. Ternyata, kami singgah di Kampung Pulau Arar, salah satu binaan Unimuda dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, dalam program budidaya rumput laut bagi kelompok mama–mama, tidak semua Muslim. Kelompok laki-laki dibelikan perahu oleh Lazismu.
Di kampung Arar seluas 40 hektar di tengah laut ini, hanya terdapat empat sekolah. Satu SD Inpres Negeri, dan tiga sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah: TK ABA, SMP dan SMA Labschool Unimuda. Sekolah inilah yang berkonstribusi mencerdaskan 200-an Kepala Keluarga di kampung yang dicanangkan mantan Bupati Sorong, Stepanus Malak, sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Umat Beragama dan Suku di Papua Barat. Di kampung ini berbaur suku Moi, suku Biak-Numfor, dan lainnya. Di desa ini terdapat Masjid An-Nur dan Gereja Immanuel yang dibangun umat Islam.
Sembari menikmati perjalanan, sesekali saya bertanya tentang banyak hal. “Inilah sungai Amazon Papua, Mas Ribas,” kata Syamsuddin melihat saya antusias bercampur cemas. Di beberapa tempat, kunang-kunang berseliweran. “Terakhir saya melihat kunang-kunang di masa kecil,” kata Indra yang lahir di Palembang dan kini menetap di Malang. Loamboat terus melaju dan beberapa kali terguncang ketika menabrak pepohonan yang beragam jenis. Lomboat berbahan kayu ini cukup tahan menghadapi berbagai rintangan.
Setelah satu jam perjalanan, kami tiba di jembatan jalan kampung, tempat mobil Ford Everest 4WD milik Unimuda terparkir. Siang tadi, banyak anak-anak yang sedang riang mandi di sungai pinggiran jalan berbatu ini. Airnya kuning kecoklatan dan berminyak. Kata salah satu warga, “Ini minyak bumi yang dimiliki Papua.” Begitu kami keluar lomboat, hujan turun. Saya tak bisa membayangkan jika hujan menderas ketika kami masih di sungai. Tak ada persinggahan dan tempat berteduh, selain hutan dengan segala risikonya.
Dalam perjalanan, sawi dan kepala kampung bercerita tentang sungai yang baru saja kami lewati. Ternyata, beberapa kali sempat ada buaya yang mendekat. “Selama kita tidak mengganggu, buaya tidak akan menyerang,” tutur Daeng. Kata Maulana, “Saat senter disorot, mata buaya seperti mata kucing menyala kena lampu.” Buaya-buaya itu, kata Syamsuddin, bisa dipanggil dengan bahasa Suku Moi. Hidup di alam liar harus saling menghargai dan berbagi. Syamsuddin mengaku bisa melakukan ritual berkomunikasi dengan buaya.
Hujan semakin deras dan membuat banyak genangan di badan jalan bergelombang ini. Beruntung, double gardan Unimuda tangguh di semua medan. Sekitar tiga puluh menit, kami yang berdesakan di mobil, sampai di Kampung Warmon Kokoda. Di kampung inilah menetap kaum nomaden yang dulu terusir karena proyek pembangunan bandara Domine Eduard Osok. Bandara DEO kini menjadi yang terbesar dan tersibuk di Semenanjung Kepala Burung. Lalu lalang turis ke destinasi Raja Ampat melalui bandara ini.
Warga Kokoda yang papa dan terusir ini diadvokasi Muhammadiyah dan Unimuda. Karena dedikasinya, Unimuda Sorong yang 75 persen mahasiswanya non-Muslim ini diganjar peringkat pertama perguruan tinggi berbasis kinerja pengabdian masyarakat di empat provinsi Indonesia Timur, tahun 2019. Kampus Muhammadiyah ini berdiri di kawasan hutan. Menariknya, kampus ini hanya punya satu satpam, yang berjaga empat jam sehari. “Warga Papua merasa memiliki dan menjaga Unimuda. Jadi tidak perlu ada satpam,” kata Fathur.
Kampus ini menempatkan masyarakat Papua sesuai kearifan setempat. Pendidikan dilakukan dengan riang gembira, tidak dengan menakut-nakuti. “Pernah ada mahasiswa yang tidak bisa baca, kita bimbing lagi,” cerita Fathur. Hal ini karena sekolah di suatu desa hanya punya satu guru, sehingga tidak maksimal dalam proses belajar-mengajar. “Di sini, supaya mahasiswa mau bimbingan skripsi, dosen yang harus menelpon mahasiswa satu-persatu.” Kisah lainnya, kampus ini meluluskan mahasiswa yang menunggak biaya SPP. Setelah bekerja, mahasiswa datang melunasi kewajibannya.
Inilah Papua dengan semua kekhasannya. Menurut ketua LP3M Unimuda Anang Trioso, dulunya penguasa tanah di Sorong adalah suku Moi. “Suku Moi merupakan suku asli Papua pemilik tanah se-Sorong Raya, tipikal suku yang halus dan menerima orang luar. Tahun 1983, Soeharto mengadakan transmigrasi ke Papua. Tanah-tanah Suku Moi banyak diambil negara untuk dibagikan ke warga pendatang.” Beberapa suku asli Papua yang berjumlah sekitar 360 suku itu terbiasa nomaden.
Suku Papua asli jarang memiliki kelengkapan legalitas administrasi. Mereka bahkan tidak punya Akte Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk. Jalil, salah satu warga Kampung Warmon Kokoda bercerita tentang masa-masa ketika mereka sering terusir di tanah Papua. “Dulu, banyak orang Kokoda dipersepsikan sebagai kambing, yang mencari rumput dan dipindah atau diusir kapan saja. Biasanya kita ditaruh di suatu tempat, lalu tempat itu kita bersihkan dan mulai bangun kehidupan, tempat itu diambil alih pemerintah, lalu kita dipindahkan ke tempat lain,” kata Jalil, yang akrab disapa Pak Guru.
Suku Kokoda mulai berdatangan ke tanah yang kini menjadi kampung Warmon pada tahun 2000-an. Tahun 2004, penduduk semakin banyak. “Awalnya, kami datang ke sini untuk cari makan. Tebang sagu, manggul sagu, kami perjualbelikan ke pasar. Kami asalnya tinggal di Rufei. Karena pembangunan kota, kami digusur dan disuruh untuk cari tempat lain,” ujar Syamsuddin. Tahun 2007, kampung yang dulunya masih rawa-rawa dan sering banjir ini menjadi bagian RT 06 Kelurahan Makbusun.
Komunitas Kokoda Muslim ini awalnya hanya memiliki beberapa rumah panggung dan sebuah tempat ibadah berbentuk rumah panggung yang dinding dan atapnya dari gaba-gaba sagu. Masjid tersebut akan mudah roboh hanya dengan sekali tendang. “Adat leluhur kami di awal-awal mengenal Islam ya seperti itu,” ujar Syamsuddin. Suku Kokoda, kata Anang, merupakan suku asli Papua yang sudah menerima Islam sejak abad ke-17 atau 18 oleh karena kontak dagang dengan Sultan Tidore dari Maluku.
Menurut catatan Widjojo (2013), sultan-sultan di Maluku telah mulai menginjakkan kaki di wilayah barat Papua sejak abad ke-16. Pemerintah Hindia Belanda memberi pengakuan atas kekuasaan raja-raja yang diangkat oleh Sultan Tidore. Suku yang mulanya menganut animisme ini juga menerima kehadiran Kristen di kemudian hari. Zendeling pertama yang hadir di Papua adalah Carl Wihelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler, yang diutus Pendeta Gossner dari Jerman atas inisiasi Pendeta Ottho Gerhard Heldring dari Belanda.
Di satu keluarga Suku Kokoda, biasa ada Muslim dan Kristen yang hidup rukun. Bahkan tercermin sejak awal Sultan Tidore memberikan surat jalan kepada kedua penginjil itu. Dalam surat jalan itu, Sultan Tidore memerintahkan para kepala desa untuk memberi perlindungan dan memberi bantuan bahan makanan kepada Ottow dan Geissler (Kamma, 1981). “Sultan Tidore menyediakan kapal kepala dua misionaris Jerman untuk mengangkut mereka ke Pulau Mansinam, Manokwari. Dari sini, agama Kristen berkembang,” tutur Anang. Terutama bagi warga yang belum menganut agama, dipersilahkan memilih.
***
Rektor Unimuda, Rustamadji merupakan aktivis Muhammadiyah yang pertama masuk ke kampung ini, pada tahun 2006. Ia meninjau langsung dan terkejut dengan kondisi suku asli Papua yang terlunta-lunta. Sekembalinya dari kunjungan itu, Rustamadji mengadakan rapat dengan PDM Sorong dan langsung menghimpun dana pembangunan masjid. “Setelah membangun masjid, Pak Rustamadji dan Unimuda kasih masuk genset, lalu kasih masuk listrik. Setelah itu, dipikirkan untuk membangun sekolah,” cerita Syamsuddin.
Berselang waktu, ketua MPM PP Muhammadiyah saat itu, almarhum Said Tuhuleley datang. Said merasakan panggilan kemanusiaan. Sekembalinya dari Papua, Said membawa cerita pilu ini ke forum-forum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Said mengajak Rektor UM Malang membeli satu hektar tanah, lalu Unimuda dan UM Surakarta membeli satu hektar. Dua hektar tanah inilah yang menjadi cikal Kampung Warmon Kokoda.
Masuknya Muhammadiyah ke tempat itu sempat mendapat cibiran. Masyarakat pendatang kadung berasumsi negatif kepada suku asli. “Kami jawab, kita harus berusaha semaksimal mungkin, nanti Allah akan memberi hasil,” kata Rustamadji, peraih anugerah tokoh perubahan Republika tahun 2019. Ada banyak tantangan di awal membangun, “Kita angkut besi untuk pondasi bangunan, tiba-tiba mereka potong dan jual, meskipun tahu besi dan bangunan itu untuk mereka. Jadi, kita beli besi lagi dan bangun lagi.”
Setelah itu, Unimuda mengerahkan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Para mahasiswa datang ke rumah-rumah panggung untuk mengajak anak-anak mandi dan sekolah. Para mahasiswa membawa makanan dan mengajak anak-anak bernyanyi dan bersenang-senang. “Sambil bernyanyi, hafal surat-surat pendek, anak-anak diperbolehkan lompat ke sungai di sekitar rumah panggung mereka. Tidak masalah. Kami katakan pada anak-anak IMM: utamakan rayuan dibanding ancaman,” kata Rustamadji. Pesan ini menjadi penting supaya masyarakat lokal tidak tercerabut dari akarnya dengan dalih modernisasi.
Tahun berikutnya, dibangun Sekolah Dasar di Kampung Warmon Kokoda. Para mahasiswa IMM yang dulu mengajar di masjid, kini berpindah di gedung sekolah. Mantan aktivis IMM yang kini menjadi Kepala SD Labschool Unimuda, Bambang Irawan (24 tahun) menceritakan perjuangannya membersamai anak-anak sejak 2013. Penuh dinamika. Dalam perjalanan ke Kampung Warmon Kokoda, tim Unimuda singgah membeli makanan ringan. Saya baru paham kemudian bahwa makanan ini untuk dibagikan pada anak-anak agar belajar.
Di tahun 2019, sudah ada 53 siswa, kelas 1-6 SD. “Para siswa sekolahnya mood–mood-an. Kalau lagi rajin, pagi jam 7 sudah datang. Kalau sedang malas, jam 9 baru datang masih pakai sarung,” ujar Bambang. Dunia mereka adalah bermain dan tidak punya tradisi belajar formal. Saya melihat sendiri, anak-anak ini cukup aktif, ceria, dan jail pada teman-temannya. Ajang baku pukul kerap terjadi, namun mereka tidak saling membenci. Pulang sekolah, mereka mencari ikan di rawa atau sungai.
Sembari melakukan pendidikan ke anak-anak, MPM Muhammadiyah memberdayakan ekonomi warga. Kata Rustamadji, “Pak Said sangat perhatian pada Suku Kokoda. Beliau mengadakan pelatihan pertanian, peternakan, membeli kapal dua dan mesinnya dua. Pernah, mereka dikasih sapi, sapinya mati. Ternyata setelah ditelusuri, sapinya tidak dikasih minum. Kata mereka, kami pikir sapi tidak perlu dikasih minum.”
Setelah mengusahakan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi, Muhammadiyah mulai memikirkan nasib warga dalam hal akses dan status sosial. Warga Kokoda yang menjadi bagian RT dari desa yang dihuni warga pendatang ternyata menimbulkan disintegrasi. Jika dipaksakan, suku asli Papua yang belum berdaya ini tidak bisa mengimbangi kaum pendatang yang berpendidikan. Mereka menginginkan desa tersendiri yang dibangun dengan irama berbeda. Muhammadiyah membantu keseluruhan administrasi pengajuan pembentukan desa.
Pada 12 Desember 2015, desa ini lahir secara definitif dan Syamsuddin dilantik menjadi kepala kampung. Syamsuddin dipilih secara aklamasi karena pernah mengenyam pendidikan di Jawa dan dianggap bisa membawa masyarakat menjadi maju. Muhammadiyah senantiasa membimbing dan mendampingi Syamsuddin. MPM membelikan motor untuk digunakan kepala kampung, kata Sekretaris MPM PP Muhammadiyah Bachtiar Dwi Kurniawan.
Ayah Syamsuddin, almarhum Zakaria Namugur, lebih dulu menjadi tokoh masyarakat. Syamsuddin yang berlatar belakang aktivis NU di Jawa Timur, sempat menentang keinginan ayahnya bekerjasama dengan Muhammadiyah. “Mengapa harus Muhammadiyah. Kata ayah saya, ‘Nak, saya membawa Muhammadiyah untuk masa depan kamu, masa depan anak cucu. Jangan sampai anak dan cucu kami mengalami ketimpangan pendidikan sebagaimana saya alami dan ayah saya. Cukup saya dan ayah saya.’ Saya mencerna kalimat itu, dan betul.”
Suku asli Papua membutuhkan kehadiran Muhammadiyah dengan misi pendidikannya. Syamsuddin merasakan ketimpangan akses pendidikan di Papua. “Dulu, guru-guru penginjil datang. Anak-anak belajar di SD dan sebelum lulus, ada yang dibaptis dulu baru mendapat ijazah dan diangkat PNS,” ujar Syamsuddin. Para zendeling dan misionaris melakukan pengajaran ke anak-anak Papua melalui pembukaan sekolah. Tahun 1856 berdiri sekolah dasar pertama di Mansinam. Pada 1897, para zendeling telah membuka tujuh sekolah, yang dinamakan Sekolah Pengadaban.
Muhammadiyah menawarkan alternatif yang tidak konfrontatif. “Dengan Muhammadiyah, maka pendidikan akan diperhatikan dan anak-anak bisa punya masa depan. Saya pun mantap dengan Muhammadiyah.” Muhammadiyah juga memikirkan tentang rumah bagi warga. Muhammadiyah menyiapkan semua dokumen dan proposal untuk pengadaan perumahan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Februari 2016, perumahan mulai dibangun. Kampung Warmon Kokoda yang dihuni 157 KK ini sudah memiliki 58 rumah dengan status administrasi yang jelas, tak lagi was-was disuruh pindah.
“Sejak saat itu, saya giat membangun desa ini dengan sistem Muhammadiyah. Januari 2017, di hadapan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir dan Ketua Umum Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, saya deklarasikan kampung ini sebagai Kampung Muhammadiyah. Ini menjadi satu-satunya kampung Muhammadiyah di dunia. Kami istiqamah dengan Muhammadiyah. Ke depan, kami akan selalu bersama-sama,” ujar Syamsuddin.
Di mata masyarakat, Syamsuddin dinilai sebagai pemimpin yang berpendidikan dan berjejaring luas. Syamsuddin mampu mengelola dengan baik masyarakat asli Papua yang tidak mudah diatur, kata sebagian orang. Keberhasilannya diukur dengan standar setempat. “Jika kita dibilang rajin kalau bangun jam 4 pagi, mereka bangun jam 8 atau jam 9 ya termasuk rajin,” tutur Rustamadji, yang sudah lebih dari 48 tahun di tanah Papua.
Sejak tahun 2016, karena kelengkapan administrasinya, kampung yang berumur jagung itu sudah bisa mengakses dana desa. Pendamping Kampung, Vina, menyebut bahwa kampung ini telah berhasil mengelola dana desa dengan baik dan produktif. Di banyak desa lainnya, gelontoran dana digunakan untuk foya-foya dan hal sia-sia. Bahkan untuk diajak berembuk dengan pendamping kampung saja tidak mudah. “Kita harus datang ke rumah memanggil satu-persatu. Kampung ini sedikit berbeda,” kata Vina.
Pada 9 November 2019, Vina mengadakan musyawarah kampung dengan masyarakat Warmon Kokoda guna menyusun program dan rencana anggaran tahun 2020. Di antara programnya adalah pengadaan air bersih, pengerasan jalan, peningkatan kualitas kesehatan perempuan dan anak, hingga pelatihan nelayan. Musyawarah yang berlangsung di depan rumah kepala kampung ini diawali lagu Indonesia Raya. Rapat berlangsung dengan nada suara yang terdengar keras, tapi bukan berarti marah, justru banyak mengundang lucu. Beginilah karakter warga Warmon Kokoda, suku asli Papua dengan genetika fisik yang berbeda dengan populasi Austronesia lainnya.