Survei INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) empat bulan lalu (Oktober 2016) cukup mengkhawatirkan. Diketahui, sumber informasi yang diperoleh generasi muda paling banyak dari media dan jejaring sosial atau linimasa. Survei INFID menggunakan metode proportionate stratified random sampling melibatkan 1.200 responden berusia 15-30 tahun (usia muda) dari enam kota besar di Indonesia (Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar).
Hasil survei amat mengkhawatirkan. Saat ini, generasi muda paling sering mengakses media televisi dan internet. Media sosial atau linimasa yang paling dominan digunakan seperti facebook, twitter, dan youtube untuk bertukar informasi secara cepat dan murah. Intensitas pemakaian, 60,4% dari total responden mengakses internet setiap hari. Hanya 7,4% yang mengekses dalam hitungan 3-4 hari seminggu. Ada yang hanya dalam hitungan 1-2 hari dalam seminggu (2,1%). Selebihnya, mereka jarang mengakses internet (16,4%) dan 13,8% tidak tahu menahu dunia maya.
Aktivitas yang paling sering dilakukan anak muda adalah membuka laman sosial media (31,3%). Selain berselancar di dunia maya, aktivitas lainnya adalah komunikasi via surat elektronik (21,8%). Aktivitas mengakses informasi lewat portal berita juga cukup tinggi (18,1%). Responden juga memanfaatkan internet untuk mencari hiburan seperti nonton film (13,2%). Dunia semakin ringkas karena responden juga memanfaatkan internet untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari (7,7%). Selebihnya, responden menyatakan tidak tahu atau tidak bisa mengakses internet (8%).
Platform linimasa yang sering digunakan meliputi: facebook (64,8%), youtube (6,3%), twitter (5,9%), blogspot (0,5%), dan lain-lain (22,5%). Untuk mengakses internet, anak muda saat ini lebih banyak menggunakan handphone (87,8%). Hanya beberapa saja yang masih menggunakan jasa warnet (5,8%), jaringan internet di rumah (3,6%) dan kantor (1,6%). Sekitar 1,3% responden tidak menjawab.
Hasil survei tersebut, menurut Irfan Amalee, alumni Peace and Conflict Studies Brandeis Univeristy Boston, USA, semakin menguatkan bahwa dunia kita sekarang semakin berubah. “Hampir semua informasi kini bisa diakses dengan ujung jari dari handphone masing-masing. Ini realitas yang tidak bisa dihindari,” terangnya.
Budaya literasi kita sangat rendah. Tiba-tiba kita dipaksa lompat ke budaya digital yang serba cepat. “Yang saya khawatirkan adalah kita tidak memiliki kemampuan dan kedewasaan yang matang dalam mengolah, menerima, dan menyebarkan informasi,” terang Irfan. “Orang yang memiliki tingkat literasi tinggi, akan sangat analitis terhadap informasi, dan sangat hati-hati dalam memproduksi serta menyebar informasi. Sementara orang yang tak punya budaya baca, cenderung instan,” katanya.
Karakteristik dunia maya, khususnya linimasa yang nyaris tanpa sensor, cenderung instan. Dampaknya akan mempengaruhi pola pikir dan sikap yang instan pula.
“Cara berpikir ini dapat berbahaya ketika sudah ditarik ke wilayah yang sensitif seperti agama dan politik,” jelas Irfan.
Saat ini sering muncul status di FB yang nyinyir. Juga bertebaran meme yang menyinggung orang atau kelompok tertentu di laman Instagram. Atau infografis yang direkayasa untuk kepentingan kelompok tertentu. Bahkan, surat resmi atau maklumat dari sebuah institusi bisa dibajak untuk kepentingan tertentu. Juga sering berteb– -aran SMS teror dan penipuan. Itu semua dampak dari cara berpikir instan yang dipengaruhi oleh medsos. (bahan: ribas, gsh tulisan: rif)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2017