Cerpen Diko Ahmad Riza Primadi
Hembusan angin panas dan teriknya sinar matahari menantang langkah mungil para pengungsi. Besar, kecil, tua, muda, dewasa, anak-anak membaur membentuk sebuah konvoi besar untuk menuntut kembali tegaknya kemanusiaan yang telah lama hilang. Menggantungkan nasib kepada belaskasihan orang lain di negeri seberang, karena hanya itu yang dapat mereka lakukan.
Terusir dan terbungan dari kampung halaman merupakan sebuah kenyataan pahit yang datang tanpa syarat. Lari dari kematian dan akhirnya bertemu ketidakpastian di perantauan. Dunia ternyata tidak memiliki cukup tempat untuk penghuninya, khususnya para pengungsi yang tak lagi diakui oleh dunia. Saat mereka lari dari rumah, kediaman di mana mereka merajut harapan, para pengungsi justru tak lagi memiliki masa depan. Ketidakpastian di tempat-tempat penampungan menghabiskan impian mereka, sebagaimana persekusi, perang saudara, terorisme, dan ancaman pembunuhan telah memaksa mereka pergi dari tanah asal. Yang mereka temui saat mencoba menyelamatkan diri ternyata kebuntuan. Mereka sejatinya tidak pernah berniat pergi.
Di tengah kerumunan manusia
“Ibu, berapa jauh lagi kita harus berjalan untuk sampai ke perbatasan?,” tanya Abdullah salah seorang anak berusia enam tahun yang terlihat sangat letih, bibir kering, tenggorokan serak, tubuh lunglai tak berdaya melawan sengatan terik sinar matahari yang membakar, ditambah perjalanan panjang yang terasa tanpa ada ujungnya. Menahan rasa lapar karena kehabisan bahan makanan, mulai menjalarnya penyakit kulit disebabkan tidak tersedianya air bersih sepanjang perjalanan, kondisi kejiwaan anak-anak yang mulai kritis dihantam permasalahan yang sebenarnya belum siap mereka hadapi merupakan kepahitan yang harus mereka hadapi untuk bertahan hidup. Mereka sangat berharap perang segera berakhir dan bisa memulai kehidupan baru bersama anggota keluarga yang tersisa.
Sejenak ibu masih terdiam tanpa kata, lebih sibuk untuk mencurahkan perhatian kepada anak paling kecil yang masih menangis dalam pelukan. Sebagai anak yang paling dewasa ia masih menerka-nerka dan tak tahu pasti apa penyebab adiknya terus menangis. Mungkin lapar adalah penyebabnya. Didera kelaparan merupakan ujian terberat bagi para korban perang yang tak berkesudahan.
Perut Abdullah sudah tak lagi bisa diajak berkompromi. Sang ibu tetep sibuk dengan pekerjaannya menenangkan tangis sang adik yang sedari tadi tak berhenti. Walaupun suara perutnya terdengar cukup keras, tetap saja sang ibu diam dan mencurahkan perhatiaannya kepada sang adik. Dalam hati, ia mencoba untuk berlapang dada dengan sikap sang ibu yang seolah menelantarkan dan membiarkannya. Sudah genap dua hari mereka tidak makan dan minum. Terabaikan dan tak ada satu pun orang yang peduli. Mereka sudah lupa bagaimana cara mengasihani diri sendiri di tengah gurun pasir kematian. Berharap tanpa ada kepastian merupakan hal yang sangat sering dirasakan oleh mereka yang telah dilupakan oleh kepentingan. “Ibu, apakah dunia sekejam ini?!” ujurnya dengan penuh kekesalan.
Secara tiba-tiba air mata ibu keluar yang sedari tadi tidak ia sadari. Perasaannya mulai tak karuan melihat sang ibu yang seolah merasa bersalah, “maafkan ibu nak” kata maaf dibalut tetesan air mata terlontar begitu saja.
Tidak yakin dengan apa yang telah ia lakukan kepada sang ibu, ia kembali mengucap permintaan maaf didasari perasaan menyesal yang mendalam, “Abdullah tidak apa-apa ibu!,” mencoba untuk menenangkan suasana.
“Ibu tak tahu lagi, apa yang harus kita lakukan. Besabarlah sebentar ya nak!”, sang ibu mengelus kepala Abdullah dan tidak beberapa lama disusul pelukan hangat.
Setelah tiga hari berjalan
Malam telah menyelimuti Kota Antakya. Kota ini telah menyimpan kisah panjang tentang nestapa hidup puluhan sampai ratusan ribu pengungsi asal Suriah. Sejak pertama kali meletus perang Suriah, jutaan jiwa melintas garis perbatasan, melarikan diri dari kekejaman konflik di Idlib, Aleppo.
Tak jauh dari tempat Abdullah dan ribuan pengungsi lain berdiri tampak menara pengawas perbatasan berdiri kokoh dengan lampu sorot mengintai tajam siapa yang mencoba masuk secara ilegal. Membuat ciut nyali setiap pengungsi yang datang mengharapkan bantuan dan rasa aman.
“Ibu, apakah kita diperbolehkan masuk?” dengan nada sedikit cemas Abdullah bertanya kepada ibunya.
“Jangan takut nak, semuanya akan baik-baik saja” ibu mencoba menenangkan suasana.
Beberapa orang penjaga perbatasan berperawakan tinggi besar datang menghampiri dan mengintrogasi seluruh pengungsi satu per satu. Dengan nada sedikit keras dan kasar mengintruksikan kepada seluruh pengungsi untuk berbaris rapi sembari menunggu antrian masuk gerbang perbatasan yang menjadi pemisah antara Turki dan Suriah.
Dua orang penjaga bersenjata lengkap, menenteng senapan serbu StG 44 Sturmgewehr berlari menyisir ke belakang untuk memastikan tidak ada ancaman. Dengan segala kesigapan keduanya melesat cepat. Mengintai dan meneror siapa saja yang dicurigai akan mengganggu keamanan wilayah perbatasan.
Abdullah berjalan setapak demi setapak dalam kondisi yang tertatih-tatih di depan sang ibu dan sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa keluarga kecil yang sangat ia cintai itu tidak tertinggal oleh barisan. Suasana sangat sunyi sebagaimana hati ribuan pengungsi yang datang, hampa dan kosong dihantam nasib yang sama sekali tidak memihak kepada mereka. Hanya terdengar suara langkah kaki tanpa alas yang tersaruk pasir. Berada di perbatasan tak ada satu pun yang dapat mereka keluhkan karena semuanya bernasib sama, sama-sama kehilangan keluarga, tempat tinggal, harapan dan cita-cita. Mengeluh adalah aib bagi mereka, bagaimana dengan kita?
Dengan posisi tubuh agak membungkuk, tangan kiri Abdullah mencoba merogoh saku celana coklat kumal berharap menyimpan uang receh yang dapat ia gunakan untuk membeli makanan. Sedangkan tangan kanannya memegangi perut, membucuknya untuk bertahan.
Di kantong mungil celananya, tak ada satu pun sesuatu yang dapat Abdullah temukan. Kosong. Ia terus berjalan menuju gerbang perbatasan yang disesaki oleh pengungsi lain yang telah lebih dahulu sampai. Setelah sampai dimulut gerbang dan diperiksa oleh penjaga perbatasan. Abdullah langsung melepas baju satu-satunya yang ia bawa dalam pelarian.
“Saya sangat lapar paman, berikan saya makanan”, mintanya sambil mengulurkan baju yang telah ia lepas. Berharap dapat menukarnya dengan makanan.
Sambil tersenyum salah seorang pria dewasa yang berdiri dihadapanya merogoh rompi tebalnya.
“Ambil dan makanlah nak, hanya ini yang masih tersisa”, dari tangan kanannya pria tersebut mengulurkan sebuah roti dan tangan kirinya menahan tangan Abdullah. Mengisyaratkan untuk memakai kembali baju yang telah ia lepas.
Pria tersebut mengambil posisi jongkok untuk mesejajarkan tubuhnya dengan tinggi Abdullah. “Dimana ayahmu nak”
Dengan kepala menunduk dan berlinang air mata ia menjawab, “Ayah berada di tempat yang sangat jauh paman.”