YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan Halaqah Pra Munas yang membahas “Kriteria Waktu Subuh dan Model Kalender Islam Global.”
Pembahasan tema tersebut merujuk pada fenomena ketinggian matahari di waktu subuh yang berada pada posisi -2 derajat, namun data beberapa tahun yang lalu tentang ketinggian matahari di waktu subuh menunjukkan hasil yang berbeda-beda yaitu diantara -13 hingga -15 derajat. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan dari PTM yang masing-masing menjelaskan tentang hasil penelitiannya terkait dengan waktu subuh, di Yogyakarta, Sabtu (1/2).
Profesor Tono Saksono Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (UHAMKA) memaparkan bahwa pada Juli 2016 diselenggarakan diskusi internal MTT tentang potensi perbedaan awal waktu subuh di Yogyakarta dengan tiga makalah yang masing-masing dibahas oleh departemen Astronomi ITB, departemen Fisika UAD dan FAI UHAMKA. “Namun sayangnya sejak diskusi tersebut sampai Februari 2017 belum ada kesimpulan yang dihasilkan. Kemudian saya melaporkan ke Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk bisa diteliti kembali,” ujarnya
Pria yang mengambil gelar S1 di Teknik Geodesi Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut menjelaskan definisi fajar dan twilight secara umum. Namun masalah yang terjadi adalah penetapan waktu subuh di Indonesia dinilai kurang tepat dimana matahari berada pada posisi 20 derajat. Padahal dalam kaca mata ilmu astronomi, seluruh wilayah Indonesia pada saat itu masih gelap total. “Secara global, tidak ada bukti secara saintifik bahwa fajar muncul di ketinggian 18 derajat, sehingga barangkali ada kesalahan pada ulama zaman dulu dalam memahami al-khaitu al-abyadhu,” ulasnya.
Erwin selaku Tim Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) menyampaikan hasil penelitian waktu subuh yang diperoleh dari salah satu tempat di Sumatera Utara serta dilakukan oleh Tim OIF UMSU bekerjasama dengan MUI Sumatera Utara dan Jama’ah Islamiyyah bahwa secara bilangan tahun, OIF UMSU sudah mengumpulkan data selama 4 tahun yaitu dari tahun 2016 hingga 2019. Lokasi yang terpasang ada di OIF UMSU sendiri dengan hasil 03 derajat 34 derajat LU – 98 derajat 43 derajat BT (selama 621 hari), Pantai Romantis dengan membawa 4 SQM. “Dari keseluruhan penelitian selama satu bulan tersebut sudah kami serahkan ke Prof Tono,” ungkapnya di Hotel HOM Premiere Kota Yogyakarta.
Agus Purwanto selaku peserta mengatakan belum ada yang sepakat mengenai ketinggian matahari yang dijadikan acuan. “Kita harus membuat semacam hasil kajian waktu subuh tetang posisi mana yang dipandang dapat mewakili posisi Indonesia agar umat tidak merasa bingung,” ungkapnya pada sesi tanya jawab. (diko)