Cerpen Gofur Alkendali
Usianya 35 tahun tapi belum menikah, orang menyebutnya perawan tua, tidak laku bagi laki-laki untuk dinikahi. Itulah Halimah, adik iparku, anak bungsu dari empat bersaudara. Selain lupa akan usianya yang makin bertambah, Halimah juga tidak sadar kalau dirinya tidak cantik. Meski suka dandan dan bersolek agar wajahnya cantik, tetap saja tidak menarik. Tubuhnya cundak (culun gak ada sepundak, pinjam istilah anak ABG), kulitnya tidak bersih, tidak sedap dipandang tiap lelaki.
Kekurangsempurnaan fisik Halimah dilengkapi dengan karakternya yang menyebalkan, tidak enak diajak bicara, suka memotong pembicaraan orang, dan ngeyelan. Ketika dikasih nasihat selalu membantah. Dia bukan tipe wanita penurut, hatinya keras, sulit ditaklukkan, dan maunya menang sendiri. Kalau merasa terpojok dan sulit memberi argumen dalam sebuah pembicaraan dengan saudara-saudaranya, ia memilih lari ke kamarnya, membanting pintu, menangis tersedu sambil memeluk bantal. Maka agar Halimah terhindar dari menangis kami harus mengalah.
Sejelek apapun, Halimah tetap adik ipar saya. Seorang adik yang harus kami sayangi, lindungi, dan kasihi sepenuh hati. Terlebih sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, batin Halimah terasa kering, tak ada embun penyejuk menetes di relung hatinya, kasih sayang seorang ibu telah hilang. Dan untuk menemukan kembali belaian jiwanya, kami berempat memosisikan diri sebagai pengganti ibu, tempat curahan kasih sayang Halimah.
Memasuki usia ke-36 tahun, kami sepakat mencarikan jodoh buat Halimah. Seorang laki-laki yang diharapkan mampu membimbing dan membahagiakan Halimah lahir dan batin. Tetapi untuk memburu dan menemukan laki-laki yang akan kami sandingkan dengan Halimah, kami harus tahu dulu, apakah adik iparku ada niat untuk membangun mahligai rumah tangga. Dan adakah lakilaki yang bersedia menerima adikku sebagai istri dengan segala kekurangannya, laki-laki yang mampu melunakkan hati Halimah yang begitu keras, mengubahnya menjadi pendengar yang baik, dan yang paling penting, Halimah menjadi istri shalihah.
Apakah Halimah punya pacar? Jujur saja, kami tidak tahu, siapa lelaki pujaan hatinya, karena selama ini setahu kami dia tidak punya pacar. Kami tidak pernah melihat Halimah jalan bareng dengan laki-laki, karena setiap laki-laki merasa enggan dekat dengannya. Kalau ada laki-laki yang berani dekat dengannya, itu hanya sebatas urusan sembako yang sudah sepuluh tahun ini digeluti Halimah, profesi pedagang yang membuat dirinya lupa kawin.
Seperti biasa pada setiap akhir pekan kami sekeluarga ke rumah bapak mertua, kakek dari dua anakku, dan kakek dari anak-anak kakak iparku, untuk silaturrahmi.
“Imah, apa kamu tidak ingin berumah tangga?“ tanya mas Pur ketika suasana cukup mendukung, setelah adik-adiknya pulang.
“Maksud mas Pur, menikah?“ Halimah malah bertanya.
“Iya,“ jawab mas Pur sambil menggeser kursi tempat duduknya.
“Pengen sih, pengen. Tapi apa ada cowok yang mau sama saya?“ kata Imah pesimis akan jodohnya.
“Kalau dik Imah punya niat nikah, kapan-kapan saya kenalkan dengan teman kantor.“
Wajah Imah sedikit sumringah atas tawaran mas Pur, ia akan dikenalkan dengan teman kantor, tempat kakaknya bekerja.
Untuk kesekian kalinya Halimah kembali berdandan, hampir satu jam mematut di depan cermin, mempercantik diri, tetapi hasilnya nihil. Imah tetap tidak cantik. Ia mencoba menipu cermin, agar bisa sedikit cantik, tetap gagal, karena cermin terlalu jujur.
Berbekal selembar foto dan profil Imah, kakak-kakak iparku mulai menjelajahi tempat kerjanya masing-masing. Mereka mendatangi tetangga dan mendekati beberapa teman di tempat mereka bekerja, menawarkan adiknya Imah, perawan tua agar segera dinikahinya.
Mas Pur tersenyum lebar, merasa puas atas pekerjaannya. Hanya jeda satu bulan, ia mampu mengalahkan adik-adiknya dalam memburu laki-laki untuk Imah. Saya dan ketiga kakak iparku gagal menangkap buruannya, laki-laki yang akan kami jodohkan dengan Imah menolak dengan berbagai macam alasan. Berbeda dengan mas Pur begitu cekatan, lihai menaklukkan buruannya, tiga laki-laki sekaligus. Mahmud, jejaka tua dan dua duda cerai, Arifin dan Ahmadi. Mereka siap menikahi Imah, melindungi dan membimbingnya. Apalagi si Mahmud kelihatannya terlalu bersemangat untuk mempersunting Halimah.
Tetapi sepekan kemudian, Arifin dan Ahmadi urung mempersunting Halimah. Kini satu-satunya harapan kami ada pada Mahmud yang masih konsisten ingin melamar Halimah.
Perhelatan silaturahmi yang melibatkan dua keluarga siap digelar. Ahad pukul sepuluh pagi keluarga Mahmud akan bertandang ke rumah bapak mertuaku. Ada harapan besar yang melintas di benak kami terhadap keluarga Mahmud. Ta’aruf kedua belah pihak akan membuahkan hasil, jenjang khitbah terhadap Imah segera dilewati dengan baik yang akhirnya pernikahan antara Mahmud dan adik iparku, Halimah, dapat berjalan dengan lancar. Itulah tahapan pernikahan yang kami harapkan. Namun, apabila khitbah tidak terlaksana, kami bisa menerima, tidak begitu masalah tentang lamaran. Kami justru mementingkan prosesi pernikahannya dapat terwujud, karena hal itu bisa membebaskan kami, terutama mas Pur yang telah menerima amanah dari bapak mencarikan jodoh untuk Halimah.
Seluruh anggota keluarga, anak, menantu dan cucucucu hadir di rumah mertua, tidak ada yang tertinggal. Ini hari istimewa buat kami, terutama mertuaku, yang tidak lama lagi akan menikahkan anak ragilnya sebagai kewajiban terakhir seorang bapak kepada anaknya.
Keperluan untuk menyambut calon besan sudah disiapkan dengan matang. Aneka makanan dan minuman sudah tertata dengan baik dan rapi. Ruang tamu tampak elok. Halaman rumah yang bersih dan asri didukung langit cerah menjadikan waktu menuju siang. Kehangatan matahari segera tergadai oleh panas.
Jam di pergelangan tanganku menunjuk pukul sepuluh kurang lima menit, itu artinya tamu yang kami tunggu-tunggu akan segera datang, tetapi sampai pukul sebelas siang orang yang kami harapkan belum nampak batang hidungnya. Mas Pur mulai gelisah, diambilnya HP dari saku celananya, jari telunjuknya menyentuh laman daftar kontak, ia sedang menghubungi seseorang, tapi kelihatanya gagal. Dicobanya sampai dua kali, tetapi tetap nihil. Kegelisahan mas Pur semakin tampak jelas dengan mondar-mandir di ruang tamu. Sebentar duduk, sebentar berdiri, sebentar masuk kamar bapak mertuaku sebentar keluar, kemudian menuju teras untuk menghirup udara segar. Diteguknya segelas air putih. Meski kerongkongannya terbasahi dengan air mineral, tapi belum mampu mententramkan hati seorang kakak tertua dalam keluarga kami. Pikiran mas Pur langsung merambah pada sosok Mahmud yang tak kunjung datang. Ia geram dengan manusia kurus itu, karena keluarganya belum kelihatan. Ada apa dengan mereka? Jangan-jangan ada sesuatu yang bisa membuat acara ini bisa gagal dan berantakan.
Ada nada dering di HP mas Pur, pertanda ada SMS masuk, dan dibacanya dengan seksama, “Saya dan keluarga mohon maaf tidak bisa datang pada perkenalan keluarga dan kami membatalkan semua yang berhubungan dengan pernikahan saya dengan Halimah.”
Kami dibuat kaget atas penjelasan mas Pur tentang SMS dari Mahmud, pembatalan ta’aruf dan lamaran sepihak oleh keluarga Mahmud membuat seluruh anggota keluarga marah. Kami geregetan dan terheran-heran dengan prilaku Mahmud yang begitu mudah menyepelekan niat mulia keluarga. Kami benar-benar merasa emosi, karena diremehkan atas pembatalan yang mendadak itu. Pupus sudah harapan kami menikahkan Halimah dengan Mahmud.
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Kami berbarengan keluar. Semua mata tertuju pada sebuah taksi putih susu. Penasaran, siapa gerangan yang mengusik kemarahan kami. Tampak Halimah keluar dari taksi menuntun seorang laki-laki menuju ke arah kami. Tetapi laki-laki itu bukan Mahmud, bukan Ahmadi, apalagi Arifin, sama sekali bukan. Bagi kami laki-laki itu asing. Matanya terbuka tetapi buta, tuna netra.
“Kenalkan, ini mas Syamsudin. Kami sudah saling mengenal dan kami saling mencintai. Insya Allah kami akan menikah,“ kata Imah di hadapan keluarga. Kami saling berpandangan. Diam dan tidak ada kata yang keluar dari mulut menanggapi perkataan Imah. Mas Pur yang biasanya banyak bicara, cuma diam.
“Mas Syamsudin ini matanya buta, akibat kecelakaan tabrak lari dua tahun lalu,“ ujar Imah pelan, namun jelas. Aku yang duduk di sudut ruang tamu terkejut atas penuturannya. Aku telah menyembunyikan dosa. Benturan mobilku dengan motornya ternyata telah memutuskan syaraf matanya, retinanya pecah. Aku telah merenggut kedua mata calon menantu mertuaku.
Kendal, Medio Desember 2014