Empat karakteristik linimasa —media sosial— yang memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat saat ini. 1) Bersifat real-time. 2) Bersifat interaktif. 3) Postingan terdokumentasi dengan baik. 4) Pengelola linimasa bertindak akumulatif (Berperan sebagai jurnalis, editor, pemimpin redaksi, dan distributor sekaligus).
“Empat karakteristik tersebut membuat media sosial sedemikian rupa, dan dunia semakin terbalik. Jika media konvensional memotret realitas langsung untuk dijadikan berita, media sosial telah menciptakan realitas lain, realitas virtual,” terang Iswandi Syahputra. Dosen Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga ini menegaskan, “Para netizen bisa menggunakan komentar atau apapun di media sosial tentang keberadaan suatu realitas untuk dijadikan berita.
Masalah yang muncul ketika informasi tidak valid. Informasi dalam bentuk pesan singkat (SMS), postingan status di facebook, photo di instagram, gambar meme di Whatsapp, atau bahkan berita maupun infografis di website yang tidak valid sering menyesatkan masyarakat. Muncul istilah berita hoax atau website abal-abal. Belakangan ini, media online dan media sosial telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan politik tertentu dengan mem-posting gambar dan berita rekayasa. Pro kontra nyaris tidak terbendung. Beragam komentar, baik yang menyanjung hingga yang sinis, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Muncul istilah “dibully” lewat medsos bagi orang-orang yang dikepung komentar-komentar sarkasme hanya karena berbeda pendapat.
Kondisi semacam ini tentu tidak dapat diabaikan. Apalagi dapat memicu ghibah dan fitnah yang pada akhirnya menyulut perpecahan. Dalam ajaran Islam, etika berkomunikasi harus menghindari ghibah dan fitnah. Kini, dibutuhkan formula fikih baru yang secara khusus menyikapi fenomena dunia online dan medsos beserta karakteristiknya.
Konsep fikih ini harus menjangkau seluruh produk jurnalistik dan media teknologi informasi.
“Saya setuju adanya panduan berkomunikasi di medsos. Panduan ini akan dijadikan bagian dari media literasi. Jadi, tidak berhenti dengan pengaturan bagaimana mengonsumsi informasi saja. Tapi, juga terkait dengan kapan waktu yang tepat untuk mengonsumsinya,” kata Iswandi Syahputra sepakat.
Islam agama yang shalih li kulli zaman wa makan. Dalam konteks perkembangan teknologi informasi saat ini, nilai-nilai Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul akibat derasnya arus informasi di era medsos. “Islam tidak alergi terhadap perkembangan teknologi,” terang Taufiqurrahman, Kepala Program Studi Komunikasi Universitas Aisyiyah Yogyakarta. “Dibutuhkan semacam panduan digital literasi bagi setiap muslim agar mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi,” katanya.
“Islam telah mengajarkan bagimana kita dilarang untuk melakukan ghibah atau membicarakan keburukan orang lain yang belum tentu kebenarannya,” kata Tri Hastuti Nurrochimah, dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Ajaran untuk selalu bertabayyun setiap kali mendapatkan berita pun telah diajarkan oleh Islam,” jelasnya.
Ajaran Islam memang telah memuat dasar-dasar etika berkomunikasi di ruang publik, terutama berkaitan dengan proses menerima suatu informasi. Dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi SAW telah dijelaskan bagaimana seorang Muslim bersikap ketika menerima sebuah informasi dan cara menyampaikannya.
Surat An-Nisa ayat 83, misalnya, telah memuat dan sekaligus mengajarkan kepada umat Islam bagaimana etika serta tata cara menyikapi suatu berita yang diterimanya. “Ayat ini telah mengajarkan kepada umat Islam bagaimana cara menerima suatu berita,” papar Agus Hidayatullah, mahasiswa International Islamic University Islamabad ketika menyampaikan tadabbur ayat dalam acara penutupan kegiatan akhir tahun PCIM Pakistan belum lama ini (25/11/2016). Menurutnya, sudah menjadi trend di kalangan umat Islam saat ini yang mudah menshare berita tanpa mengklarifikasi bagaimana kebenaran berita tersebut. “Menurut Imam Asy-Syaukani, fenomena semacam itu merupakan kelemahan umat muslim dalam menerima suatu kabar.”
Ajaran Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, maupun ijma’ para ulama terdahulu memang sudah banyak memberikan panduan bagaimana berkomunikasi di ruang publik dan tatacara menyeleksi sebuah informasi.
Akan tetapi, kini realitas telah berubah. Dunia tidak lagi nyata karena perkembangan teknologi informasi telah menciptakan dunia maya (realitas virtual). Karakteristik dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Pola komunikasi di dunia maya juga jauh berbeda dengan dunia nyata. Di sinilah etika Islam dituntut untuk hadir untuk memandu umat pengguna medsos agar tidak menjadi penebar kebencian dan fitnah.
“Dalam agama Islam, etikanya sudah jelas. Misalnya, dalam surat Al-Hujurat ayat 7, 11, 12. Tidak boleh mengolok-olok, tidak boleh ghibah, tidak boleh bohong!” tegas Anang Masduki, dosen Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan. “Etika di media sosial, pertama, harus tabayyun. Kedua, jangan mengumbar privasi terlalu vulgar. Ketiga, di media sosial itu sebaiknya kita berteman dengan orang yang sudah kita kenal, karena rawan penipuan. Keempat, jangan mengunggah informasi yang berbau SARA, pornografi, hate speech.”
Melihat karakteristik linimasa, Fikih Informasi harus lebih up to date mempertimbangkan teori-teori baru dalam teknologi informasi. Saat ini, untuk tabayyun, misalnya, dibutuhkan aktualitas dan kecepatan (real time). Proses tabayyun juga tidak hanya kepada sumber-sumber informasi (media online dan media sosial), tetapi juga menyaring jenisjenis informasi, belum lagi proses validasi konten. Terkait konten privasi, dibutuhkan panduan untuk penyadaran, baik para pengguna maupun pengelola medsos. Ini berkaitan dengan karakteristik pengguna medsos bersifat akumulatif. Pengguna medsos dapat berperan sebagai jurnalis, editor, pemimpin redaksi, dan distributor sekaligus.
Kini, saatnya umat Islam menyambut terbitnya Fikih Informasi. (Bahan: thari, ribas, ganjar. Tulisan: rif)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2017