YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Memaknai Bencana dalam Perspektif Islam. Pengajian Tarjih edisi 77 membahas tentang Fikih Kebencanaan I “Memaknai Bencana” yang digagas oleh Muhammadiyah. Fikih tersebut meliputi konsep Islam tentang bencana, memaknai bencana, cara pandang teologis terhadap bencana, langkah preventif, penanganan bencana, pemenuhan hak korban, hingga masalah ibadah di saat bencana. Kajian ini disampaikan oleh Ruslan Fariadi AM, S.Ag. M.S.I selaku Sekretaris Divisi Kaderisasi dan Organisasi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, di Serambi Masjid Gedhe Kauman, Rabu (29/1).
Ruslan Fariadi menyampaikan, sebagai orang yang beriman harus meyakini bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi di muka bumi tanpa sepengetahuan dan izin Allah swt. Dewasa ini pandangan manusia dalam memaknai bencana berbeda-beda. Ada manusia yang melihat bencana terjadi sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan manusia berupa kemaksiatan dan rusaknya akidah mereka. Ada yang memandang bencana hanya sebagai siklus alamiah alam yang tidak memiliki keterkaitan dengan apa pun. Dan ada pula yang beranggapan bencana yang terjadi akibat dari peristiwa mistik, sehingga harus dilakukan ritual-ritual untuk mencegahnya.
Dalam bahasa Arab istilah bencana dikenal dengan “الكارثة” (suatu keadan yang diliputi oleh kesulitan), “البلية” dan “الدهر” (perkara yang tidak disukai oleh manusia, seperti musibah dan lain sebagainya). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kerusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka atau kecelakaan.
UU No. 26 Tahun 2007 menyatakan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana dalam Perspektif Islam dan dalam konteks Muhammadiyah adalah sebagai gangguan serius yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia yang bisa melumpuhkan fungsi-fungsi masyarakat yang dibangun untuk menopang keberlangsungan hidup, melindungi aset-aset, kelestarian lingkungan dan menjamin martabatnya sebagai manusia, sebagai bagian dari perintah agama.
Lanjutnya, kata musibah dalam al-Qur’an secara umum mengacu pada sesuatu yang netral, tidak negatif atau positif, namun dalam istilah lain selalu dimaknai negatif. “Sedangkan musibah yang disebut bencana dan bermakna negatif adalah musibah yang mendatangkan keburukan bagi manusia dan hal itu merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri, bukan dari Allah swt,” ujarnya.
Ketika musibah diartikan dengan penilaian yang negatif (mendatangkan keburukan), maka manusia dianjurkan untuk memaknainya dengan mengembalikan esensi peristiwanya kepada Allah swt (istirja’) dengan memahami arti kata musibah itu sendiri, maka musibah yang bernilai negatif merupakan salah satu cobaan dan ujian yang berupa keburukan.
“Bencana apapun bentuknya sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Berbagai bentuk peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia. Orang beriman dan bertakwa selalu mengakui bahwa apa yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah kebaikan,” tutupnya.(diko/riz)