Cerpen Sule Subaweh
Maryati mulai curiga dengan perilaku suaminya akhir-akhir ini. Maryono, suaminya kerap pergi setelah shalat Maghrib. Sehabis makan malam, dia hanya pamit keluar, tanpa bilang mau ke mana. Sudah tiga hari suaminya pulang malam. Saat Maryati bangun pagi, Maryono sudah terkapar di sampingnya.
Seperti biasa setelah shalat Subuh, Maryono sudah mengayuh becak. Parkir di depan terminal. Setibanya di rumah, ia menyempatkan diri bermain dengan anakanaknya. Jika sepi penumpang, dia lembur sampai malam. Mencari tambahan.
Maryono biasanya langsung menyerahkan hasil keringatnya kepada Maryati jika sedang ada rizki. Tapi jika lagi sepi, dia akan keluar lagi tanpa memberi uang. Dan, sudah tiga hari ini dia selalu memberikan nafkah yang lebih dari cukup. Yang membuat Maryati heran untuk apa suaminya keluar.
“Jangan-jangan.” Maryati menerka-nerka. Mengernyitkan dahi. Seperti menemukan jawaban dari kerisauannya.
“Tidak mungkin,” kilahnya mematahkan hasil perkiraan sendiri.
Seharian Maryati hanya dipenuhi kecurigaan tentang suaminya yang bertingkah aneh. Sebenarnya, Maryati bisa saja menanyakan saat suaminya memberikan uang hasil keringatnya. Tapi dia menyimpan firasat kurang baik. Jika apa yang dipikirkan ternyata benar. Dia takut terjadi pertengkaran yang akan didengar anak-anaknya.
—
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Maryati menunggu suaminya sambil nonton acara TV. Meskipun matanya tertuju ke layar TV, pikirannya terus dipenuhi kejanggalan tingkah suaminya.
Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Maryati semakin resah. Ketukan jam dinding mempersunting detak jantungnya. Sesekali dia hembuskan napas perlahan, seperti membuang pikiran-pikiran yang membuatnya semakin resah.
Dilihatnya jam dinding yang menempel di atas TV. Sudah tiga puluh menit berlalu. Dia semakin gelisah, memikirkan pertanyaan yang tidak membuat suaminya tersinggung.
“Sebentar lagi dia pulang,” gumamnya diikuti detak jantungnya yang semakin kencang. Tapi sudah sejam menanti, suaminya tak kunjung pulang. Bersama resah dan detak jarum jam yang seperti petronom itu perlahan membuatnya terlelap.
—
Paginya masih dengan sesal semalam, Maryati harus menerima kenyataan, tak didapati suaminya di tempat tidur. Biasanya, Maryati bangun lebih awal dari suaminya, selanjutnya bersih-bersih dan mempersiapkan sarapan. Karena tidur sampai larut malam, dia kesiangan. Tak ingin gagal untuk yang kedua kali, Maryati mematangkan rencana. Dia terus berpikir mencari cara agar tidak kecolongan seperti semalam.
Di teras rumah hasil bantuan gempa itu, Maryati duduk memikirkan cara yang efektif. Sesekali dia mondarmandir sambil melipat tangannya ke belakang. Pikirannya tergoncang, seperti goncangan gempa 2006 silam yang meluluhlantakkan kotanya. Setelah bosan mondar-mandir dia duduk sambil mendongakkan kepala ke langit-langit rumah.
Setelah berjam-jam tak menemukan cara, kembali jantung Maryati berdebar kencang. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Dua puluh tahun bersama, baru kali ini dia mengalami debaran yang begitu merisaukan. Dikenangnya masa silam, saat baru kenal hingga memutuskan untuk menikah. Lalu perjuangannya menyusun kembali rumah peninggalan orangtuanya yang runtuh karena gempa. Terkenang pula masa setelah gempa. Mereka harus menerima kenyataan dan harus mandiri setelah bapak ibu Maryati meninggal. Begitu pula dengan keluarga Maryono, meregang nyawa tertimbun pecahan tembok rumahnya.
Semenjak peristiwa gempa itu, Maryono menjadi pendiam dan rendah hati, suka merepotkan diri untuk membantu jika ada bencana. Pengalaman banyak mengajarkannya menjadi orang yang tabah dan pekerja keras. Jarang mengeluh dan peduli adalah sifat yang diam-diam ditiru dan dikagumi Maryati.
Nanar mata Maryati dipenuhi kenangan. Tapi tak berlangsung lama, kenangan masa silam itu lenyap seketika saat mengingat kembali tingkah suaminya penuh misterius itu. Kegelisahan itu muncul penuh emosi.
“Alarm.” Maryati mengangguk-anggukkan kepala. Lalu dengan cepat dia megambil handphone dari saku celananya, lantas mengatur alarm.
“Jika aku tidur lebih awal dan mengatur alarm jam sebelas, kemungkinan besar bisa memergokinya,” pikirnya diikuti senyum sinis.
Tepat jam sebelas, alarm itu membangunkan Maryati. Pandangannya tertuju ke samping tempat tidur. Maryono tidak ada. Setelah itu, dia melongo ke ruang TV, lalu ke dapur. Dirasa belum datang, kembali dia ke kamar. Tak lama, terdengar suara pintu terbuka. Lantas dengan sigap, Maryati membaringkan tubuh seolah-olah tidur. Detak jantungnya berdebar tertahan mengikuti irama langkah kaki suaminya yang baru saja datang.
Langkah kaki itu berhenti di depan TV. Tapi tidak dengan debaran Maryati. Semakin kencang. Tubuhnya kaku dilanda cemas. Tak lama, kaki itu kembali melangkah. Kali ini ke dapur, lalu tak terdengar lagi. Rumah mungil itu membuat segala bunyi gampang diterka keberadaannya oleh Maryati.
Setelah kaki itu kembali melangkah dan berhenti di tempat semula, depan TV. Langkah itu tak terdengar lagi. Dipikir aman, pelan-pelan Maryati membuka mata. Perlahan dia menggerakkan tubuhnya yang kaku, sesekali menoleh ke arah pintu.
Malam itu yang terdengar hanya riuh binatang malam. Tak lama Maryati terperanjat setelah mendengar uang receh tumpah dan menggelinding jauh dari tempat Maryano duduk. “Uang,” gumamnya penasaran. Tak lama setelah itu terdengar suara meja yang digeser suaminya. Mendengar suara riuh itu, pikiran Maryati tertuju ke anaknya yang sedang tidur.
“Semoga tidak bangun.” Gumamnya sambil mengeluselus dada.
Lama tak terdengar tanda-tanda kaki melangkah. Maryati putuskan untuk bangun menguntit dari lubang kunci. Penuh hati-hati dia langkahkan kaki. Lalu menempelkan matanya ke lubang kunci pintu.
“Uang,” serunya pada diri. Ia melihat suaminya menghitung, melipat uang. Seketika wajahnya berubah dengan sedikit senyum. Detak jantungnya berubah menjadi detak kagum pada suaminya. Terbayang sebuah kejutan yang dipersiapkan diam-diam oleh suaminya.
“Tapi apa ya? Ulang tahunku masih jauh. Tanggal pernikahan dan tanggal jadian juga masih lama. Kejutan apa ya yang sedang dipersiapkannya?” Maryati menerka-nerka.
“Apa mungkin! Ah… Hari ibu sudah lewat,” Maryati mematahkan terkaannya.
“Jangan-jangan uang itu untuk…!” Maryati tidak melanjutkan kalimatnya. Ada kebingungan dan sedikit kebahagiaan menempel di keningnya. Tapi dia putuskan menarik selimutnya kembali, tak ingin gegabah. Udara dingin tak dihiraukan, sebab rasa penasaran itu membuatnya semakin ingin mencari lebih jauh, alasan suaminya mengumpulkan uang.
Besoknya pada jam yang sama, Maryati kembali dihadapkan dengan peristiwa yang sama. Dengan rasa penasaran yang semakin menggila. “Jangan-jangan benar ada perempuan lain. Dia ingin men….” Kembali dia tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca. Dadanya kembang kempes.
Hari selanjutnya, tanpa pikir panjang Maryati diamdiam ke tempat biasa suaminya mangkal. Tangannya meremas erat diikuti langkah kaki cepat. Wajahnya tanpa senyum, pikiran tak karuan.
“Lihat Maryono tidak, Mas?” tanya Maryati pada Supri, sesama penarik becak.
“Tadi ngopi di warung sana.” Supri menunjuk ke arah warung remang dekat lampu Bangjo. Maryati bergegas menuju warung itu. Di sana tidak juga ditemukan suaminya. Hanya ada beberapa lelaki dan pelayan warung yang berpakaian ketat. Melihat gadis genit itu, emosi Maryati semakin tak terkendali. Dia bergegas ke tempat lain. Di jalan, pikirannya semakin gusar.
Merah saga mata Maryati. Nafasnya mendengus. Ditatapnya kerumunan warung remang seberang Bangjo. Jalan lengang, lampu bangjo merah. Maryati semakin mengencangkan langkah menuju warung itu, namun dia mendadak lemas tak berdaya. Pecahlah amarah dalam dada ketika melihat seseorang menghentak-hentakkan kricik di tangannya sambil menyanyikan lagu yang entah. Sebuah tulisan besar samar-samar terhalang tangan orang itu. Tak lama dia menghampiri pengendara motor, mobil dengan topi yang dipakainya. Dengan senyum diterimanya segala pemberian.
Perlahan Maryati mendekat. Selang beberapa langkah kedua tangannya menutup mulutnya. Buncahlah air mata, mengaliri pipi diikuti rintik hujan. Seluruh tubuhnya basah, bergetar melihat lelaki pujaan, penuh semangat menghentakkan kricik dengan kalung kertas bertuliskan “Ulurkan Tangan untuk Saudara Kita yang Membutuhkan”.
Lampu hijau menyala, bunyi klakson kendaraan memecah cakrawala. Maryati terpaku. Tubuhnya dibiarkan basah oleh hujan yang semakin deras.
Jejak Imaji UAD, Desember 2014
Sule Subaweh adalah nama pena dari Suliman. Cerpen dan artikelnya pernah dimuat di koran lokal dan media massa lainnya. Sekarang bekerja di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) sebagai humas. Aktif di komunitas Jejak Imaji