Muhammad Yuanda Zara
Di dalam buku Muhammadiyah dalam Sorotan yang dieditori Usman Yatim dan Almisar Hamid (terbit tahun 1993), ada sebuah tulisan yang membandingkan antara bagaimana warga NU dan warga Muhammadiyah membiayai muktamar masing-masing. Dikatakan bahwa NU membiayai muktamarnya dengan menyumbangkan barang kebutuhan sehari-hari, umpamanya kelapa, beras, ayam, bebek atau kambing. Ini ada kaitannya dengan latar belakang warga NU yang umumnya berasal dari desa. Sumbangan ini sangat berbeda dengan Muhammadiyah yang bentuknya adalah uang dalam jumlah besar. Ini tidaklah mengherankan karena donaturnya adalah para anggota Muhammadiyah yang berlatar belakang elite dan urban, mulai dari pegawai negeri/swasta, birokrat dan pengusaha.
Namun, mengontraskan secara frontal semacam itu sebenarnya tidaklah tepat. Dalam kenyataannya, Muktamar Muhammadiyah tidak hanya disokong oleh bantuan dalam bentuk uang. Ada kalanya Muktamar Muhammadiyah ‘dibanjiri’ oleh bantuan dalam bentuk barang atau komoditas yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh peserta muktamar tanpa perlu dipertukarkan terlebih dahulu.
Contoh yang mencolok adalah pada Muktamar Muhammadiyah ke-28 yang diadakan pada tanggal 19-25 Juli 1939 di Medan, Sumatra Timur (kini Sumatra Utara). Meskipun sebelum kongres panitia lokal khawatir dengan bayangan akan beratnya pelaksanaan kongres di sebuah kota yang jaraknya ribuan kilometer dari pusat Muhammadiyah, nyatanya kongres ini sukses besar.
“Berlimpah-limpah manoesia jang datang ke Medan dari pelosok Sumatra,” kenang seorang saksi mata tentang pesertanya. Ada 7000 undangan yang disebar, sementara dalam openbaar (rapat umum) pertama di acara kongres dihadiri oleh tak kurang 10.000 orang.
Sambutan positif datang dari berbagai pihak di sana, mulai dari Sultan Langkat, Mayor Tionghoa di Medan hingga Residen Sumatra Timur. Salah satu keputusan krusial dari Sidang Tanwir di kongres ini adalah diresmikannya penggunaan kata ‘Indonesia’ sebagai pengganti istilah ‘Hindia Belanda.’ Yang tak kalah penting adalah bahwa kongres itu berhasil mematahkan prasangka yang eksis waktu itu bahwa Muhammadiyah, sebagai kaum muda, adalah musuhnya kerajaan-kerajaan di Tanah Deli. Nyatanya, para bangsawan ini turut menyokong kongres tersebut.
Uang tunai dan bantuan lain yang diperoleh Muhammadiyah mampu menutup biaya pelaksanaan kongres ini. Bahkan sisanya cukup banyak, yang salah satunya dipakai untuk membeli mesin tulis (mesin ketik) yang akan dipakai di kantor pusat Muhammadiyah di Yogyakarta.
Tapi tak semua sokongan itu datang dalam bentuk uang. Barang yang datang luar biasa banyak. Dalam pandangan Muhammadiyah kala itu, kongres tersebut bukan hanya dari dan untuk Muhammadiyah saja, tapi juga untuk umat Islam secara umum. Maka, Muhammadiyah membuka komunikasi dan pendekatan dengan berbagai pihak, baik masyarakat umum maupun para penguasa lokal. Kontribusi dan bantuan dalam berbagai bentuk pun mengalir ke panitia kongres.
Ada beberapa jenis bantuan non-uang yang diperoleh Muhammadiyah kala itu. Pertama, tempat untuk tempat menginap tamu. Penginapan di Medan tidaklah banyak, maka akomodasi tamu adalah persoalan besar bagi panitia kongres. Guna mengatasi problem ini, warga Muhammadiyah maupun warga yang saudaranya berafiliasi dengan Muhammadiyah, bahkan warga biasa yang semata bersimpati dengan kongres itu, menjadikan rumah-rumah mereka sebagai pondokan sementara bagi para tamu dari luar Medan. Ramainya tamu membuat hampir semua bagian rumah terisi, mulai dari beranda, ruang tengah, kamar hingga dapur.
Di sisi lain, panitia kongres juga meminjam gedung dari berbagai organisasi dan sekolah di Medan. Sebagian besar, mulai dari Taman Siswa, Modern Islamic School, Josua Instituut hingga Industrieschool, mengizinkan gedungnya dipakai sebagai tempat menginap para tamu.
Kedua, bahan makanan. Konsumsi untuk ribuan orang selama sepekan adalah hal yang tidak bisa diabaikan selama kongres itu. Maka, tak heran bila sebagian donatur kongres lebih memilih menyumbangkan barang kebutuhan pokok yang bisa segera diolah dan disajikan untuk tamu.
Dari Muhammadiyah Aceh, misalnya, datang bantuan sebanyak 700 kg beras. Bantuan atas nama pribadi juga sangat banyak. Jumlahnya beragam, ada yang hanya menyumbang satu pak garam, ada pula yang memberikan dua ekor ayam, ada juga yang menyumbang 100 butir telur, dan ada pula yang membantu dengan satu ekor sapi. Untuk bahan memasak, ada yang memberi minyak manis, bawang dan garam. Kelapa yang datang ratusan butir jumlahnya. Untuk minuman, ada yang menyumbang teh, kopi, susu, dan gula. Teuku Panglima Polim asal Aceh menyumbangkan satu ekor kerbau. Hamka, yang kala itu sibuk mengurus kongres, dan keluarganya turut menyumbang seekor kambing dan 100 butir kelapa.
Bahan makanan ini diolah di dapur umum, dan dipersembahkan untuk konsumsi para tamu. Maka, di saat waktunya makan, tamu bersegera ke dapur umum untuk mengisi perut. Salah satu menu andalan kongres ini adalah gulai. Ini tidaklah mengherankan mengingat gulai adalah kuliner khas Sumatra, khususnya Medan, dan salah satu sumbangan terbesar untuk kongres tersebut adalah kelapa.
Ketiga, beraneka ragam kelengkapan para peserta kongres. Ada beberapa sumbangan penting yang bermanfaat bagi para peserta kongres. Pertama, Kitab Suci Al-Qur’an. Kedua, kain sarung merk Tjap Padi dan Mimbar Mas. Berkodi-kodi Al-Qur’an dan sarung diterima oleh panitia kongres. Ada juga yang mendonasikan obat-obatan untuk pemeliharaan kesehatan peserta. Salah seorang dermawan memberikan satu kereta angin alias sepeda. Untuk kebersihan, beberapa donatur menyumbangkan sabun. Sembilan puluh bantal disumbangkan oleh donatur asal Kuala Simpang (laporan pascakongres menyebut bahwa sejumlah bantal bersulam indah yang disediakan panitia hilang; rupanya sebagian peserta membawanya pulang ke kampung halamannya sebagai tanda mata kongres).
Keempat, rupa-rupa perkakas dan hiasan untuk mempercantik arena kongres. Sejumlah media cetak Sumatra, seperti Pelita Andalas, Pedoman Masjarakat, dan Loekisan Doenia, mengirimkan karangan bunga, memperlihatkan baiknya relasi Muhammadiyah dengan pers lokal serta positifnya apresiasi pers di sana. Ada pula yang mengirimkan beker perak, suatu hadiah mahal di zaman itu.
Yang lain memberikan cawan dan piring emas kepada panitia sebagai aksesoris kongres. Alhasil, kongres ini tidak hanya berhasil secara substansi, tetapi juga menarik secara penampilan.
Walaupun ada beberapa kekurangan yang membawa kekecewaan di sana sini, secara umum kongres ini adalah sebuah pencapaian krusial bagi Muhammadiyah. Melaksanakan kongres, baik di zaman kini maupun di zaman Hindia Belanda dulu, membutuhkan banyak uang. Namun, walau penting, uang bukanlah segalanya. Kontribusi non-uang juga tidak kalah krusialnya. Dengan memperlakukan Kongres ke-28 tahun 1939 itu tak hanya sebagai acara persyarikatan semata, melainkan juga acaranya masyarakat Medan dan kaum Muslimin Hindia Belanda secara umum, Muhammadiyah berhasil memperoleh berbagai macam bantuan dalam bentuk barang yang sangat bermanfaat bagi para peserta kongres. Ini, pada gilirannya, mendukung kelancaran dan kesuksesan salah satu kongres terbesar Muhammadiyah di zaman Hindia Belanda itu.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM edisi 6 tahun 2018