Pesan Kemanusiaan dalam Film “The Bajau”

Pesan Kemanusiaan dalam Film “The Bajau”

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pimpinan Cabang IMM Djazman Al Kindi berkolaborasi bersama Lembaga Lingkungan Hidup PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Komunitas Hijau Muhammadiyah (KHM) DIY menggelar ‘nobar dan diskusi’ di Aula Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Jum’at malam, (31/01).

Acara ini dihadiri dari kalangan mahasiswa, pelajar dan berbagai komunitas Muhammadiyah. Film dokumenter “The Bajau” karya Dandhy Dwi Laksono ini mendapatkan perhatian besar dari berbagai komunitas bahkan mahasiswa dan aktivis masyarakat.

Film dokumenter yang dirilis pada tahun 2020 ini sedang ramai diceritakan. Film ini bercerita tentang laut  Indonesia sebagai bentuk negara maritim. Namun, dari kegelisahan Dandhy yang menganggap bahwa Indonesia tidak seimbang dalam menjaga dan mengelola kemaritimannya untuk masyarakatnya. Bahkan Amerika Serikat juga pernah menjadikan kehidupan suku Bajo  sebagai film documenter dengan judul “The Call From the Sea”.

‘The Bajau’ mengisahkan kehidupan orang-orang Bajo yang terletak didaerah Marombo, Sulawesi Utara dan Torosiaje, Gorontolo. Masyarakat Bajo masih sangat kental dengan tradisi dan adat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Mata pencaharian orang Bajo, kebanyakan mempertahankan hidup dengan cara berlayar atau sebagai nelayan.

Diawal pemutaran film, Dandhy merekam rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu berdiri diatas pinggiran laut. Film tersebut menjelaskan rumah rumah tersebut  merupakan bantuan dari pemerintah untuk menjadi tempat tinggal maasyarakat Bajo agar tidak tinggal di kapal.

Satu hal menarik, upacara adat yang dilakukan masyarakat Bajo ini juga ditampilkan. Dimana, setiap tahunnya akan diadakan upacara adat untuk menolak bala. Dalam upacara tersebut, terlihat maasyarakat yang mengambil seekor penyu dari lautan. Dalam istilah Jawa disebut sebagai ‘tumbal’. Terlihat cukup menyedihkan, bahwa seekor penyu disembelih, tangan kaki dan cangkang di pisah-pisah, dan dagingnya dicacah-cacah halus dicampur dengan nasi diletakkan di atas cangkang penyu.

Peristiwa ini dapat menjadi perbandingan, jika suku dan adat yang bersahabat dengan alam, per tahun hanya membunuh se-ekor penyu. Sedangkan industrial yang sekali membuang limbah per minggunya kelaut bisa membunuh puluhan penyu? Salah satunya limbah PLTU Bengkulu yang disebutkan oleh Dandhy. Tentu, hal ini menjadi bahan evaluasi.

Namun, tidak ada penjelasan filososfis penyu yang di korban dalam upacara adat ini. Salah satu pemantik diskusi, Abhi Dimas menjelaskan bahwa sebagian orang Bajo merupakan warga Filiphina yanag bermigran ke Indonesia. Sebahagian warga Filiphina memang sangat suka hidup dan tinggal didalam kapal sambil melaut. Sebab, apabila tinggal di rumah yang telah disediakan pemerintah, masyarakat tidak bisa bekerja mencari ikan dan berlayar.

Di sisi lain, ikan-ikan di pinggiran laut sudah tidak ada lagi. Salah satunya ialah pembangunan industri dan pembuangan limbah yang mengancam kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup bagi masyarakat Bajo. Jika laki-laki bekerja sebagai nelayan, menjala ikan, cumi-cumi, atau lobster dengan alat sederhana dan tradisional. Masyarakat Bajo harus pergi berlayar jauh ketengah laut baru akan mendapatkan ikan. Sedangkan wanita dari suku Bajo biasanya menangkap kerang kedasar laut. Dan kebanyakan anak-anak mereka tidak sekolah dan memilih untuk ikut melaut dan belajar menangkap ikan dilaut.

Berbicara soal penghasilan, tentu tidak diragukan lagi. Banyak dari masyarakat Bajo yang hanya mendapatkan upah yang cukup, pas-pasan, bahkan tidak balik modal. Ketika melaut sampai ketengah laut, maka membutuhkan bensin yang lebih banyak lagi, sehingga tidak bisa menutupi modal sebelumnya.

Film ini menginformasikan kepada para viewer, masih banyak diwilayah Indonesia, khususnya pinggiran pantai. Kehidupan masyarakat yang kian semakin ter-marjinalkan oleh pihak-pihak yang haus akan eksploitasi alam. Sistem kapitalis yang kian merajarela, sehingga melupakan dampak yang akan terjadi, dan tidak benar-benar pro terhadap aktivitas dan keberlangsungan hidup manusia. Bahkan tidak mempedulikan generasi-generasi kedepan.

Sebaiknya, apabila keindahan dan manfaat sudah diambil dan dirasakan, maka harus ada rasaa tanggung jawab untuk merawat dan menjaganya agar tetap indah. Seperti kata pepatah, habis manis sepah di buang. (rahel)

Exit mobile version