Kehidupan di dunia ini banyak warna. Tidak sedikit orang menghadapi kesulitan, masalah, dan derita dalam hidupnya. Bahkan, tentu setiap orang pernah merasakan musibah, sekecil apapun, sesuatu yang tidak diinginkan dan dirasakan sakit lahir maupun batin. Kematian termasuk musibah yang paling berat, yang tentu saja bagi orang beriman merupakan peristiwa yang harus diimani sebagai ajal yang dipastikan Allah hadir kepada siapapun, yang betapapun beratnya harus diterima dengan sabar dan tawakal.
Ketika berhadapan dengan orang-orang yang menghadapi masalah dan musibah, setiap Muslim harus mau berbagi empati. Bagaimana menunjukkan simpati dan kepedulian dengan merasakan betapa kalau diri kita mengalami hal yang sama akan terasa sakit dan tidak nyaman. Ketika kita kaya dan menyaksikan saudara kita miskin, maka berempatilah betapa menderitanya menjadi miskin. Dengan sikap empati itu maka menjadi kaya atau berkemampuan apapun lantas tidak akan sombong diri, sebaliknya menjadi rendah hati dan peduli terhadap sesama.
Sikap empati dalam Islam merupakan pantulan dari jiwa pemurah atau dermawan. Dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan, bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah (HR Bukhari dan Muslim). Dalam Hadits lain disabdakan, yang artinya “Allah akan melindungi para hamba, manakala para hamba itu melindungi sesamanya.” Dalam Hadits lain yang sangat populer juga disebutkan, bahwa ciri seorang Muslim ialah ketika mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya. Sikap pemurah itu menumbuhkan empati. Setiap Muslim agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya dan tumbuh rasa solidaritas sosialnya.
Ajaran tentang ta’awun juga menumbuhkan empati. Ta’awun ialah sikap suka menolong atau berkerjasama dengan orang lain dalam hal kebajikan. Allah berfirman yang artinya, “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Qs Al-Maidah: 2). Ajaran ini sangat mulia karena setiap Muslim diajarkan untuk mau berta’awun dengan siapapun dalam hal-hal yang baik, sebaliknya jangan bekerjasama dalam segala keburukan.
Sikap empati akan melahirkan altruisme, yakni suka membantu dan bersetiakawan dengan sesama. Kini, semakin tampak kecenderungan orang untuk hidup bernafsi-nafsi atau serba egois. Orang hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri dan tak peduli dengan orang lain. Orang egois hanya cinta diri dan kepentingannya serta tidak tergerak hatinya untuk peduli terhadap nasib orang lain. Jangankan terhadap orang lain, bahkan terhadap sanak saudaranya pun tidak peduli. Hal yang dipikirkannya ialah dirinya, bila perlu demi diri tega mengorbankan atau merugikan orang lain.
Lihatlah di jalan raya. Semakin banyak perangai orang egois. Demi kepentingannya menyalib, menyerempet, dan bila perlu melanggar rambu-rambu lalulintas tanpa rasa sungkan. Jalan raya menjadi tempat rawan kecelakaan karena ulah para pengendara yang egois dengan berperilaku ugal-ugalan. Nyawa orang tidak peduli. Jika ada orang tertimpa kecelakaan pun orang cenderung menghindar dan tidak mau menolong karena dianggap ribet urusannya. Jalan raya menjadi miniatur manusia hidup dalam egoisme yang sesungguhnya dan kehilangan empati.
Maka, teladanilah Rasul akhir zaman, Muhammad saw yang seluruh hayatnya menjadi uswah hasanah dalam berempati terhadap sesama. Rasul menghormati orang kaya dan berkemampuan, sekaligus mencintai mereka yang dhu’afa agar keduanya saling berbagi empati. Mereka yang diberi anugerah pun patut empati terhadap saudaranya yang tengah dirundung masalah untuk meringankan bebannya. Empati, sungguh mutiara hidup yang penuh makna bagi setiap Muslim yang pemurah. (A Nuha)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 10 tahun 2015